Monday 12 October 2015

Soal Fasilitator dan Pendekatan Partisipatoris Bagi Anak-Anak (Catatan Fasilitator Sekolah Literasi #1)

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Belakangan ini baik gerakan sosial, atau lembaga pendidikan formal mulai mengenai istilah “fasilitator”. Istilah ini sebenarnya merupakan metamorfosa penting dari model pedagogi kritis yang berkembang di Indonesia pada tahun 90-an. Tetapi pada masa itu sebenarnya hanya terdapat dua jenis pemaknaan terkait dengan istilah fasilitator. Pertama fasilitator sebagai seorang yang membawa partisipan untuk masuk ke diskursus seputar realitas ekonomi-politik yang bertujuan membangun basis massa “berkesadaran”. Kedua adalah fasilitator sebagai bagian dari proses dialektika. Makna pertama banyak digunakan dalam model pendidikan alternatif yang dikembangkan oleh gerakan sosial di Indonesia. Sedangkan makna kedua, meskipun telah menjadi kredo dari model pendidikan partisipatoris, dalam kenyataan lapangan adalah yang paling sulit dipraktikkan.

Sewaktu merancang Sekolah Literasi pada pertengahan bulan Agustus, Abdullah menjelaskan kepada saya bawah tujuan utama Sekolah Literasi adalah sebagai “sarana distribusi nilai-nilai”. Menurut Abdullah nilai-nilai emansipatif RBK harus dibagi melalui suatu forum diskusi yang “tematis dan sistematis”. Gagasan itu sepenuhnya berangkat dari kegelisahannya atas distribusi nilai-nilai emansipatif seperti apresiatif, liberatif, dan ekologis serta humanis yang dalam forum-forum diskusi sering menjadi basis aksiologis pegiat RBK. Tentu saja saya tertarik dengan gagasan tersebut dan mengusulkan kepada Abdullah agar tetap ada penekanan partisipatoris dalam proses pendidikan.

Pokok Tentang Pendidikan Partisipatoris

Kenyataanya menerapkan proses yang partisipatif dan menghindari dominasi adalah perihal yang sangat menantang dalam setting pendidikan model apapun. Sewaktu menjadi fasilitator untuk orientasi awal dan materi dinamika gerakan saya menyadari beberapa hal yang harus direfleksikan terkait dengan penerapan model atau pendekatan partisipatoris.

Pertama, fasilitator harus memegang prinsip dasar yang menyatakan relasi antar subjek pertama-tama harus berangkat dari kesetaraan. Artinya, proses partisipatoris dan egaliter hanya dapat dicapai jika fasilitator pertama-tama berangkat dari asumsi bahwa dirinya dan partisipan adalah setara. Masing-masing partisipan termasuk fasilitator memainkan peranannya masing-masing. Partisipan merupakan subjek yang hidup dalam pengalaman dan persentuhan objektivitasnya sendiri. Sedangkan fasilitator memegan peranan sebagai pihak yang mengapresiasi segala basis gagasan subjek, termasuk kejadian, peristiwa, hingga kepercayaannya.

Kedua, fasilitator merupakan pihak yang menunjukkan bahwa setiap subjek memiliki persentuhan kekaryaannya masing-masing. Fasilitator menunjukkan bahwa setiap subjek memproduksi ataupun mereproduksi jenis kebudayaan secara unik. Tidak ada subjek yang tidak menghasilkan apapun dalam relasinya dengan kehidupan. Fasilitator jika diperlukan harus menunjukkan bahwa “kebudayaan” setiap subjek itu niscaya eksis. Dalam hal ini, fasilitator harus mampu menjadi pihak yang turut memberi afirmasi mengenai eksistensi kebudayaan pada aras otonomi subjek. Persoalan di sini harus dilihat dalam bahasa yang digunakan oleh Freire sebagai apresiasi.

Ketiga, peran sesungguhnya fasilitator tanpa menegasikan kehadiran sosial subjek yang lain adalah memungkinkan sebuah kesadaran baru bahwa diri setiap subjek adalah politis sehingga dapat menjalankan transformatif. Dalam hal ini, fasilitator bukan menjadi pihak satu-satunya yang menyadari realitas, dia hanya berperan sama penting dan setaranya dengan partisipan lain untuk mengemukakan gagasannya bahwa transformasi dari setiap kejadian, kebiasaan, dan pemikiran subjek atau partisipan mampu membuka dinamika baru.

Tiga hal di atas, saya ungkapkan kepada Abdullah di sela-sela evaluasi Sekolah Literasi. Mengingat dalam konteks tertentu Sekolah Literasi ini pun juga merupakan proses belajar bersama maka selalu ada ruang terbuka untuk membicarakan persoalan tentang kefasilitatoran ini. misalnya sering ditemukan beragam pertanyaan, “bagaimana memfasilitasi jika dinamika dalam kelas berubah?”, “apakah bisa seorang fasilitator mengubah tekniknya sementara proses sedang berlangsung?”.

Fasilitator lebih tepat menurut saya disebut sebagai seorang seniman daripada seorang pendidik. Fasilitator berhadapan dengan partisipan seperti sedang berhadapan dengan dirinya sendiri. Dinamika di dalam proses pendidikan partisipatoris merupakan persyaratan penting. Dinamika harus muncul sebagai wujud dari proses partisipatif dan merepresentasi secara eksistensial keberadaan fasilitator. Dinamika hanya muncul melalui pertukaran gagasan dan perilaku yang berjalan secara simultan, egaliter, terbuka, tetapi tanpa diskriminasi. Seorang pendidik yang dominan tentu saja tidak selalu memperoleh dinamika tersebut karena tujuan utamanya adalah transferring knowledge, sebuah pandangan yang begitu kuat dalam filsafat pendidikan bekas negara koloni.

Maka dalam soal bagaimana memfasilitasi dinamika yang sudah sewajarnya ada dan bahkan harus muncul. Sehingga tidak mengherankan jika setiap fasilitator membawa banyak kesiapan untuk berdialektika dengan dinamika. Mengganti teknik, termasuk dari sekian persiapan yang memungkinkan. Tetapi itu tidak menjadi beban yang berat jika fasilitator bergerak bersama dinamika. Kesulitan biasanya muncul karena fasilitator menganggap “segalanya” bersumber dari dirinya.

Model Partisipatoris bagi Anak-Anak

Model atau pendekatan partisipatoris pada dasarnya lebih dekat dengan kelompok-kelompok yang selama ini dianggap tidak signifikan dalam membentuk kebijakan. Mereka adalah sebagaimana yang disebut oleh Robert Chambers (2002) yakni perempuan, “orang miskin”, minoritas dari kalangan berbasis etnis atau agama, pengungsi, difabel, termasuk anak-anak.

Dalam proses evaluasi Sekolah Literasi beberapa partisipan memiliki kesan bahwa pendekatan partisipatoris asing digunakan untuk anak-anak. Bersama partisipan kami mencoba mendiskusikannya secara umum karena memang dibutuhkan suatu waktu reflektif khusus untuk persoalan ini. Tetapi buku Stepping Forward (Johnson, dkk: 1998) dapat memberikan informasi yang cukup perihal etika, metodologis, hingga implementasinya. Sekali lagi kami berharap ada waktu khusus untuk membicarakan topik yang sangat menarik itu dalam forum Sekolah Literasi.

Gagasan tentang “transformasi sosial itu mudah dan menyenangkan” yang sering muncul merupakan cara baru untuk memulai bagaimana memahami partisipatoris bagi anak-anak. Kedekatan antara transformasi sosial dan model pendidikan partisipatoris seakan mengikat suatu imajinasi bahwa prosesnya pasti “serius” dan jauh dari kesan “asik-kocak”. Kenyataannya justru sebaliknya, proses partisipatoris justru sebaiknya mengilustrasikan tentang kemungkinan menciptakan dunia (another world is possible). Sehingga mendayakan imajinasi yang berbasis sepenuhnya pada pergulatan praksis adalah salah-satu kunci penting. Hal ini tentu saja dapat diterapkan pada siapapun, termasuk anak-anak. Misalnya dengan memberikan pertanyaan seputar aktivitas, keinginan, dan hal-hal yang dianggapnya sebagai “dunia” hingga dilanjutnya dengan merancang agenda yang “sederhana” seperti berkumpul bersama untuk membersihkan tempat pertemuan atau mendekorasi pendopo.

“anak-anak merupakan pemilik masa depan” begitu Cak David mengungkapkan sewaktu merespon topik tentang Sekolah Literasi bagi anak dan remaja. Anak dan remaja merupakan salah-satu partisipan penting sebagai representasi dari kehadiran kelompok marjinal dalam proses penentuan masa depan. Pendekatan partisipatoris membantu proses menyelami dinamika anak-anak, yang pada sisi lainnya turut  membantu orangdewasa menemukan proses partisipatoris dalam arti yang paling mengesankan. Makna politis tentu saja sedang diupayakan untuk mendekatkan pengambilan kebijakan pendidikan berbasiskna pada penelitian partisipatoris yang melibatkan anak-anak dan peneliti yang berperan sebagai fasilitator. Dalam pengertian demikian, pendekatan partisipatoris tidak hanya bersifat pedagogis tetapi juga bersifat politis karena bertujuan menghasilkan pemahaman yang baik terkait dengan anak-anak. Maka partisipatoris juga merupakan teknik penelitian yang penting untuk dicoba terus-menerus. Sehingga proses pengambilan kebijakan dapat mengakar dengan basis sosiologisnya sendiri.

Sebagaimana Chambers, anak-anak termasuk kelompok “yang justru paling mampu memandang partisipasi secara terbuka sebagai hal yang penting dan prioritas” (Chambers, Fakih, dan 2002, hlm.x).  

*Tulisan ini adalah catatan untuk pelaksanaan Sekolah Literasi oleh Rumah Baca Komunitas tahun 2015.

No comments:

Post a Comment