Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Belakangan ini
baik gerakan sosial, atau lembaga pendidikan formal mulai mengenai istilah
“fasilitator”. Istilah ini sebenarnya merupakan metamorfosa penting dari model
pedagogi kritis yang berkembang di Indonesia pada tahun 90-an. Tetapi pada masa
itu sebenarnya hanya terdapat dua jenis pemaknaan terkait dengan istilah
fasilitator. Pertama fasilitator sebagai seorang yang membawa partisipan untuk
masuk ke diskursus seputar realitas ekonomi-politik yang bertujuan membangun
basis massa “berkesadaran”. Kedua adalah fasilitator sebagai bagian dari proses
dialektika. Makna pertama banyak digunakan dalam model pendidikan alternatif
yang dikembangkan oleh gerakan sosial di Indonesia. Sedangkan makna kedua,
meskipun telah menjadi kredo dari model pendidikan partisipatoris, dalam
kenyataan lapangan adalah yang paling sulit dipraktikkan.
Sewaktu
merancang Sekolah Literasi pada pertengahan bulan Agustus, Abdullah menjelaskan
kepada saya bawah tujuan utama Sekolah Literasi adalah sebagai “sarana
distribusi nilai-nilai”. Menurut Abdullah nilai-nilai emansipatif RBK harus
dibagi melalui suatu forum diskusi yang “tematis dan sistematis”. Gagasan itu
sepenuhnya berangkat dari kegelisahannya atas distribusi nilai-nilai
emansipatif seperti apresiatif, liberatif, dan ekologis serta humanis yang
dalam forum-forum diskusi sering menjadi basis aksiologis pegiat RBK. Tentu
saja saya tertarik dengan gagasan tersebut dan mengusulkan kepada Abdullah agar
tetap ada penekanan partisipatoris dalam proses pendidikan.
Pokok Tentang Pendidikan Partisipatoris
Kenyataanya
menerapkan proses yang partisipatif dan menghindari dominasi adalah perihal
yang sangat menantang dalam setting
pendidikan model apapun. Sewaktu menjadi fasilitator untuk orientasi awal dan
materi dinamika gerakan saya menyadari beberapa hal yang harus direfleksikan
terkait dengan penerapan model atau pendekatan partisipatoris.
Pertama, fasilitator
harus memegang prinsip dasar yang menyatakan relasi antar subjek pertama-tama
harus berangkat dari kesetaraan. Artinya, proses partisipatoris dan egaliter
hanya dapat dicapai jika fasilitator pertama-tama berangkat dari asumsi bahwa
dirinya dan partisipan adalah setara. Masing-masing partisipan termasuk
fasilitator memainkan peranannya masing-masing. Partisipan merupakan subjek yang
hidup dalam pengalaman dan persentuhan objektivitasnya sendiri. Sedangkan
fasilitator memegan peranan sebagai pihak yang mengapresiasi segala basis
gagasan subjek, termasuk kejadian, peristiwa, hingga kepercayaannya.
Kedua, fasilitator
merupakan pihak yang menunjukkan bahwa setiap subjek memiliki persentuhan
kekaryaannya masing-masing. Fasilitator menunjukkan bahwa setiap subjek
memproduksi ataupun mereproduksi jenis kebudayaan secara unik. Tidak ada subjek
yang tidak menghasilkan apapun dalam relasinya dengan kehidupan. Fasilitator
jika diperlukan harus menunjukkan bahwa “kebudayaan” setiap subjek itu niscaya
eksis. Dalam hal ini, fasilitator harus mampu menjadi pihak yang turut memberi
afirmasi mengenai eksistensi kebudayaan pada aras otonomi subjek. Persoalan di
sini harus dilihat dalam bahasa yang digunakan oleh Freire sebagai apresiasi.
Ketiga, peran
sesungguhnya fasilitator tanpa menegasikan kehadiran sosial subjek yang lain
adalah memungkinkan sebuah kesadaran baru bahwa diri setiap subjek adalah politis
sehingga dapat menjalankan transformatif. Dalam hal ini, fasilitator bukan
menjadi pihak satu-satunya yang menyadari realitas, dia hanya berperan sama
penting dan setaranya dengan partisipan lain untuk mengemukakan gagasannya
bahwa transformasi dari setiap kejadian, kebiasaan, dan pemikiran subjek atau
partisipan mampu membuka dinamika baru.
Tiga hal di
atas, saya ungkapkan kepada Abdullah di sela-sela evaluasi Sekolah Literasi.
Mengingat dalam konteks tertentu Sekolah Literasi ini pun juga merupakan proses
belajar bersama maka selalu ada ruang terbuka untuk membicarakan persoalan
tentang kefasilitatoran ini. misalnya sering ditemukan beragam pertanyaan,
“bagaimana memfasilitasi jika dinamika dalam kelas berubah?”, “apakah bisa
seorang fasilitator mengubah tekniknya sementara proses sedang berlangsung?”.
Fasilitator
lebih tepat menurut saya disebut sebagai seorang seniman daripada seorang
pendidik. Fasilitator berhadapan dengan partisipan seperti sedang berhadapan
dengan dirinya sendiri. Dinamika di dalam proses pendidikan partisipatoris
merupakan persyaratan penting. Dinamika harus muncul sebagai wujud dari proses
partisipatif dan merepresentasi secara eksistensial keberadaan fasilitator.
Dinamika hanya muncul melalui pertukaran gagasan dan perilaku yang berjalan
secara simultan, egaliter, terbuka, tetapi tanpa diskriminasi. Seorang pendidik
yang dominan tentu saja tidak selalu memperoleh dinamika tersebut karena tujuan
utamanya adalah transferring knowledge, sebuah
pandangan yang begitu kuat dalam filsafat pendidikan bekas negara koloni.
Maka dalam soal
bagaimana memfasilitasi dinamika yang sudah sewajarnya ada dan bahkan harus
muncul. Sehingga tidak mengherankan jika setiap fasilitator membawa banyak
kesiapan untuk berdialektika dengan dinamika. Mengganti teknik, termasuk dari
sekian persiapan yang memungkinkan. Tetapi itu tidak menjadi beban yang berat
jika fasilitator bergerak bersama dinamika. Kesulitan biasanya muncul karena
fasilitator menganggap “segalanya” bersumber dari dirinya.
Model Partisipatoris bagi Anak-Anak
Model atau
pendekatan partisipatoris pada dasarnya lebih dekat dengan kelompok-kelompok
yang selama ini dianggap tidak signifikan dalam membentuk kebijakan. Mereka
adalah sebagaimana yang disebut oleh Robert Chambers (2002) yakni perempuan,
“orang miskin”, minoritas dari kalangan berbasis etnis atau agama, pengungsi,
difabel, termasuk anak-anak.
Dalam proses
evaluasi Sekolah Literasi beberapa partisipan memiliki kesan bahwa pendekatan
partisipatoris asing digunakan untuk anak-anak. Bersama partisipan kami mencoba
mendiskusikannya secara umum karena memang dibutuhkan suatu waktu reflektif
khusus untuk persoalan ini. Tetapi buku Stepping
Forward (Johnson, dkk: 1998) dapat memberikan informasi yang cukup perihal
etika, metodologis, hingga implementasinya. Sekali lagi kami berharap ada waktu
khusus untuk membicarakan topik yang sangat menarik itu dalam forum Sekolah
Literasi.
Gagasan tentang
“transformasi sosial itu mudah dan menyenangkan” yang sering muncul merupakan
cara baru untuk memulai bagaimana memahami partisipatoris bagi anak-anak. Kedekatan
antara transformasi sosial dan model pendidikan partisipatoris seakan mengikat
suatu imajinasi bahwa prosesnya pasti “serius” dan jauh dari kesan
“asik-kocak”. Kenyataannya justru sebaliknya, proses partisipatoris justru
sebaiknya mengilustrasikan tentang kemungkinan menciptakan dunia (another world is possible). Sehingga
mendayakan imajinasi yang berbasis sepenuhnya pada pergulatan praksis adalah
salah-satu kunci penting. Hal ini tentu saja dapat diterapkan pada siapapun,
termasuk anak-anak. Misalnya dengan memberikan pertanyaan seputar aktivitas,
keinginan, dan hal-hal yang dianggapnya sebagai “dunia” hingga dilanjutnya
dengan merancang agenda yang “sederhana” seperti berkumpul bersama untuk membersihkan
tempat pertemuan atau mendekorasi pendopo.
“anak-anak
merupakan pemilik masa depan” begitu Cak David mengungkapkan sewaktu merespon
topik tentang Sekolah Literasi bagi anak dan remaja. Anak dan remaja merupakan
salah-satu partisipan penting sebagai representasi dari kehadiran kelompok
marjinal dalam proses penentuan masa depan. Pendekatan partisipatoris membantu
proses menyelami dinamika anak-anak, yang pada sisi lainnya turut membantu orangdewasa menemukan proses
partisipatoris dalam arti yang paling mengesankan. Makna politis tentu saja
sedang diupayakan untuk mendekatkan pengambilan kebijakan pendidikan
berbasiskna pada penelitian partisipatoris yang melibatkan anak-anak dan
peneliti yang berperan sebagai fasilitator. Dalam pengertian demikian,
pendekatan partisipatoris tidak hanya bersifat pedagogis tetapi juga bersifat
politis karena bertujuan menghasilkan pemahaman yang baik terkait dengan
anak-anak. Maka partisipatoris juga merupakan teknik penelitian yang penting
untuk dicoba terus-menerus. Sehingga proses pengambilan kebijakan dapat
mengakar dengan basis sosiologisnya sendiri.
Sebagaimana
Chambers, anak-anak termasuk kelompok “yang justru paling mampu memandang
partisipasi secara terbuka sebagai hal yang penting dan prioritas” (Chambers,
Fakih, dan 2002, hlm.x).
*Tulisan ini adalah catatan untuk pelaksanaan Sekolah Literasi oleh Rumah Baca Komunitas tahun 2015.
No comments:
Post a Comment