Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Meninggalkan respon setelah membaca
sebuah tulisan bagus adalah adil. Bagi diri sendiri, bagi si penulis sebagai
bentuk penghargaan, dan bagi maksud-maksud kemanusiaan yang ditujunya. Meninggalkan
respon bisa dengan membuat satu ulasan singkat tentang tulisan itu,
mendiskusikan isi tulisan atau dengan berbagai bentuk yang dapat ditempuh
sendiri-sendiri.
Saya memilih untuk menuliskannya. Saya
akan membahas soal “mantra-mantra” yang ditulis oleh Butet Manurung dalam
artikel opininya yang berjudul “Apa yang Salah dengan Volunter?”. Kenapa saya
sebut mantra? Alasannya sederhana, karena diperlukan ritual khusus antara
praktik, dan refleksi untuk memahaminya. Hanya bisa diresapi lewat dua hal itu.
Ya, orang bahagia memang syaratnya bisa praktik dan refleksi (mengambil
hikmah).
Mantra pertama adalah “Kita hanya perlu
lebih banyak melihat dan mendengar langsung..Datang ke sana, diam, dan amati
dengan rendah hati.”
Mantra kedua adalah “[mengutip Pram,
butet menulis] Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang bisa timbul pada
samudra, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan
hidupnya..sekali kita menentukan tujuan, biarkan ia jadi kekuatan yang
menggerakkan.”
Mantra ketiga adalah “bekerja apapun itu,
termasuk pekerjaan sukarela, menurut saya selalu dimulai dari menghargai diri
sendiri, menghormati hidup kita sendiri..membagikan anugerah yang kita
punya...ini terlihat seperi pengabdian..tetapi tidak..kita mengabdi kepada kemanusiaan
sejati”.
Butet Manurung adalah seorang perempuan kelahiran
Jakarta tahun 1972. Perintis Sokola Rimba. Dari Jambi, Halmahera, hingga
Flores.
Tiga
Mantra
Tiga Mantra butet itu bicara soal mencari
kebahagiaan “tanpa perantara”. Kata Butet, “sekali lagi, taruh gadget-mu, lihat
lekat-lekat dunia di luar sana, lalu dengarkan hatimu. Sebab kita perlu
menghargai hidup yang hanya sekali ini. Bayangkan jika suatu hari di usia 75
tahun, tiba-tiba kita merasa hampa dan sadar bahwa kita belum melakukan apa-apa
untuk menghargai satu kali hidup kita”.
Sewaktu membaca tulisan Butet, saya
merasa ada beragam kompleksitas untuk memahami arti kebahagiaan dari
kesederhanaan yang tak kunjung dipahami. Maksudnya, Butet berulang kali ditanya
tentang soal “berapa gaji jadi volunter di hutan” atau “kok bisa anda lulusan
Australi kerja di hutan, apalagi anda itu perempuan? Tanpa digaji, masa’ sih?”.
Kemungkinan Butet juga kesal dengan
berbagai pertanyaan itu. “apa substansi dari yang kamu lakukan? Apa dengan
mengajar anak di hutan itu memberi dampak luas? Apakah itu menghabisi
kapitalisme, neo-liberalisme, atau kekerasan?” pertanyaan-pertanyaan begitu
jika ditanya ke Butet tentu mudah dijawab. Tetapi bukankah terlalu berlebihan
berharap semuanya selesai pada satu kerja sukarela satu orang. Zaman sekarang,
memperkuat kerja bersama lebih baik daripada mengajukan sejumlah pertanyaan.
Melalui Butet saya terpikir dengan
perjalanan hidup sendiri, termasuk ingat pengalaman Nabi Musa yang belajar ke
Khidir. Ada banyak pertanyaan yang tak terjawab. Yang harus dilakukan, jika
jadi Musa adalah meracik sendiri jawaban kreatifnya sembari betul-betul
melakukan refleksi mendalam. Itu penting, karena untuk memahami mantra
kebahagiaan, yang dibutuhkan adalah kesiapan diri sendiri. kesiapan untuk
menghargai hal-hal kecil. Kesiapan untuk memahami penghargaan terhadap
kemanusiaan sejati.
Tentu saja, soal “apa hal-hal kecil itu?”
harus dijawab sendiri. Sulit? Ya, itu tak aneh, sebab begitu yang dialami oleh
anggota DPR sehingga tak bisa bikin UU bagus untuk rakyat. Termasuk sulitnya
memahami “penghargaan hidup” karena baru-baru saja seorang polisi menembak
kepala rakyat biasa, atau seorang aparatur desa yang menyuruh preman membunuh
warganya sendiri. Belum lagi tentara yang menendang perut seorang wanita paruh
baya. Atau, pengusaha yang lepas tanggungjawab setelah melumpuri kota dan
membakar hutan. Makanya menjadi luar biasa jika itu bisa dimaknai secara tepat.
Itu juga kenapa ini menyangkut soal kemanusiaan sejati. Sekali penghargaan
terhadap kehidupan dilakukan, kewarasan
kita terpelihara, indikator sebagai manusia juga terbukti.
Arti
Tiga Mantra
Tiga mantra Butet bermakna begini.
https://crimsonstrawberry.files.wordpress.com/2013/05/30.jpg |
Pertama, kebahagiaan hanya bisa diperoleh
lewat “rendah hati”. Artinya kebahagiaan itu adalah saat kita membiarkan diri
kita mengalami kehidupan secara bermakna. Tak merasa memiliki banyak jawaban
atas persoalan Hutan begitu masuk ke Hutan. Tak merasa punya cara jitu untuk
menyelesaikan problem pendidikan masyarakat pedalaman begitu masuk ke
pedalaman. Pelajari dari orang-orang sekitar, dan ambil bagian, begitu
kira-kira.
Kedua, kekuatan selalu muncul dari
keyakinan-keyakinan. Erich Fromm seorang filsuf Jerman pernah bilang kalau
harapan melipatgandakan kemungkinan realitas diubah. Karena keyakinan berkaitan
dengan kenyataan bahwa banyak hal yang bisa memperkuat kerja-kerja kemanusiaan.
Keyakinan, menjadikan diri kita percaya bahwa banyak orang yang sebenarnya
sedang membantu kita mencapai sebuah misi. Kalaupun tak ada orang-orang itu,
gunung, langit, dan angin akan membantu. Dalam Rumah Baca Komunitas, kami
menyebut ini sebagai gerakan mikroba. Tak merasa sendiri dalam berjuang, dan
yakin bahwa “semesta mendukung”.
Ketiga, kebahagiaan muncul dari
penghargaan diri sendiri, menghormati kehidupan, dan berjuang untuk kemanusiaan
sejati. Kebahagiaan berpadu ke dalam tiga hal itu. Penghargaan diri sendiri
maksudnya ialah kesadaran tentang jati diri kemanusiaan. Sadar bahwa kita
manusia, dan oleh karena itu harus melakukan tanggungjawab kemanusiaan.
Kebahagiaan muncul dari proses itu. Kebahagiaan sejati selalu muncul dari
perjuangan kemanusiaan sejati. Karena kebahagiaan materi atau status sosial
hanya akan bertahan untuk masa tertentu. Tak abadi, apalagi membekas.
Orang-orang yang bahagia secara materi sejak zaman primitif tak bisa
meninggalkan apapun di masa sekarang, selain kerusakan. Dibandingkan dengan
warisan orang-orang bahagia di masa lampau. Mereka mewariskan pengetahuan,
kebijaksanaan, dan alam yang indah. Mereka mewariskan “hantu-hantu” yang
membawa keadilan menembus ruang-waktu melawan kezaliman dari feodalisme,
imperialisme hingga kapitalisme, demikian Derrida.