Sunday 3 January 2016

Tiga Mantra Kebahagiaan Yang Sulit Dipahami

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Meninggalkan respon setelah membaca sebuah tulisan bagus adalah adil. Bagi diri sendiri, bagi si penulis sebagai bentuk penghargaan, dan bagi maksud-maksud kemanusiaan yang ditujunya. Meninggalkan respon bisa dengan membuat satu ulasan singkat tentang tulisan itu, mendiskusikan isi tulisan atau dengan berbagai bentuk yang dapat ditempuh sendiri-sendiri.

Saya memilih untuk menuliskannya. Saya akan membahas soal “mantra-mantra” yang ditulis oleh Butet Manurung dalam artikel opininya yang berjudul “Apa yang Salah dengan Volunter?”. Kenapa saya sebut mantra? Alasannya sederhana, karena diperlukan ritual khusus antara praktik, dan refleksi untuk memahaminya. Hanya bisa diresapi lewat dua hal itu. Ya, orang bahagia memang syaratnya bisa praktik dan refleksi (mengambil hikmah).

Mantra pertama adalah “Kita hanya perlu lebih banyak melihat dan mendengar langsung..Datang ke sana, diam, dan amati dengan rendah hati.”

Mantra kedua adalah “[mengutip Pram, butet menulis] Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang bisa timbul pada samudra, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya..sekali kita menentukan tujuan, biarkan ia jadi kekuatan yang menggerakkan.”

Mantra ketiga adalah “bekerja apapun itu, termasuk pekerjaan sukarela, menurut saya selalu dimulai dari menghargai diri sendiri, menghormati hidup kita sendiri..membagikan anugerah yang kita punya...ini terlihat seperi pengabdian..tetapi tidak..kita mengabdi kepada kemanusiaan sejati”.

Butet Manurung adalah seorang perempuan kelahiran Jakarta tahun 1972. Perintis Sokola Rimba. Dari Jambi, Halmahera, hingga Flores.  

Tiga Mantra

Tiga Mantra butet itu bicara soal mencari kebahagiaan “tanpa perantara”. Kata Butet, “sekali lagi, taruh gadget-mu, lihat lekat-lekat dunia di luar sana, lalu dengarkan hatimu. Sebab kita perlu menghargai hidup yang hanya sekali ini. Bayangkan jika suatu hari di usia 75 tahun, tiba-tiba kita merasa hampa dan sadar bahwa kita belum melakukan apa-apa untuk menghargai satu kali hidup kita”.

Sewaktu membaca tulisan Butet, saya merasa ada beragam kompleksitas untuk memahami arti kebahagiaan dari kesederhanaan yang tak kunjung dipahami. Maksudnya, Butet berulang kali ditanya tentang soal “berapa gaji jadi volunter di hutan” atau “kok bisa anda lulusan Australi kerja di hutan, apalagi anda itu perempuan? Tanpa digaji, masa’ sih?”.

Kemungkinan Butet juga kesal dengan berbagai pertanyaan itu. “apa substansi dari yang kamu lakukan? Apa dengan mengajar anak di hutan itu memberi dampak luas? Apakah itu menghabisi kapitalisme, neo-liberalisme, atau kekerasan?” pertanyaan-pertanyaan begitu jika ditanya ke Butet tentu mudah dijawab. Tetapi bukankah terlalu berlebihan berharap semuanya selesai pada satu kerja sukarela satu orang. Zaman sekarang, memperkuat kerja bersama lebih baik daripada mengajukan sejumlah pertanyaan.

Melalui Butet saya terpikir dengan perjalanan hidup sendiri, termasuk ingat pengalaman Nabi Musa yang belajar ke Khidir. Ada banyak pertanyaan yang tak terjawab. Yang harus dilakukan, jika jadi Musa adalah meracik sendiri jawaban kreatifnya sembari betul-betul melakukan refleksi mendalam. Itu penting, karena untuk memahami mantra kebahagiaan, yang dibutuhkan adalah kesiapan diri sendiri. kesiapan untuk menghargai hal-hal kecil. Kesiapan untuk memahami penghargaan terhadap kemanusiaan sejati.

Tentu saja, soal “apa hal-hal kecil itu?” harus dijawab sendiri. Sulit? Ya, itu tak aneh, sebab begitu yang dialami oleh anggota DPR sehingga tak bisa bikin UU bagus untuk rakyat. Termasuk sulitnya memahami “penghargaan hidup” karena baru-baru saja seorang polisi menembak kepala rakyat biasa, atau seorang aparatur desa yang menyuruh preman membunuh warganya sendiri. Belum lagi tentara yang menendang perut seorang wanita paruh baya. Atau, pengusaha yang lepas tanggungjawab setelah melumpuri kota dan membakar hutan. Makanya menjadi luar biasa jika itu bisa dimaknai secara tepat. Itu juga kenapa ini menyangkut soal kemanusiaan sejati. Sekali penghargaan terhadap kehidupan dilakukan,  kewarasan kita terpelihara, indikator sebagai manusia juga terbukti.

Arti Tiga Mantra 

Tiga mantra Butet bermakna begini.

https://crimsonstrawberry.files.wordpress.com/2013/05/30.jpg


Pertama, kebahagiaan hanya bisa diperoleh lewat “rendah hati”. Artinya kebahagiaan itu adalah saat kita membiarkan diri kita mengalami kehidupan secara bermakna. Tak merasa memiliki banyak jawaban atas persoalan Hutan begitu masuk ke Hutan. Tak merasa punya cara jitu untuk menyelesaikan problem pendidikan masyarakat pedalaman begitu masuk ke pedalaman. Pelajari dari orang-orang sekitar, dan ambil bagian, begitu kira-kira.

Kedua, kekuatan selalu muncul dari keyakinan-keyakinan. Erich Fromm seorang filsuf Jerman pernah bilang kalau harapan melipatgandakan kemungkinan realitas diubah. Karena keyakinan berkaitan dengan kenyataan bahwa banyak hal yang bisa memperkuat kerja-kerja kemanusiaan. Keyakinan, menjadikan diri kita percaya bahwa banyak orang yang sebenarnya sedang membantu kita mencapai sebuah misi. Kalaupun tak ada orang-orang itu, gunung, langit, dan angin akan membantu. Dalam Rumah Baca Komunitas, kami menyebut ini sebagai gerakan mikroba. Tak merasa sendiri dalam berjuang, dan yakin bahwa “semesta mendukung”. 


Ketiga, kebahagiaan muncul dari penghargaan diri sendiri, menghormati kehidupan, dan berjuang untuk kemanusiaan sejati. Kebahagiaan berpadu ke dalam tiga hal itu. Penghargaan diri sendiri maksudnya ialah kesadaran tentang jati diri kemanusiaan. Sadar bahwa kita manusia, dan oleh karena itu harus melakukan tanggungjawab kemanusiaan. Kebahagiaan muncul dari proses itu. Kebahagiaan sejati selalu muncul dari perjuangan kemanusiaan sejati. Karena kebahagiaan materi atau status sosial hanya akan bertahan untuk masa tertentu. Tak abadi, apalagi membekas. Orang-orang yang bahagia secara materi sejak zaman primitif tak bisa meninggalkan apapun di masa sekarang, selain kerusakan. Dibandingkan dengan warisan orang-orang bahagia di masa lampau. Mereka mewariskan pengetahuan, kebijaksanaan, dan alam yang indah. Mereka mewariskan “hantu-hantu” yang membawa keadilan menembus ruang-waktu melawan kezaliman dari feodalisme, imperialisme hingga kapitalisme, demikian Derrida.

Spiral-Spiral Gardu

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Selalu ada yang kalah di dalam modernitas. Tak hanya manusia, sejarah juga takluk. Hal itu, tak terkecuali hasil-hasil modernitas itu sendiri di masa lampau. Gardu mengalami yang serupa, sebuah pengasingan intrinsik tentang nilai dan kejayaannya.



Beberapa waktu yang lalu Cak David di Rumah Baca Komunitas membahas soal Gardu. Sebuah diskusi yang mengajak sisi lain sejarah untuk mengingat kompleksitas dirinya sendiri.

Mungkin Gardu tersisih karena sebagai sebuah bangunan, tak mampu menjembatani kepentingan modernitas. Bentuknya kecil dengan letak yang hanya menjangkau hasrat mengawasi. Pengawasan tindak-tunduk manusia—ras pembuatnya sendiri. Dari Gardu, mata-mata mengawasi dan memberi ruang bagi kecurigaan yang dibenarkan. Kalau malam-malam saya melewati Gardu—tempat kongkow-kongkow orang perumahan, tatapan mereka menyisir seluruh hal. Plat nomor motor, model pakaian, potongan rambut, raut wajah, dan lain sebagainya.

Kalau melewatinya pagi-pagi, tampak sepi. Digembok dari luar. Kalau punya teras, biasanya jadi tempat persinggahan pedagang keliling. “people silence, biasanya juga memanfaatkan gardu” kata Kak Wiek di sela-sela diskusi.

Gardu adalah sebuah istilah yang merujuk kepada sebuah konstruk bangunan kecil. Peruntukannya yang paling dominan adalah sebagai tempat kongkow-kongkow. Meski begitu, Abidin Kusno dalam bukunya Guardian of Memories; Gardu in Urban Java (2006) tak selalu sepakat.

Spiral-Spiral Gardu

Membaca tentang aspek historis dan peranan politik gardu, kita ditawarkan pendekatan spiral oleh Kusno. Melihatnya dari strategi politik kampanye PDI. Atau, melihatnya secara adil sebagai bagian dari sejarah kolonial. Pendekatan bertutur spiral ala Kusno merupakan sebuah pilihan ketika membuka substansi dari Gardu melalui apa-apa yang melingkari historisitasnya.

Gardu yang berarti “rumah-jaga” (guardhouse) dipengaruhi oleh bahasa Prancis; garde yang bermakna “penjaga”. Dalam sistem tonarigumi semacam yang diterapkan oleh Jepang, Gardu memiliki fungsi mobilisasi rakyat (doin). Tonarigumi memiliki makna sebagai “tempat berkumpul masyarakat”, juga dekat dengan semacam pengertian “lingkungan masyarakat berasosiasi”. Hal itu misalnya dapat dilihat pada Forum Betawi Rembug yang mendirikan gardu untuk mengembangkan jejaring dengan memanfaatkan sistem keamanan lokal yang biasanya disebut siskamling (Ian Douglas Willson, 2006: 265-297).

Ketika Wilson mencoba menjelaskan bagaimana perubahan dan pergeseran kontur penggorganisasian kekerasan pasca orde baru, dia melihat Gardu juga mengalami variasi fungsi. FBR misalnya, memanfaatkan Gardu sebagai galeri kecil yang memajang hasil-hasil seni. Lukisan, dipajang di dinding Gardu. Apakah kontur pergeseran sosial dalam masyarakat dapat ditinjau melalui perubahan-perubahan fisik? Misalnya dengan perubahan fungsi infrastruktur tertentu?. Ini sebuah pertanyaan yang dijawab oleh Kusno melalui pendekatan spiral.

Ada jaringan atau asosiasi yang dibentuk dan diperkuat oleh Gardu. Fungsinya yang demikian menurut Kusno dapat menjadi pembuka sejarah yang panjang mengenai Gardu. Pemanfaatan Gardu dan segala fungsinya merepresentasi kategori masyarakat urban yang selalu berubah dan dipengaruhi oleh kecenderungan untuk membentuk sistem keamanan. Lalulintas sosiologis yang begitu di daerah perkotaan menciptakan ruang-ruang fisik sebagai penyeimbang. Itu yang dilakukan juga pada awal masa kemerdekaan dalam mengawasi kelompok republiken dan non-republiken.   

Sebagai sebuah konstruk bangunan, Gardu tentu saja bisa sedemikian misterius. Maka, Gardu bukan sekedar “penjaga makna” atau “penjaga ingatan”. Gardu adalah si pengikat makna. Konon para Raja di masa lampau, mengikat makna kosmiknya menggunakan Gardu. Masyarakat mengikat makna kekuasaan raja sebagai si pemilik kosmos melalui kehadiran Gardu.

Salah-satu hal yang menurut saya sendiri cukup berani dilakukan oleh Kusno adalah dengan mendefinisikan Gardu sebagai sebuah “ruang” dengan volume yang ditentukan oleh konteks sejarah. Dalam hal ini, Gardu sebagai sebuah konsep abstrak mampu diletakkan ke dalam konstruk bangunan yang hadir dalam beragam fungsi publiknya. Maka tak heran, saya lebih sepakat jika Gardu semacam pengikat makna. Sebab, konsepsi Gardu terbentuk atas perannya dalam mengikat makna. Kusno sendiri memberi uraian historis tentang perubahan-perubahan fungsi Gardu dalam berbagai konteks waktu. Meskipun pada akhirnya kesan bahwa Gardu merupakan bagian dari konstruk urban. 


Mulai dari sudut itu, Gardu dengan demikian menjadi salah-satu bangunan yang secara intrinsik melekat dengan perubahan-perubahan masyarakat. Entah sebagai sebuah jembatan bagi manusia dengan segala kompleksitasnya atau menjadi sebuah konstruk tunggal yang kehadirannya niscaya. Yang jelas, Gardu tak menjadi sumber noda sejarah, atau perlindungan apapun. Kecuali manusia-manusia yang menuju kemajuannya sendiri memaksa konstruk terlibat seolah-olah mereka menjadi instrumen yang dikuasai oleh manusia. Padahal, setiap bagian dari kosmos polis, adalah sebuah kenangan yang terus berubah dan memperbarui.