Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Bung Hatta waktu itu sudah bilang baik-baik. “Jepang dengan
perantaraan Marsekal Terauchi di Dalat telah mengakui kemerdekaan Indonesia
yang pelaksanaannya akan diselenggarakan oleh Panitia Persiapan kemerdekaan
Indonesia besok pagi jam 10 di Pejambon”. Para pemuda yang terdiri dari
Soebadio Sastrosatomo dan Soebianto tetap kekeuh. “Di saat revolusi, kami
rupanya tidak dapat membawa Bung ikut serta. Bung tidak revolusioner” mereka
berkata dengan kecewa. Dua pemuda itu berharap Bung Hatta dan Soekarno
menyegerakan deklarasi kemerdekaan.
Cerita tentang dua pemuda itu mengingatkan saya tentang apa
yang kita temukan hari ini dalam proses transformasi sosial. Pertama, soal apa
yang disebut sebagai “revolusioner” dan apa yang bukan. Kedua, adalah soal
bagaimana di saat-saat tertentu transformasi sosial tidak selalu mengemuka
dalam bentuk “kesegeraan”. Ketiga, soal kealpaan terhadap apa yang disebut
sebagai bersikap menghadapi realitas. Keempat, soal pentingnya membuka ruang
bicara, yang diiringi oleh sebuah sikap reflektif. Tantangan keempat ini
menurut saya adalah yang paling sulit.
Kutipan dialog di atas bersumber dari catatan Hatta yang
ditulisnya menjelang akhir hidup. Sepanjang yang saya ketahui, Hatta adalah
seorang penulis yang jujur. Dia adalah representasi seorang intelektual,
filsuf, dan semacam pemikir yang terhubung secara rasional dengan tindakan.
Hatta tidak pernah segan-segan menguji sendiri pemikirannya ketika berhadapan
dengan siapapun. Saya kira sikap reflektif seorang intelektual seperti itu
merupakan catatan penting untuk menjawab tantangan terhadap proses transformasi
sosial nomor keempat yang saya nyatakan di atas. Sekaligus memungkinkan
penemuan sebuah jawaban terhadap tantangan nomor satu hingga nomor tiga.
Hatta adalah seorang intelektual yang tidak pernah merasa
dirinya adalah aktor yang paling “berkesadaran”. Analisanya murni dari sebuah
perpaduan antara tindakan dan pemikiran, serta sebuah kesibukan untuk
terus-menerus menelaah secara kritis tesis-tesis yang dikembangkannya. Sewaktu
para pemuda menyatakan “Bung tidak revolusioner”, Hatta sama sekali tidak
terpengaruh. Dia hanya tersenyum dan berkata “tindakan yang akan engkau adakan
itu adalah Putsch, seperti yang
dilakukan oleh Hitler di Munchen tahun 1923”. Tentu saja respon Hatta menyulut
marah dan kekhawatiran bagi Pemuda. Di balik kemarahan pemuda, Hatta masih
menyimpan ruang diskusi.
Diajaknya Soekarno, Subardjo, dan Boentaran yang sedang
berkumpul di rumah Soekarno untuk membicarakan kehendak pemuda. Apalagi Wikana
yang mewakili pemuda, beberapa menit yang lalu sempat memberikan gertakan
kepada Soekarno. “Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman
kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan
penumpahan darah” gertak Wikana. Tanpa takut Soekarno menimpali “Ini leherku,
seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan
menunggu besok”. Wikana menurut catatan
Hatta, terperanjat. Wikana meminta maaf dan menyatakan maksud yang lain. “bukan
Bung yang saya maksud”.
Tidak sekali itu saja Hatta dihadapkan pada kondisi dicap “tidak
revolusioner”. Salah-satu yang cukup terkenal terjadi antara Hatta dan Tan Ling
Djie. Tanpa bermaksud untuk mengetengahkan posisi benar-tidak antara kedua
orang tersebut, kita dapat mengambil salah-satu makna penting. Hatta adalah
seorang yang mengaku bahwa dia “harus tahu diri” soal teori Marxisme. Meskipun
itu sama sekali tidak menggambarkan bahwa Hatta benar-benar tidak mengerti soal
teori Marxisme. Lebih daripada itu, Hatta adalah seorang pembaca Marxisme yang
kritis dan disiplin. Kritis, sebab Hatta mampu memelihara sikap kritisnya di
tengah kekagumannya terhadap Marx. Disiplin, sebab Hatta mampu jernih
mendialektikan diri dengan Marxisme. Misalnya saat perdebatan dengan Tan Ling
Djie, Hatta memberi keterangan soal Marxisme dengan jernih. Dalam proses
perdebatan itu Hatta dalam sebuah karangan panjang berjudul Ajaran Marx atau Kepintaran Murid Membeo
begitu jujur memahami keterbatasan-keterbatasannya.
Menjadi
Superior
Kalau belajar jujur, disiplin, dan kritis seperti Hatta
cukup sulit, minimal menjadi seseorang yang tidak berniat mendominasi.
Pelajaran penting dari Hatta adalah soal menyadari bahwa antara tiap subjek
tidak dapat saling menegasikan. Ilmu pengetahuan memang penting, tetapi
menyadari bahwa manusia sebagai subjek yang mengenali memiliki peran dari
sebuah narasi sejarah juga tak kalah penting.
Beberapa waktu yang lalu saat mendengar seorang aktivis
mempresentasikan jalan politiknya, saya menangkap kesan superioritas. Saya
kira, Alm Mansour Fakih cs tak pernah merasa begitu “berkesadaran” saat
melakukan aktivitas penggorgansasian massa. Begitu juga dengan Hatta, sama
sekali tak tersiratkan sebuah kekuasan yang berasal dari perasaan “merasa
sadar”.
Pekerjaan menggorganisir bukan pekerjaan kekuasaan, itu
semacam pengambilan dan pembagian peran. Tetapi tidak berarti antara tiap
subjek yang mengambil peran merasa paling berkuasa atas “kesadaran” dari yang
liyan. Di dalam konteks gerakan sosial saat ini, salah-satu tantangan yang
muncul ada demistifikasi agen. Di sadari atau tidak ini bagian dari sebuah
pertanyaan Derrida soal keadilan dan hukum yang melampaui sebuah konteks waktu.
Di mana, tiap perjuangan haruslah pada suatu waktu diuji apakah ia sebagai
sebuah perjuangan berdiri di atas semua ruh masa lalu atau masa depan.
Demistifikasi agen di dalam kerangka sosial merupakan suatu penunjuk bahwa
sesungguhnya transformasi sosial tidak dibangun atas peran mereka yang merasa
“berkesadaran”. Di dalamnya terdapat logika atau moral sosiologis dari tiap
struktur sosial yang juga turut mengambil perannya masing-masing.
Demistifikasi agen sebenarnya merupakan suatu kritik yang
alami muncul dari transformasi struktur sosial yang kian kompleks. Di mana,
pertautan ideologi dalam kehidupan sehari-hari menjadi kian menipis, dan
pembelaan terhadap eksistensi pertautan itu sendiri diisolasi ke dalam kerangka
moral antropologis. Maka sudah menjadi wajar jika agen dalam transformasi
sosial dipandang sebagai yang “terlalu berkesadaran” sehingga nampak tak
menyatu dengan basis struktur sosial manapun. Hal ini memang dapat
diperdebatkan sejauh asumsi mengenai pertautan antara tiap ideologi berbaur
dalam berbagai setting politik
ekonomi.
Maka wajar saja seorang teman yang juga merupakan seorang
pegiat suatu komunitas berkomentar, “Mas, kok nampak rumit sekali ya proses
transformasi sosialnya?”. Saya kira, pertanyaan itu tidak sesederhana bahwa
subjek bertanya tak mampu mencapai posisi “berkesadaran”. Melainkan bahwa
“berkesadaran” telah menjadi dawai yang mengatur ritme serta dan kekuasaan si
agen terhadap subjek yang lain. Masalah di sini, dalam proses transformasi
sosial pengertian tentang agen banyak didominasi secara sepihak sebagai
“intelektual”, atau “cendekia” bukan lagi “aksi massa”.
Pergeseran bahwa si “berkesadaran” sebagai cendekia
merupakan suatu proses yang telah menghapus “aksi massa” dari perbendaharaan
aktivisme sekarang ini. “Aksi massa” dipandang sebagai konsekuensi logis dari
kehadiran agen. Dan sebagai sebuah manifestasi kolektif atas eksistensi
kesadaran agen. Melalui Hatta saya tidak menangkap suatu identitas superior
atas apa yang disebut “kesadaran”. Meskipun sekarang, masing-masing agen atau
gerakan sosial merasa berhak menjadi “payung” aktivisme gerakan sosial melalui
pendakuan identitas di belakang gerakan seperti tambahan “Indonesia” dalam sintagma
nama. Seakan-akan tanpa mereka yang “berkesadaran” adalah sebuah tangga penting
untuk melepaskan neraka dari yang liyan. Mungkin, “Orang lain adalah Neraka” ,
yang tak pernah mengerti jika tak dijelaskan, yang berdosa karena “bodoh”, atau
yang tak terselamatkan.
No comments:
Post a Comment