Monday 12 October 2015

Mereka Yang Berkesadaran; "Orang Lain adalah Neraka"

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Bung Hatta waktu itu sudah bilang baik-baik. “Jepang dengan perantaraan Marsekal Terauchi di Dalat telah mengakui kemerdekaan Indonesia yang pelaksanaannya akan diselenggarakan oleh Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia besok pagi jam 10 di Pejambon”. Para pemuda yang terdiri dari Soebadio Sastrosatomo dan Soebianto tetap kekeuh. “Di saat revolusi, kami rupanya tidak dapat membawa Bung ikut serta. Bung tidak revolusioner” mereka berkata dengan kecewa. Dua pemuda itu berharap Bung Hatta dan Soekarno menyegerakan deklarasi kemerdekaan.

Cerita tentang dua pemuda itu mengingatkan saya tentang apa yang kita temukan hari ini dalam proses transformasi sosial. Pertama, soal apa yang disebut sebagai “revolusioner” dan apa yang bukan. Kedua, adalah soal bagaimana di saat-saat tertentu transformasi sosial tidak selalu mengemuka dalam bentuk “kesegeraan”. Ketiga, soal kealpaan terhadap apa yang disebut sebagai bersikap menghadapi realitas. Keempat, soal pentingnya membuka ruang bicara, yang diiringi oleh sebuah sikap reflektif. Tantangan keempat ini menurut saya adalah yang paling sulit.

Kutipan dialog di atas bersumber dari catatan Hatta yang ditulisnya menjelang akhir hidup. Sepanjang yang saya ketahui, Hatta adalah seorang penulis yang jujur. Dia adalah representasi seorang intelektual, filsuf, dan semacam pemikir yang terhubung secara rasional dengan tindakan. Hatta tidak pernah segan-segan menguji sendiri pemikirannya ketika berhadapan dengan siapapun. Saya kira sikap reflektif seorang intelektual seperti itu merupakan catatan penting untuk menjawab tantangan terhadap proses transformasi sosial nomor keempat yang saya nyatakan di atas. Sekaligus memungkinkan penemuan sebuah jawaban terhadap tantangan nomor satu hingga nomor tiga.

Hatta adalah seorang intelektual yang tidak pernah merasa dirinya adalah aktor yang paling “berkesadaran”. Analisanya murni dari sebuah perpaduan antara tindakan dan pemikiran, serta sebuah kesibukan untuk terus-menerus menelaah secara kritis tesis-tesis yang dikembangkannya. Sewaktu para pemuda menyatakan “Bung tidak revolusioner”, Hatta sama sekali tidak terpengaruh. Dia hanya tersenyum dan berkata “tindakan yang akan engkau adakan itu adalah Putsch, seperti yang dilakukan oleh Hitler di Munchen tahun 1923”. Tentu saja respon Hatta menyulut marah dan kekhawatiran bagi Pemuda. Di balik kemarahan pemuda, Hatta masih menyimpan ruang diskusi.

Diajaknya Soekarno, Subardjo, dan Boentaran yang sedang berkumpul di rumah Soekarno untuk membicarakan kehendak pemuda. Apalagi Wikana yang mewakili pemuda, beberapa menit yang lalu sempat memberikan gertakan kepada Soekarno. “Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah” gertak Wikana. Tanpa takut Soekarno menimpali “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu besok”.  Wikana menurut catatan Hatta, terperanjat. Wikana meminta maaf dan menyatakan maksud yang lain. “bukan Bung yang saya maksud”.

Tidak sekali itu saja Hatta dihadapkan pada kondisi dicap “tidak revolusioner”. Salah-satu yang cukup terkenal terjadi antara Hatta dan Tan Ling Djie. Tanpa bermaksud untuk mengetengahkan posisi benar-tidak antara kedua orang tersebut, kita dapat mengambil salah-satu makna penting. Hatta adalah seorang yang mengaku bahwa dia “harus tahu diri” soal teori Marxisme. Meskipun itu sama sekali tidak menggambarkan bahwa Hatta benar-benar tidak mengerti soal teori Marxisme. Lebih daripada itu, Hatta adalah seorang pembaca Marxisme yang kritis dan disiplin. Kritis, sebab Hatta mampu memelihara sikap kritisnya di tengah kekagumannya terhadap Marx. Disiplin, sebab Hatta mampu jernih mendialektikan diri dengan Marxisme. Misalnya saat perdebatan dengan Tan Ling Djie, Hatta memberi keterangan soal Marxisme dengan jernih. Dalam proses perdebatan itu Hatta dalam sebuah karangan panjang berjudul Ajaran Marx atau Kepintaran Murid Membeo begitu jujur memahami keterbatasan-keterbatasannya.

Menjadi Superior

Kalau belajar jujur, disiplin, dan kritis seperti Hatta cukup sulit, minimal menjadi seseorang yang tidak berniat mendominasi. Pelajaran penting dari Hatta adalah soal menyadari bahwa antara tiap subjek tidak dapat saling menegasikan. Ilmu pengetahuan memang penting, tetapi menyadari bahwa manusia sebagai subjek yang mengenali memiliki peran dari sebuah narasi sejarah juga tak kalah penting.

Beberapa waktu yang lalu saat mendengar seorang aktivis mempresentasikan jalan politiknya, saya menangkap kesan superioritas. Saya kira, Alm Mansour Fakih cs tak pernah merasa begitu “berkesadaran” saat melakukan aktivitas penggorgansasian massa. Begitu juga dengan Hatta, sama sekali tak tersiratkan sebuah kekuasan yang berasal dari perasaan “merasa sadar”.

Pekerjaan menggorganisir bukan pekerjaan kekuasaan, itu semacam pengambilan dan pembagian peran. Tetapi tidak berarti antara tiap subjek yang mengambil peran merasa paling berkuasa atas “kesadaran” dari yang liyan. Di dalam konteks gerakan sosial saat ini, salah-satu tantangan yang muncul ada demistifikasi agen. Di sadari atau tidak ini bagian dari sebuah pertanyaan Derrida soal keadilan dan hukum yang melampaui sebuah konteks waktu. Di mana, tiap perjuangan haruslah pada suatu waktu diuji apakah ia sebagai sebuah perjuangan berdiri di atas semua ruh masa lalu atau masa depan. Demistifikasi agen di dalam kerangka sosial merupakan suatu penunjuk bahwa sesungguhnya transformasi sosial tidak dibangun atas peran mereka yang merasa “berkesadaran”. Di dalamnya terdapat logika atau moral sosiologis dari tiap struktur sosial yang juga turut mengambil perannya masing-masing.

Demistifikasi agen sebenarnya merupakan suatu kritik yang alami muncul dari transformasi struktur sosial yang kian kompleks. Di mana, pertautan ideologi dalam kehidupan sehari-hari menjadi kian menipis, dan pembelaan terhadap eksistensi pertautan itu sendiri diisolasi ke dalam kerangka moral antropologis. Maka sudah menjadi wajar jika agen dalam transformasi sosial dipandang sebagai yang “terlalu berkesadaran” sehingga nampak tak menyatu dengan basis struktur sosial manapun. Hal ini memang dapat diperdebatkan sejauh asumsi mengenai pertautan antara tiap ideologi berbaur dalam berbagai setting politik ekonomi.

Maka wajar saja seorang teman yang juga merupakan seorang pegiat suatu komunitas berkomentar, “Mas, kok nampak rumit sekali ya proses transformasi sosialnya?”. Saya kira, pertanyaan itu tidak sesederhana bahwa subjek bertanya tak mampu mencapai posisi “berkesadaran”. Melainkan bahwa “berkesadaran” telah menjadi dawai yang mengatur ritme serta dan kekuasaan si agen terhadap subjek yang lain. Masalah di sini, dalam proses transformasi sosial pengertian tentang agen banyak didominasi secara sepihak sebagai “intelektual”, atau “cendekia” bukan lagi “aksi massa”.


Pergeseran bahwa si “berkesadaran” sebagai cendekia merupakan suatu proses yang telah menghapus “aksi massa” dari perbendaharaan aktivisme sekarang ini. “Aksi massa” dipandang sebagai konsekuensi logis dari kehadiran agen. Dan sebagai sebuah manifestasi kolektif atas eksistensi kesadaran agen. Melalui Hatta saya tidak menangkap suatu identitas superior atas apa yang disebut “kesadaran”. Meskipun sekarang, masing-masing agen atau gerakan sosial merasa berhak menjadi “payung” aktivisme gerakan sosial melalui pendakuan identitas di belakang gerakan seperti tambahan “Indonesia” dalam sintagma nama. Seakan-akan tanpa mereka yang “berkesadaran” adalah sebuah tangga penting untuk melepaskan neraka dari yang liyan. Mungkin, “Orang lain adalah Neraka” , yang tak pernah mengerti jika tak dijelaskan, yang berdosa karena “bodoh”, atau yang tak terselamatkan.

No comments:

Post a Comment