Wednesday 23 March 2016

Anarkisme, Gerakan yang Penuh Inspirasi

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

http://jura.org.au
Kerapkali, tak hanya sekali, makna istilah anarkisme menjadi demikian dangkal. Tidak hanya pengertiannya saja, melainkan juga imajinasi istilah ini. Bayangkan, kekeliruan itu tidak hanya digunakan oleh segelintir kelompok sebagaimana mereka menggunakan istilah “Islam Radikal” untuk menunjukkan “kelompok yang menggunakan kekerasan sebagai jalan dakwah”. Persoalannya bukan pada istilah Islam, melainkan pada adjektiva “radikal” yang sebenarnya justru bermakna “mendalam”. Begitu pun dengan istilah anarkisme. Entah media massa cetak atau media sosial, atau ceramah seorang profesor di podium akademik, anarkisme digunakan untuk merujuk tindakan destruktif, tak beradab, bengis, atau kejam.

Darimana istilah anarkisme berubah menjadi demikian serampangan?. Beruntung jika publik Indonesia belakangan ini diramaikan dengan penerbitan buku-buku yang membahas soal anarkisme, dua di antaranya ialah yang diterbitkan Marjin Kiri, yakni Sean M. Sheehan Anarkisme; Sebuah Perjalanan Gerakan Perlawanan (2014); John Moore (Ed.) dan Spencer Sunshine Aku Bukan Manusia. Aku Dinamit; Filsafat Nietzsche dan Politik Anarkisme (2014).

Buku pertama, yang ditulis oleh Sheehan, membahas soal kebangkitan anarkisme sebagai sebuah gerakan baru yang disebut dengan “Neo-Anarkisme. Sheehan memberi contoh sejumlah demo anti-kapitalis yang jauh dari kesan “anarkis” seperti bakar ban, bentrokan jalanan, atau perusakan fasilitas umum. Jauh dari kesan dan taktik semacam itu, demo anarkisme justru muncul lebih kreatif. Misalnya “aksi duduk diam” yang begitu terkenal dengan gerakan anarkis kini menjadi suatu yang umum digunakan oleh banyak gerakan sosial lainnya. Tampaknya kreasi model demo yang “tanpa-kekerasan” banyak diinspirasi dari gerakan anarkisme, telah menjadi pilihan rasional kelompok non-anarkis. Model lainnya ialah “teater jalanan”, “barikade rantai manusia”, “pengibaran spanduk”, dan tentu saja sejumlah aksi demo yang fotogenik kerapkali menjadi sangat bermakna.

Sheehan juga memberi contoh lain soal penggunaan instrumen demo yang kreatif dan aneh. Siapa yang tidak janggal menemukan barisan polisi menghadapi ribuan boneka kain yang ditembakkan oleh sebuah tiruan ketapel abad pertengahan di atas udara? Kalau masih belum aneh, lihatlah aksi kelompok radikal cheerleaders. Yang lebih lucu adalah kenyataan bahwa demonstrasi damai ini dihadapi oleh polisi anti huru-hara dengan serbuan tembakan peluru karet dan gas air mata hingga granat getar. Sheehan menggambarkan “gelap matanya” aparat keamanan menghadapi kreatifitas demonstrasi ini dengan melakukan penahanan ilegal terhadap 631 demonstran. Untuk hal ini, kita semua pasti ingat kasus baru-baru ini di mana Adlun Fikri dipenjara karena merekam tindakan pemalakan seorang oknum polisi. Adlun, tak bersenjata, juga sama sekali tak berbahaya. Saya pernah bertemu dengannya saat diskusi di Rumah Baca Komunitas, dan perlu diketahui, orang ini sama sekali tak tampak tega menyakiti siapapun.

Tindakan-tindakan “perlawanan” yang tak tampak “melawan” ini merupakan kejadian sehari-hari yang ditemukan. Di Indonesia, sekelompok ibu-ibu menghadang aparat keamanan yang hendak membuka barikade pemblokiran masyarakat terhadap alat-alat berat yang merusak alam. Dan seperti yang sudah-sudah, seorang ibu yang tengah hamil ditendang perutnya. Dalam banyak hal, tindakan anarkisme yang penuh dengan sikap tak “melawan” dihadapi begitu keras, ilegal, dan keji, yang menandakan si pengguna tak menggunakan akal sama sekali. Beberapa orang anarkis seperti Theodore Kaczynski sang penulis Unabomber Manifesto ini bahkan menjalani hidup tanpa listrik, dan menanam sendiri sayuran yang dimakannya.

Istilah anarkisme berasal dari bahasa yunani yang berarti “tanpa pemimpin”, “tanpa pemerintah” atau “tanpa negara”. Pengertian ini jangan sampai membuat kita jatuh kepada pemahaman bahwa anarkisme dengan segala variasinya menolak negara. Sebagaimana dijelaskan Sheehan, anarkisme menolak negara sebagai “realitas transendental” sekaligus sebagai “perangkat empiris” yang  membuat negara berarti “suatu tatanan berkuasa yang menuntut dan menghendaki kepatuhan warganya..” (hlm. 24). Tentu saja, dalam pandangan republikan, hal ini termasuk tak dapat diterima, tetapi anarkisme punya penjelasan kasuistik yang menarik untuk direfleksikan. Apalagi mengingat anarkisme sebenarnya merupakan perwujudan perlawanan sehari-hari, spontan, yang tak terhitung bentuk serta konteksnya. Misalnya, dalam negara yang berdasar hukum dan menganut demokrasi sekalipun, sejumlah referendum yang menyangkut nyawa banyak orang ditentukan oleh segelintir kelompok. Siapa menentukan masyarakat Indonesia secara keseluruhan dari ujung timur ke ujung barat harus bersiap-siap menghadapi ekspansi pemodal asing, sementara kebutuhan pokoknya pun tak dapat dijamin aman oleh negara?. Untuk soal ini memang dapat diperdebatkan (tapi siapa yang peduli? Bukankah eksistensi negara diukur lewat kapasitasnya menjamin hidup komunitas?).

http.amazon.com
Buku kedua, ditulis oleh John Moore dan Spencer Sunshine Aku Bukan Manusia. Aku Dinamit; Filsafat Nietzsche dan Politik Anarkisme, merupakan sebuah percobaan reflektif tentang kaitan antara pemikiran Nietzsche dan anarkisme. Sebenarnya percobaan begini bukan sesuatu yang asing. Sebagaimana diketahui, belakangan ini pemikiran Nietzsche kerap disinggung untuk membahas persoalan nasionalisme, agama, militerisme, atau hukum. Jika Heath dan Potter menganggap bahwa “gerakan politik radikal selalu memikat orang gilanya sendiri-sendiri” maka karya Moore dan Spencer ini tak pelak menunjukkan justru Nietzsche sebagai pemikir “gila”, dengan pikiran-pikirannya itu begitu memikat gerakan radikal semacam anarkisme.

Radikal dan anarkisme memang berdekatan sebab kedua-duanya mengambil segala yang berada di akar untuk menjadi landasan hidup. Bukan sesuatu yang begitu superfisial sekaligus menjadi penyebab keruntuhan peradaban manusia. Moore yang terkenal mengusung Primitivisme sebagai teori sosial dalam salah-satu wawancara menyatakan bahwa anarkisme membawa kritik totalitas peradaban dengan berusaha memulai transformasi yang menyeluruh meliputi segala aspek kehidupan manusia. Radikalnya anarkisme terletak persis pada sifat kritik totalitas peradaban tersebut dan sifat komprehensifnya. Hal ini sama nyaris dengan bagaimana penganut kepercayaan seperti Islam melihat bahwa dasar dari masalah kontemporer adalah totalitas peradaban yang tercerabut dari nilai-nilai ilahiah. Tentu saja ini bukan asumsi, karena sebuah kuis internet pernah menantang perbedaan-perbedaan gagasan substantif antara Kaczynski tentang kerusakan alam akibat industri dan gagasan Al-Gore dalam buku Earth in the Balance. Hasilnya apa? Tak syak lagi banyak orang yang kesulitan membedakan nukilan Kaczynski dalam Unabomber Manifesto dan nukilan Al-Gore dalam Earth in the Balance.

Buku Aku Bukan Dinamit, secara praktis sebenarnya hendak mencicil primitivisme sebagai teori sosial, dan menjelaskan kepada khalayak tentang inspirasi-inspirasi Nietzsche bagi anarkisme. Penting juga untuk dicatat bahwa Moore dan Spencer mengedit sejumlah tulisan yang secara garis besar tak menunjukkan usaha-usaha untuk menunjukkan bahwa anarkisme melakukan penyeruan untuk “kembali ke masa lalu”. Justru muncul kesan bahwa anarkisme merupakan gerakan yang membuka preseden baru bagi peradaban melalui penghapusan kekuasaan. Letak penting buku ini bagi penikmat gagasan anarkisme adalah melihat masa depan sebagai dunia yang mungkin. 
_________________
sumber: http://www.ipm.or.id/2016/03/anarkisme-gerakan-yang-penuh-inspirasi.html

Sunday 20 March 2016

Catatan Ultah Ayah

Mengingat hari kelahiran orangtua sendiri sama halnya dengan menduga bagaimana perjalanan hidup manusia ternyata tak dibatasi oleh kemewaktuan (zeit) di dunia. Baru kemarin saya mengikuti diskusi terbatas yang bicara soal daur hidup (cycle life). Manusia sebagaimana diduga, menjalani hidup sebagai temuan, maka takdirnya seringkali disebut tanda. Sedangkan penemuan dirinya seringkali diikuti oleh proses memaknai.

Maka tak heran jika kehidupan manusia digambarkan sebagai proses produksi, yang mengadakan (tenir), meskipun dalam literatur dia juga dipadankan dengan kata khalaq atau creatura. Dengan demikian ada dua disposisi yang dimiliki oleh manusia.

Disposisi manusia sebagai tenir menghasilkan daya-hidup. Pernah suatu kali ayah berkata “hiduplah dengan cara menjaga keseimbangan antara kaki dan mata, jang sampe kaki bajalang kong mata iko bajalang.” Bagi saya itu adalah bagian dari proses membagi daya-tahan hidup.

Disposisi kedua adalah manusia sebagai sosok creatura atau khalaq. Disposisi ini pada umumnya diterima dengan premis utama bahwa syarat keberadaan manusia bertopang pada adanya creature. Sekali lagi, ini syarat disposisi bisa mengemuka.

Saya tak ingat bagaimana persisnya, tapi kira-kira ayah pernah bilang begini, “di mana saja, manusia itu musti ikhtiar. Tak gampang digoyah. Tak mudah dibolak-balik antara pikiran dan nafs.” Waktu itu saya baru saja masuk sekolah menengah, dan bisa ditebak, nasihat demikian membuat saya menjadi bertanya soal batas antara akal dan jiwa.

Saya menerima bahwa manusia, jiwa, bahkan mungkin saja waktu adalah corporal. Jadi untuk sementara, batas antara akal dan jiwa selesai dengan meyakinkan tanpa harus dipastikan.
Ada sisi lain dari ayah maupun ibu saya. Sebagaimana setiap manusia, perjalanan hidup tak selalu dibilang mudah; dan seringkali cara mereka bertahan menjadi semacam Geschichte. Tak mudah juga mengingatnya apalagi disajikan. Tapi selalu ada momen untuk mengingatnya, misalnya tepat saat hari lahir ayah atau ibu. Saya jadi memaklumi John Farndon, seorang penulis pop berkata “bagaimana mungkin gagasan yang mendalam dan kompleks direduksi menjadi semacam kontes?.” Waktu itu, mungkin saja ikut gentar soal penyajian ide manusia. Farndon akhirnya bisa melakukannya, dan seperti yang disampaikannya sendiri; dia tengah “mengecoh.”

“Gagasan telah membentuk pengalaman kita tentang dunia” kata Farndon. Sesuatu yang tak asing dalam teks-teks tak berkesudahan dari Edmund Husserl. Maka nasihat, atau wejangan tidak saja menjadi objek-bermakna melainkan juga fenomena bagi diri saya. “Mata jangan ikut kaki ketika berjalan” tanpa saya sadari menjadi fenomena, yang saya alami dan hadir begitu saja.

*Kalibedog, 20 Maret 2016.