Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Salah-satu isu
penting di dalam kajian konseling adalah berkenaan dengan
pentingnya konselor berperan pada posisi advokatif. Konselor dalam posisi ini
menegaskan sebuah paradigma baru yang bergerak dari “posisi netral” menuju ke “posisi
berpihak”. Konselor tidak lagi sebuah profesi yang dilakukan dibalik meja atau
menjaga jarak dengan persoalan ril kehidupan sehari-hari.
Kelompok Marjinal
merupakan sebuah istilah untuk menggambar posisi sekelompok orang yang menjadi
sub-ordinat dalam kelas sosial, atau kategori psikologis maupun antropologis. Kelompok
marjinal itu antara lain, buruh, orang dhuafa, orang fakir, waria, anak
jalanan, buruh anak, masyarakat adat, lansia miskin, dan lain sebagainya.
Konselor bagi
kelompok marjinal (selanjutnya disebut konseling marjinal) tidak dapat
dibayangkan berasal dari kelompok profesional BK di lingkungan sekolah formal. Meskipun
tidak menutup kemungkinan konselor untuk sekolah khusus dapat dikategorikan
bagi kelompok marjinal, sebab pada hakikatnya kelompok marjinal individu-individu
lemah yang “dilemahkan” secara sistemik. Kelompok ini misalnya adalah buruh
wanita yang mengalami pelecehan seksual, pemutusan hubungan kerja sepihak, atau
korban kekerasan rumah tangga.
Persoalan kelompok
marjinal ini tidak dapat diatas melalui pendekatan psikologi, termasuk
psikologi positif yang mencoba mengajak individu ke dalam pemaknaan kehidupan. Problematika
kelompok marjinal tidak hanya pada tataran individu tetapi merupakan
kontradiksi dari sistem sosial yang melingkupi dirinya. Kebijakan politik,
budaya, ekonomi dapat mempengaruhi kebahagiaan individu dalam kategori kelompok
marjinal lebih tinggi daripada individu dalam kelompok sosial kelas menengah
atau menengah ke atas.
Kita akan
menganalisis perbandingan problem antara masyarakat kelas bawah dan kelas
menengah atas.
Perbandingan Problem
berdasarkan Kelas Sosial
|
|
Kelas
Menengah/ Atas
|
Kelas
Bawah
|
Persoalan karir di kantor atau di rumah
|
Penggusuran tanah secara semena-mena
|
Berhubungan dengan kesulitan memilih sekolah yang
cocok dengan minat dan bakat anak
|
Kesulitan membiayai sekolah anak
|
Berkonflik dengan teman sesama sosialita
|
Menjadi objek konflik negara
|
Berhubungan dengan pola diet
|
Kesulitan makan karena kurs dollar dan gaji tidak
seimbang. Jika kurs dollar naik 40%, itu sama saja dengan memotong nilai beli
sebanyak 40%.
|
Dituntut atas pelanggaran lalu lintas
|
Dituntut atas “pengambilan” kayu bakar di kebun
sendiri
|
Diasingkan dari pergaulan karena persoalan
adaptasi
|
Diasingkan dari pergaulan sosial karena status
sosial
|
Persoalan pilihan food combine
|
Persoalan what
combine food? Whatever!
|
Konseling Marjinal
yang dimaksud dalam tulisan ini adalah proses fasilitasi atau proses advokasi
kepentingan kelompok marjinal. konselor dengan demikian harus merupakan sosok
yang memiliki analisis kritikal terhadap realitas sosial. Konselor tidak dapat
memberikan penghakiman yang sama antara mereka yang terpaksa berbuat salah
karena sistem yang melemahkan dan mereka yang berbuat salah sekaligus
melemahkan sistem.
Konselor dalam
konseling marjinal berperan sebagai sosok yang mengadvokasi kepentingan
kelompok marjinal melalui sejumlah cara. Misalnya, dengan mengampanyekan
kepentingan kelompok marjinal, mendampingi atau memfasilitasi perkara yang
dialami oleh konseli.
Konselor dan Komunitas
Konseling marjinal
sebagai sebuah upaya baru sebenarnya membutuhkan jenis setting institusi yang baru. konseling marjinal dapat dikembangkan
lebih baik jika dilakukan dalam komunitas. Konselor dengan demikian dapat
mengerahkan seluruh kekuatannya bagi pembelaan hak-hak kelompok marjinal
melalui komunitas. Jika di dalam institusi formal, konselor tidak jarang
mengalami benturan-benturan administratif yang sebenarnya kurang signfikan bagi
proses fasilitasi masalah konseli. Justru, administrasi seringkali melampaui
kemanusiaan yang diupayakan konselor.
Konselor melalui
komunitas dapat mengembangkan sejumlah program pendampingan. Konselor dapat
mengadakan berbagai kegiatan yang pada dasarnya berorientasi untuk mengkampanyekan
anti-kekerasan terhadap perempuan, anti-kekerasan terhadap anak, atau
perjuangan buruh wanita dari diskriminasi dan lain sebagainya. Termasuk juga
konselor dapat menjalankan program pendidikan alternatif bagi anak-anak,
remaja, dewasa, atau lansia. Program-program itu memang menyiratkan konselor
untuk keluar dari kredo “counseling as
face-to-face” dan menuju sebagai salah-satu jalan menjembatani kemanusiaan.
No comments:
Post a Comment