Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Pemeritah yang akhir-akhir ini banyak
menyerukan mulai terdengar kosong. Kalau itu ibarat sirup merah, mungkin hanya
ginju. “Agar kita tidak membosankan, selain banyak bicara, bekerja juga harus
bisa.” Begitu kata si Kasmir kepada Bonijan karena kesal dengan seruan
pemerintah untuk “menjaga lingkungan” di koran. Kasmir, pria tua yang
sehari-hari senang melucu dan bahagia. Pakaiannya hanya tiga pasang; satu untuk
keperluan sholat, satu untuk keperluan ke sawah—yang juga merangkap pakaian
sehari-hari, dan satunya lagi sebuah kaos pemberian kawannya. Tiga-tiganya
sebenarnya tak berbeda. Baju keperluan sholat adalah koko yang diperolehnya
dari hadiah seorang sanak yang kebetulan berkunjung sekitar dua tahun lalu.
Warna sebenarnya putih polos, tetapi belakangan ini sedikit krem.
Kasmir bukan pria tua yang miskin. Dia
sebenarnya punya sedikit tanah, sebenarnya “banyak” kalau tak dirampas untuk
keperluan area latihan militer. Musababnya pun dia tak ingat, waktu itu dia
cuma dibilang “ini tanah sejak zaman dulu udah dipake untuk kamp tentara pak”
oleh seorang anak muda berbadan tegap. Dia tak tahu menahu tentang kemiliteran.
Apa pangkatnya, kontribusinya, serta mengapa mereka penting. Dia sama sekali
tak tahu. Sepanjang yang dia tahu, militer mengambil tanahnya yang indah
mencium ombak karena nyaris tepat di pesisir pantai.
Pasca pengambilan tanah itu, kehidupan
Kasmir biasa saja. Meskipun ada perasaan ganjil dalam hati. Coba kalau Salim
masih hidup, tentu dia bisa jadi teman curhat pikirnya. Salim, teman Kasmir
tiga bulan lalu ke Jakarta bersama rekan-rekan yang lain. Mereka mengadu soal
tanah yang dirampas untuk keperluan tambang. Salim adalah warga desa sebelah
yang konon menyimpan kekayaan tambang di dasar bumi. Mengingat Salim, air mata
Kasmir menetes. Diri periangnya tiba-tiba melankolis. “Oh Salim, coba para
preman itu ngak bunuh dirimu. Kowe kuwi orang biasa wae kok dipateni” desah
Kasmir. Bonijan yang sedari tadi menemai Kasmir minum kopi melihat air mata
menetes dari Kasmir. Rasanya, Bonijan ingin terkekeh, sebab muka Kasmir sama
sekali tak pantas untuk air mata. Wajah kotaknya lebih mirip seorang berhati
keras.
Salim sebulan yang lalu meregang
nyawanya. Si Topik sama Polim, dua preman desa menggebukinya sampai mati.
Kasmir tak tahu kenapa dua preman itu bisa demikian kejam. “Wong karo wong kok
iso main bunuh-bunuhan, koyok rak bakal mati wae” Lagi-lagi batinnya bergejolak
tanya. Bonijan yang tak sabar menunggu Kasmir kelamaan merenung dan bersedih
ikut angkat bicara.
“Pak, sebenarnya ini ada masalah apa?”.
Kasmir menata Bonijan, pikirannya justru makin melayang pada suatu masa depan
yang tak akan indah untuk anak muda seperti Bonijan. Dia berpikir sejenak,
meskipun dia bingung akan bicara pesimis atau optimis.
“Ya, nanti juga kamu bakalan sadar,
saya sendiri belum tahu ini rasanya gimana”. Kasmir, meneguk kopinya sedikit. Meski
panas tak lagi bertuah di air. Kasmir benar-benar seorang tua yang tidak banyak
tahu harus bilang apa jika ditanya. Satu-satunya yang disadarinya adalah bahwa,
setelah si Salim wafat, beberapa tanah tiba-tiba sudah dipalang oleh tentaran. Anak-anak
muda itu, yang berpakai loreng dan bertatap arogan tak mampu dilawannya.
Dia mengingat waktu seorang anak muda
berpakaian loreng hijau itu mencoba menggertaknya, “kalau bapak macam-macam
kita ngak segan-segan. Ini soal pertahanan negara pak. Negara sekarang sedang
gawat.” Kasmir saat itu mengkerutkan dahinya. Entah harus bangga patriotis atau
melemah meringgis. Itu tanahnya, kalau untuk kebutuhan negara, mengapa tidak
minta baik-baik?. Lagipula, Kasmir tak tahu apa itu negara, yang dia mengerti
bahwa ada seseorang yang disebut sebagai presiden, nah dia itu kepala Negara. Selebihnya
dia tak merasakan efeknya.
Waktu dia nyaris mati karena terserang
DBD, dia hanya minta tolong ke Mira seorang anak tetangga untuk memanggilkan
mantri. Dia sulit menentukan mana yang telah menolongnya di masa gawat itu.
Mira, atau Negara. Dia tambah bingung. Bonijan menunggu Kasmir lagi. Dan malam
yang kian gerah itu seperti menjadi saksi kerumitan. Sebuah pandora yang tak
jelas pelakunya.
Bonijan, “Pak, gimana pak?”. Kasmir
bingung lagi.
No comments:
Post a Comment