Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Terlepas dari kontroversialnya data yang digunakan untuk
menjelaskan peristiwa G-30-S, suatu urgensi lain mengemuka. Pasca runtuhnya
rezim orde baru, hal apa yang seharusnya kembali dimaknai oleh rakyat
Indonesia?. Hal itu yang mendorong saya dan kawan-kawan di Rumah Baca Komunitas
untuk membicarakan tentang Gerakan 30 September sebagai dalih pembunuhan
massal. Salah-satu alasan utama mengapa pembicaraan mengenai pembunuhan massal
tidak dapat disepelekan ini berkaitan dengan proses rekonstruksi identitas kebangsaan.
Meskipun begitu, suatu hal yang seringkali menguras tenaga adalah soal apakah
dengan membahas pembunuhan massal 1965 seseorang termasuk dalam kategori
Pro-PKI atau Anti-PKI (John Roosa, 2008).
Sebelum memulai pembicaraan yang reflektif, ada baiknya
diungkapkan beberapa alasan mendasar mengapa penting untuk membahas peristiwa
G-30-S. Alasan pertama, G-30-S bukan satu-satunya sejarah pemberontakan di
Indonesia. Konteks historis mengenai perpolitikan di Indonesia menyatakan bahwa
G-30-S bukan suatu peristiwa politik tunggal. Alasan kedua, ketika membahas
mengenai G-30-S tidak serta merta menunjukkan posisi politis dan ideologis.
Kajian yang melatarbelakang G-30-S digerakkan oleh sebuah pencarian identitas
bangsa. Persis pada momen ini, kajian yang jujur terhadap G-30-S, meskipun
tidak merupakan satu-satunya topik, tetapi menjadi salah-satu tangga penting
untuk merekonstruksi identitas baru. Alasan ketiga, secara umum, model
otoritarian yang laten dimiliki oleh PKI tidak dapat diterima menurut pertimbangan
rasional, tetapi itu tidak serta menjadi dalih untuk membenarkan proses
pembunuhan massal. Alasan keempat, generasi baru Indonesia, yang telah
tercerabut dari sejarah bangsanya sendiri, penting untuk mengetahui tentang
kebenaran tak tunggal dari informasi historis mengenai G-30-S.
Alasan kelima, sebagai sesuatu yang tidak kurang penting
adalah mengetahui motif ekonomi politik di balik peristiwa pembunuhan massal. Dalih
kudeta dan peristiwa misterius di balik kematian Dewan Jenderal apakah dapat
diterima sembari kontroversi terhadap data baik di persidangan Mahmilub tahun
1970an atau dokumen sejarah Indonesia tidak dapat dijelaskan?. Lima alasan ini
tidak berkaitan sama sekali dengan sikap politik atau ideologis untuk Pro-PKI
atau Anti-PKI. Tetapi sebagai cara generasi baru untuk berdialog dengan sejarah
bangsanya sendiri. Tentu saja, perkembangan diskursus, dan transformasi sosial
tertentu telah menciptakan suatu ruang dialektika yang berbeda.
Menyanyi Sunyi
Kembali?
Harapan bagi bangsa yang jujur dengan sejarahnya sendiri adalah
kemampuannya dalam menciptakan kemungkinan terbaik bagi kemanusiaan. Pasca
pembungkaman terhadap narasi sejarah misalnya diikuti oleh kontrol politik
terhadap ruang dialektika, seperti pelarangan penerbitan buku Marxisme yang tetap
bertahan hingga keruntuhan orde baru. Kematian petani yang mempertahankan
tanahnya, perlakuan militer yang melangkahi batas kemanusiaan serta reproduksi
kebencian terhadap kelompok marjinal apakah sebuah bentuk orkestra sunyi yang
hendak dipertunjukkan kembali?. Terdapat lima topik yang berkembang selama kami
berdiskusi di RBK dalam rangka merefleksikan pertanyaan itu.
Pertama, soal historiografi Indonesia. Topik diskusi yang
pertama ini lebih banyak berkaitan dengan konteks bagaimana literatur sejarah
Indonesia versi rezim membentuk kesadaran tertentu mengenai apa yang sebenarnya
disebut sebagai “masyarakat baik” dan “masyarakat buruk”. Separasi antara dua
kategori masyarakat ini banyak berasal dari bagaimana narasi sejarah membentuk
kesadaran seorang warga negara dalam proses peleburan identitas diri dengan
narasi sejarah. Apa yang terjadi hari ini merefleksikan bagaimana masyarakat
memaknai sejarah yang melatarbelakangi proses kehidupan masyarakat lampau.
Kedua, soal menggali kembali nilai-nilai dan identitas
bangsa. Topik ini sebenarnya banyak berkembang dari tesis besar Max Lane bahwa
proses pembentukan identitas bangsa Indonesia belum selesai (Max Lane, 2014).
Proses pembentukan Indonesia sebagai sebuah bangsa tidak dimonopoli oleh satu
pihak. Proses pembentukan Indonesia dilakukan oleh aksi massa yang
dilatarbelakangi oleh sikap antikolonialisme. Partisipasi rakyat di dalam
proses pembentukan bangsa merupakan informasi sejarah yang tidak dapat
diabaikan.
Ketiga, mempertanyakan secara kritis proses pembentukan
identitas bangsa yang berubah sejak tahun 1965. Menurut Roosa, salah-satu hal
penting yang tidak dapat dilupakan dari peristwa 1965 adalah pergeseran
identitas bangsa. Roosa menyatakan sebelum tahun 1965, identitas bangsa
Indonesia banyak dibentuk oleh sikap antikolonialisme. Bersamaan dengan itu,
sikap anti neoliberalisme ekonomi menguat, dan pergerakan mendukung land reform di Indonesia berjalan
massif. Peristiwa 1965, secara taktis dan misterius menjadi jalan untuk
melenyapkan sikap anti neoliberalisme dalam kebijakan ekonomi serta proses
gerakan land reform.
Keempat, mendorong ekonomi politik berkelanjutan sebagai
tanggungjawab historis. Lenyapnya sikap anti neoliberalisme dalam diskursus
ekonomi politik di Indonesia membawa dampak buruk tidak saja bagi perubahan
struktur sosial. Melainkan juga membawa dampak langsung terhadap kerusakan
alam. Industrialisasi yang telah merusak kualitas ekologis beberapa tempat
Indonesia telah menjadi jembatan untuk mengawali eksploitasi kekayaan ekologis
Indonesia di Papua. Hal ini disebabkan oleh sifat eksploitatif industri yang
memandang alam sebagai instrumen pemenuhan kebutuhan manusia ekonomi.
Kelima, mencari model perdamaian partisipatoris. Rekonsiliasi
adalah simbol dari kejujuran dalam menimbang masa depan bangsa. Rekonsiliasi
merupakan salah-satu tangga untuk membuka kesempatan berbagai orang untuk
mendeskripsikan dirinya secara bebas, adil, dan merdeka. Meskipun bukan
satu-satunya persoalan kekerasan yang harus segera ditangani, rekonsiliasi
terhadap korban 1965 akan mengubah cara pandang Indonesia terhadap masa
depannya. Tentu saja ini tidak berurusan dengan soal “mari lupakan masa lalu,
kita menatap masa depan saja”. Melainkan berurusan dengan, kenyataan bahwa
proses kekerasan yang terjadi hari ini direproduksi terus-menerus melalui suatu
kebencian terhadap label “komunis” atau “pemberontak”. Apakah dengan mengatakan
“lupakan kekhilafan rezim masa lalu” dengan serta merta menutup mata bagaimana
rakyat kecil menjadi tersangka atas proses penuntutan haknya sendiri?.
*Tulisan ini merupakan rangkuman
Diskusi Jum’at Sore (DeJure) Rumah Baca Komunitas tanggal 2 Oktober 2015.
No comments:
Post a Comment