Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Seperti berteriak di atas mercusuar atau di sudut pasar. Di
temani beberapa merpati yang melembut di cakrawala, atau di temani beberapa
pendengar setia. Sudamardji menengok di sekelilingnya. Beberapa temannya sudah
merantau ke kota. Sudarmadji tahu, melebihi segala yang diketahui oleh
perangkat desa di tempatnya membesar—dan mungkin sebentar lagi dia akan dipaksa
membusuk. Mereka pergi bukan karena ingin menguji kerasnya kota, melainkan kerasnya
tanah di desa tak sanggup untuk air setetes. Sekeras-kerasnya kota, tanah desa
yang membatu adalah kepedihan.
Sudarmadji tak bisa lagi berharap bak seorang pengkhotbah di
mercusuar. Kawan-kawannya, si Ismail, Yono, dan Faisal berikrar untuk turun
gunung. “Jangan kau cegah tekat bulat kami Dji. Pak Yos sudah ikut rapat bareng
orang-orang kota itu. Sebentar lagi desa kita cuma sejarah, yang penting jangan
lupa untuk cerita ke anak-cucu kita.” Si Faisal menjelaskan.
Matahari sejak pagi dan siang merambat sangat cepat.
Panasnya membakar kulit cokelat Sudarmadji. Di antara tanah kering dia mencoba
peruntungan. Menanam jagung dan Ubi. Ikhtiar yang sama dilakukan oleh
masyarakat di sekitarnya. Bantuan air dari pemerintah daerah tiga bulan lalu
tak memecahkan persoalan. Itu hanya menghambat tanah meretak di desanya. Ketakutan
meracuni pikirannya. Sudarmadji sebenarnya memiliki seorang sahabat bernama
Kartubi. Pemuda itu, seorang lulusan SD yang dikenalnya sejak dulu berkoar-koar
kepada kepada dukuh untuk menghalangi sebuah pabrik di dekat muara sungai desa.
Kartubi, seorang pemuda pendiam, tak banyak bicara. Bahkan
dalam teriakannya pun hanya sayup dan kerongkongan tipis. Kepada para pemuda,
termasuk Sudarmadji, Kartubi berulangkali berkata “kalau ada pabrik dekat
sungai, nanti airnya jadi kotor”. Sudarmadji mengakui kesimpulan Kartubi saat
itu, akan tetapi sembari mengajukan satu pertanyaan. “Ya, tapi mo gimana lagi
Kar. Kamu ngak liat di TV kalo menurut seorang peneliti bahaya limbah pabrik
itu ngak seberapa?”. Sudarmadji ingat betul saat itu Kartubi terdiam. Sorot
matanya tajam menatap sawah di depan jalan. Dia tak mampu berkata. Mungkin saja
dia merasa tak mampu menjawab perkataan si peneliti itu. Batin Sudarmadji. Toh,
nyali Kartubi sudah menciut saat dirinya dituduh memberontak, seorang komunis
hanya karena bicara soal sungai yang akan kotor.
Seolah-olah perangai baik Kartubi tak berkuasa di atas semua
tuduhan itu. Seketika ada kelupaan kepada sang muadzin sekaligus imam sholat
shubuh itu. Sudarmadji mengenang Kartubi sekali lagi. Ingatannya juga mengenang
sahabatnya yang merantau ke kota. Dia merasa tengah berteriak di atas mercusuar.
Hanya ditemani beberapa orang yang sekarang pergi. Dan burung yang tak mungkin
ada. Serta air yang lupa pada warna beningnya. Kami seperti lelahnya teriakan
orang-orang mercusuar.
No comments:
Post a Comment