Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Topik yang selalu menarik dibahas
pagi-pagi. Berbicara soal harapan, setelah membaca tanggapan Cak David Efendi untuk
merespon tulisan Pak Sankaran Krishan, ahli ilmu politik dari UH Manoa,
"Number Fetish: Middle-class India’s Obsession with the GDP"...
Pertama, apakah dengan mendorong
partisipasi entrepreneurship masyarakat, kualitas dan kuantitas pertumbuhan
suatu negara dapat terwujud? Apakah itu membantu kualitas well-being individu
atau komunitas di suatu negara menguat?.
Kedua, pertumbuhan kelas menengah dan
human development index sebagaimana yang dikaji oleh banyak ahli kenyataannya
justru mengkhawatirkan. sebagian besar orang tumbuh dan berkembang di iklim
kompetisi, sedangkan sebagian lain tumbang karena prasyarat bersaing itu
sendiri sudah eliminatif.
Ketiga, mana yang akan dipilih oleh
pemerintah sebuah negara berkembang, memperkuat kapasitas individu dengan
literasi, pendidikan, serta menjaga stok SDA dengan konservasi ekologi, atau
memaksa pembangunan infrastruktur tak penting sebagai bentuk pertanggungjawaban
kinerja, serta membiarkan ekspansi modal? ini namanya trade-off, dilematis.
Dilematis selain karena dua hal itu harus
dipilih, tetapi juga karena dua hal itu ditopang oleh paradigma yang berbeda.
Tetapi kenyataan dan daya-rusak dari berbagai kebijakan yang bertopang primer
ke PDB sangat-lah ril. masyarakat ditagih dan dikejar negara karena terlambat
membayar listirk (gimana dengan korporasi?), penambangan ekspolitatif
(yang ini jangan ditanya lagi), tingkat kekerasan (apalagi yang ini), sulitnya
membedakan antara keuntungan dan pendapatan, daya beli uang yang terpangkas
hingga 40% (artinya uang nilai satu juga hanya punya daya beli 600 ribu).
Soal obsesi kelas menengah menjadi struktur sosial terdepan yang memajukan negara berkembang pada kenyataannya jauh dari harapan. Struktur sosial ini memang menjanjikan perbaikan-perbaikan sebagaimana yang tampak pada obsesi-obsesi serta imajinasinya tentang masa depan. Tetapi kalau diperhatikan lebih dalam, bagaimana separasi antara kota dan desa telah menjadi jurang sosial baru. Kelas menengah muncul dengan model eksploitasi tak langsung. Mereka mengeluarkan karbon dan sampah per-kapita yang mengkhawatirkan. Supermarket tempat kelas menengah memperoleh makanan, tak transparan dalam melaporkan sampah organik yang mereka buang. Tak ada yang menyalahkan itu dalam logika bisnis, tetapi membuang makanan di tengah krisis makanan saat ini tentu saja tak logis.
Bagaimana keluar dari lingkaran ini?
pertanyaan ini sebenarnya telah didekati dengan berbagai cara. Misalnya, dengan
menawarkan dasbor baru berkaitan dengan perhitungan pertumbuhan ekonomi. Cara
yang lain misalnya dengan memulai mengajukan sejumlah indikator dan variabel
baru untuk mengukur kesejahteraan masyarakat yang menembus struktur sosial.
Mengajukan pendekatan stok untuk mencegah ketidakseimbangan antara SDA di masa
sekarang dan di masa depan. Selain itu, diperlukan suatu cara pengukuran pencemaran lingkungan per-Kapita dengan perspektif kritis. Artinya struktur sosial dan korporasi harus diberi tanggungjawab yang berbeda untuk menangani kerusakan-kerusakan ekologi. Cara ini adalah formal, meskipun ada pendekatan sistemik semacam humanisasi industri
sebagaimana yang banyak diajukan pada era 80-an.