Saturday 7 November 2015

Soal Obsesi Kelas Menengah

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Topik yang selalu menarik dibahas pagi-pagi. Berbicara soal harapan, setelah membaca tanggapan Cak David Efendi untuk merespon tulisan Pak Sankaran Krishan, ahli ilmu politik dari UH Manoa, "Number Fetish: Middle-class India’s Obsession with the GDP"...

Pertama, apakah dengan mendorong partisipasi entrepreneurship masyarakat, kualitas dan kuantitas pertumbuhan suatu negara dapat terwujud? Apakah itu membantu kualitas well-being individu atau komunitas di suatu negara menguat?.

Kedua, pertumbuhan kelas menengah dan human development index sebagaimana yang dikaji oleh banyak ahli kenyataannya justru mengkhawatirkan. sebagian besar orang tumbuh dan berkembang di iklim kompetisi, sedangkan sebagian lain tumbang karena prasyarat bersaing itu sendiri sudah eliminatif.

Ketiga, mana yang akan dipilih oleh pemerintah sebuah negara berkembang, memperkuat kapasitas individu dengan literasi, pendidikan, serta menjaga stok SDA dengan konservasi ekologi, atau memaksa pembangunan infrastruktur tak penting sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja, serta membiarkan ekspansi modal? ini namanya trade-off, dilematis.

Dilematis selain karena dua hal itu harus dipilih, tetapi juga karena dua hal itu ditopang oleh paradigma yang berbeda. Tetapi kenyataan dan daya-rusak dari berbagai kebijakan yang bertopang primer ke PDB sangat-lah ril. masyarakat ditagih dan dikejar negara karena terlambat membayar listirk (gimana dengan korporasi?), penambangan ekspolitatif (yang ini jangan ditanya lagi), tingkat kekerasan (apalagi yang ini), sulitnya membedakan antara keuntungan dan pendapatan, daya beli uang yang terpangkas hingga 40% (artinya uang nilai satu juga hanya punya daya beli 600 ribu).

Soal obsesi kelas menengah menjadi struktur sosial terdepan yang memajukan negara berkembang pada kenyataannya jauh dari harapan. Struktur sosial ini memang menjanjikan perbaikan-perbaikan sebagaimana yang tampak pada obsesi-obsesi serta imajinasinya tentang masa depan. Tetapi kalau diperhatikan lebih dalam, bagaimana separasi antara kota dan desa telah menjadi jurang sosial baru. Kelas menengah muncul dengan model eksploitasi tak langsung. Mereka mengeluarkan karbon dan sampah per-kapita yang mengkhawatirkan. Supermarket tempat kelas menengah memperoleh makanan, tak transparan dalam melaporkan sampah organik yang mereka buang. Tak ada yang menyalahkan itu dalam logika bisnis, tetapi membuang makanan di tengah krisis makanan saat ini tentu saja tak logis. 

Bagaimana keluar dari lingkaran ini? pertanyaan ini sebenarnya telah didekati dengan berbagai cara. Misalnya, dengan menawarkan dasbor baru berkaitan dengan perhitungan pertumbuhan ekonomi. Cara yang lain misalnya dengan memulai mengajukan sejumlah indikator dan variabel baru untuk mengukur kesejahteraan masyarakat yang menembus struktur sosial. Mengajukan pendekatan stok untuk mencegah ketidakseimbangan antara SDA di masa sekarang dan di masa depan. Selain itu, diperlukan suatu cara pengukuran pencemaran lingkungan per-Kapita dengan perspektif kritis. Artinya struktur sosial dan korporasi harus diberi tanggungjawab yang berbeda untuk menangani kerusakan-kerusakan ekologi. Cara ini adalah formal, meskipun ada pendekatan sistemik semacam humanisasi industri sebagaimana yang banyak diajukan pada era 80-an.

James C. Scott dan Karya Agraria-nya

Oleh: Ronny Agustinus

Apakah James C. Scott masih menarik bagi ranah pemikiran sosial di Indonesia? Dua bukunya, yakni Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1992) dan Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (1998) tidak diterjemahkan.  sementara dua buku klasiknya, yakni Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1981) dan Senjatanya Orang-Orang yang Kalah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000) tidak diterbitkan ulang. Padahal pemikiran Scott sangat relevan, terutama menyangkut pergolakan kekuasaan di pedesaan, perubahan agraria, dan nasib petani.

Jurnal Wacana terbitan INSIST adalah salah satu yang berupaya menyebarkan pemikiran James Scott. Dalam edisi 10 tahun III 2002, ia memuat terjemahan dari makalah James Scott, (1995) “State simplifications: Some applications to Southeast Asia”, yang disampaikan dalam kuliah umum The Wertheim Lecture 1995 di Centre for Asian Studies Amsterdam.

Buku terbaru James Scott, The Art of Not Being Governed yang diterbitkan tahun 2009 sekali lagi menunjukkan kalibernya sebagai pembentuk kecenderungan dalam studi-studi agraria di Asia Tenggara.

Jika mencermati karya-karya James Scott dari awal hingga yang terbaru, sebenarnya kita bisa menarik benang merah perkembangan pemikirannya.

Dalam Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Scott mengemukakan pertama kali teorinya tentang bagaimana “etika subsistensi” (etika untuk bertahan hidup dalam kondisi minimal) melandasi segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari penguasa mereka.

Itulah yang disebut sebagai “moral ekonomi”, yang membimbing mereka sebagai warga desa dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif dan hubungan sosial resiprokal saat menghadapi tekanan-tekanan struktural dari hubungan kekuasaan baru yang mencengkam. Tekanan struktural dari pasar kapitalistik, pengorganisasian negara kolonial dan paskakolonial, dan proses modernisasi di Asia Tenggara mengacaukan “moral ekonomi” itu dan menyebabkan kaum tani berontak.

Mahakarya kedua Scott, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah, membawa topik di atas selangkah lebih jauh. Scott mendokumentasikan penelitian bertahun-tahunnya tentang perlawanan keseharian kaum tani yang tak tercatat sejarah. Buku Perlawanan Kaum Tani mengusung tema serupa. Namun demikian, buku ini bukan terjemahan langsung dari buku Scott, melainkan terjemahan kumpulan artikel Scott yang disunting oleh Prof. Sajogyo. Nah, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah menjelaskan posisi dan perilaku politik kaum tani.

Sejak jaman kolonial, protes dan perlawanan kaum tani dipandang bukan sebagai gerakan terorganisir, melainkan sekedar pelampiasan kemarahan secara destruktif dan membabi buta akibat eksploitasi yang kelewatan, misalnya pajak yang teramat tinggi. Namun pada kehidupan sehari-hari, kaum tani nampak pasrah, nrimo dan tergantung pada alam. Tidak nampak revolusioner sama sekali.

Penelitian Scott atas petani Asia Tenggara mematahkan mitos ini. Ia membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai ‘kepasrahan kaum tani’ bukanlah benar-benar kepasrahan, melainkan aksi-aksi perlawanan anonim dalam diam yang berlangsung saban harinya, yang bahkan telah menjadi suatu subkultur. Dari Scott lah kita mendapat analisa yang jenius tentang apa yang disebutnya ‘bentuk-bentuk perjuangan kelas gaya Brechtian’ (Brechtian modes of resistance), yakni "senjata-senjata biasa yang dimiliki kelompok-kelompok yang relatif tanpa kekuatan: menghambat, berpura-pura, pura-pura menurut, mencopet, pura-pura tidak tahu, memfitnah, pembakaran, sabotase, dan sebagainya" (Perlawanan Kaum Tani, halaman 271).

Istilah "Brechtian" berasal dari Bertold Brech, seorang seniman cum aktivis gerakan kiri di Jerman. Dalam Kumpulan Cerita tentang Tuan Keuner karya Bertold Brech, ada satu cerita mini yang sangat terkenal yakni ketika Tuan Keuner diperlakukan sewenang-wenang bak jongos di rumahnya sendiri oleh seorang tentara fasis. Tuan Keuner tidak melawan. Ia layani apa saja permintaan si tentara. Karena terbiasa dilayani sebagai majikan selama bertahun-tahun, si tentara akhirnya menjadi pemalas lalu mati. Dan saat itulah Tuan Keuner yang dianiaya berteriak “merdeka!”

Pesan Scott jelas: hanya karena perlawanan kaum tani ini tak kasat mata, tak tercatat dalam sejarah, bukan berarti mereka tidak punya kesadaran kritis dan tidak melawan. Saya kutip dari buku Perlawanan Kaum Tani, halaman 314-315: "Banyak dari bentuk perlawanan yang telah kita pelajari itu mungkin aksi-aksi ‘perorangan’, tetapi itu tidak berarti bahwa aksi itu tidak terkoordinasi.

Di sini, sebuah konsep koordinasi yang berasal dari rakitan formal dan birokratis tidak banyak membantu untuk memahami aksi-aksi yang dilakukan dalam komunitas-komunitas dengan jaringan-jaringan informasi yang padat dan subkultur-subkultur perlawanan yang kaya, dan historis dalam, terhadap tuntutan-tuntutan dari luar [:] subkultur pedesaan membantu membenarkan kepura-puraan, perburuan tanpa izin, pencurian, penghindaran pajak, penghindaran wajib militer dan sebagainya [:] Tidak ada organisasi formal yang dibuat karena tidak ada satu pun yang diperlukan; namun, suatu bentuk koordinasi telah dicapai yang mengisyaratkan kepada kita bahwa apa yang sedang terjadi itu bukan sekedar aksi perorangan."

James C. Scott bukan cuma cendekiawan brilian, namun juga penulis ulung. Seperti buku-bukunya yang lain, The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia ditulis dengan sangat jernih (sampai-sampai memperoleh penghargaan PROSE Award in Goverment and Politics - sebuah penghargaan yang diberikan para penerbit Amerika setiap tahunnya kepada para profesional dan intelektual atas karya mereka yang diterbitkan dalam bentuk buku, jurnal, dan media elektronik)

Scott sendiri sadar akan kelihaiannya ini. Di halaman xi ia tulis, “Saya sering dituding keliru, tapi jarang dibilang tidak jelas atau tidak mudah dipahami. Buku ini juga begitu.”

Keunikan Scott lainnya, sehari-harinya selain meriset dan mengajar ia memelihara domba! Mengapa domba? Dalam sebuah wawancara ia utarakan filosofikasinya untuk kegiatannya ini: “Domba sering dipakai sebagai metafor untuk kebloonan dan kepatuhan. Tapi orang yang pernah melihat domba liar beraksi akan tahu bahwa domba itu sebenarnya individualistik. Kita telah beternak domba selama 8.000 tahun dan memilih yang patuh. Kita yang menjadikan mereka begitu!”

Dengan kata lain, masyarakat yang direkayasa oleh skema-skema pembangunan hanya akan menghasilkan manusia-manusia pasif yang tak sejalan dengan tujuan pembangunan itu sendiri. Masyarakat yang berhasil hanyalah masyarakat yang bebas untuk menentukan cara meraih keberhasilannya sendiri, bukan yang direkayasa dari atas.

Ya, barang siapa masih menganggap domba itu makhluk bloon, coba saja tonton Shaun the Sheep. *

sumber: http://ikhtisarstudiagraria.blogspot.co.id/2010/06/james-c-scott-dan-karya-agraria-nya.html

Tuesday 3 November 2015

Hanya Kemanusiaan dan Apresiasi Yang Bisa Menerjemahkan Kebahagiaan Jenis Ini

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Meninggalkan respon setelah membaca sebuah tulisan bagus adalah adil. Bagi diri sendiri, bagi si penulis sebagai bentuk penghargaan, dan bagi maksud-maksud kemanusiaan yang ditujunya. Meninggalkan respon bisa dengan membuat satu ulasan singkat tentang tulisan itu, mendiskusikan isi tulisan atau dengan berbagai bentuk yang dapat ditempuh sendiri-sendiri.

Saya memilih untuk menuliskannya. Saya akan membahas soal “mantra-mantra” yang ditulis oleh Butet Manurung dalam artikel opininya yang berjudul “Apa yang Salah dengan Volunter?”. Kenapa saya sebut mantra? Alasannya sederhana, karena diperlukan ritual khusus antara praktik, dan refleksi untuk memahaminya. Hanya bisa diresapi lewat dua hal itu. Ya, orang bahagia memang syaratnya bisa praktik dan refleksi (mengambil hikmah).

Mantra pertama adalah “Kita hanya perlu lebih banyak melihat dan mendengar langsung..Datang ke sana, diam, dan amati dengan rendah hati.”

Mantra kedua adalah “[mengutip Pram, butet menulis] Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang bisa timbul pada samudra, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya..sekali kita menentukan tujuan, biarkan ia jadi kekuatan yang menggerakkan.”

Mantra ketiga adalah “bekerja apapun itu, termasuk pekerjaan sukarela, menurut saya selalu dimulai dari menghargai diri sendiri, menghormati hidup kita sendiri..membagikan anugerah yang kita punya...ini terlihat seperi pengabdian..tetapi tidak..kita mengabdi kepada kemanusiaan sejati”.

Butet Manurung adalah seorang perempuan kelahiran Jakarta tahun 1972. Perintis Sokola Rimba. Dari Jambi, Halmahera, hingga Flores.  

Tiga Mantra

Tiga Mantra butet itu bicara soal mencari kebahagiaan “tanpa perantara”. Kata Butet, “sekali lagi, taruh gadget-mu, lihat lekat-lekat dunia di luar sana, lalu dengarkan hatimu. Sebab kita perlu menghargai hidup yang hanya sekali ini. Bayangkan jika suatu hari di usia 75 tahun, tiba-tiba kita merasa hampa dan sadar bahwa kita belum melakukan apa-apa untuk menghargai satu kali hidup kita”.

Sewaktu membaca tulisan Butet, saya merasa ada beragam kompleksitas untuk memahami arti kebahagiaan dari kesederhanaan yang tak kunjung dipahami. Maksudnya, Butet berulang kali ditanya tentang soal “berapa gaji jadi volunter di hutan” atau “kok bisa anda lulusan Australi kerja di hutan, apalagi anda itu perempuan? Tanpa digaji, masa’ sih?”.

Kemungkinan Butet juga kesal dengan berbagai pertanyaan itu. “apa substansi dari yang kamu lakukan? Apa dengan mengajar anak di hutan itu memberi dampak luas? Apakah itu menghabisi kapitalisme, neo-liberalisme, atau kekerasan?” pertanyaan-pertanyaan begitu jika ditanya ke Butet tentu mudah dijawab. Tetapi bukankah terlalu berlebihan berharap semuanya selesai pada satu kerja sukarela satu orang. Zaman sekarang, memperkuat kerja bersama lebih baik daripada mengajukan sejumlah pertanyaan.

Melalui Butet saya terpikir dengan perjalanan hidup sendiri, termasuk ingat pengalaman Nabi Musa yang belajar ke Khidir. Ada banyak pertanyaan yang tak terjawab. Yang harus dilakukan, jika jadi Musa adalah meracik sendiri jawaban kreatifnya sembari betul-betul melakukan refleksi mendalam. Itu penting, karena untuk memahami mantra kebahagiaan, yang dibutuhkan adalah kesiapan diri sendiri. kesiapan untuk menghargai hal-hal kecil. Kesiapan untuk memahami penghargaan terhadap kemanusiaan sejati.

Tentu saja, soal “apa hal-hal kecil itu?” harus dijawab sendiri. Sulit? Ya, itu tak aneh, sebab begitu yang dialami oleh anggota DPR sehingga tak bisa bikin UU bagus untuk rakyat. Termasuk sulitnya memahami “penghargaan hidup” karena baru-baru saja seorang polisi menembak kepala rakyat biasa, atau seorang aparatur desa yang menyuruh preman membunuh warganya sendiri. Belum lagi tentara yang menendang perut seorang wanita paruh baya. Atau, pengusaha yang lepas tanggungjawab setelah melumpuri kota dan membakar hutan. Makanya menjadi luar biasa jika itu bisa dimaknai secara tepat. Itu juga kenapa ini menyangkut soal kemanusiaan sejati. Sekali penghargaan terhadap kehidupan dilakukan,  kewarasan kita terpelihara, indikator sebagai manusia juga terbukti.

Arti Tiga Mantra  

Tiga mantra Butet bermakna begini.

Pertama, kebahagiaan hanya bisa diperoleh lewat “rendah hati”. Artinya kebahagiaan itu adalah saat kita membiarkan diri kita mengalami kehidupan secara bermakna. Tak merasa memiliki banyak jawaban atas persoalan Hutan begitu masuk ke Hutan. Tak merasa punya cara jitu untuk menyelesaikan problem pendidikan masyarakat pedalaman begitu masuk ke pedalaman. Pelajari dari orang-orang sekitar, dan ambil bagian, begitu kira-kira.

Kedua, kekuatan selalu muncul dari keyakinan-keyakinan. Erich Fromm seorang filsuf Jerman pernah bilang kalau harapan melipatgandakan kemungkinan realitas diubah. Karena keyakinan berkaitan dengan kenyataan bahwa banyak hal yang bisa memperkuat kerja-kerja kemanusiaan. Keyakinan, menjadikan diri kita percaya bahwa banyak orang yang sebenarnya sedang membantu kita mencapai sebuah misi. Kalaupun tak ada orang-orang itu, gunung, langit, dan angin akan membantu. Dalam Rumah Baca Komunitas, kami menyebut ini sebagai gerakan mikroba. Tak merasa sendiri dalam berjuang, dan yakin bahwa “semesta mendukung”.  


Ketiga, kebahagiaan muncul dari penghargaan diri sendiri, menghormati kehidupan, dan berjuang untuk kemanusiaan sejati. Kebahagiaan berpadu ke dalam tiga hal itu. Penghargaan diri sendiri maksudnya ialah kesadaran tentang jati diri kemanusiaan. Sadar bahwa kita manusia, dan oleh karena itu harus melakukan tanggungjawab kemanusiaan. Kebahagiaan muncul dari proses itu. Kebahagiaan sejati selalu muncul dari perjuangan kemanusiaan sejati. Karena kebahagiaan materi atau status sosial hanya akan bertahan untuk masa tertentu. Tak abadi, apalagi membekas. Orang-orang yang bahagia secara materi sejak zaman primitif tak bisa meninggalkan apapun di masa sekarang, selain kerusakan. Dibandingkan dengan warisan orang-orang bahagia di masa lampau. Mereka mewariskan pengetahuan, kebijaksanaan, dan alam yang indah. Mereka mewariskan “hantu-hantu” yang membawa keadilan menembus ruang-waktu melawan kezaliman dari feodalisme, imperialisme hingga kapitalisme, demikian Derrida.

Thursday 29 October 2015

Masjid Organik, Bagaimana Tempat Ibadah Menangani Persoalan Ekologi?

David Efendi, M.A, M.A.
Pegiat literasi di RumahBaca Komunitas

“...banyak komunitas agama yang ragu dalam memasang sumber-sumber energi terbarukan di tempat ibadah, atau mengambil sikap kuat terkait perubahan iklim.”

Penggalan kalimat di atas merupakan artikel yang dirilis oleh VoA Indonesia sebulan lalu. Ulasan yang berdimensi multi-negara ini hendak mengirimkan pesan bahwa masih lemahnya kontribusi agamawan dan lembaga agama dalam upaya mencari solusi terhadap persoalan-persoalan lingkungan global. Salah satu yang paling krusial hari ini adalah mengenai perubahan iklim dan pemasnasan global yang ditandai dengan hadirnya bencana ekologis yang beruntun mulai banjir, gempa bumi, kebakaran hutan, dan kegagalan teknologi nuklir. Di dalam artikel tersebut, ada apresiasi positif mengenai semakin responsifnya kelompok agama dalam memberikan reaksi terhadap persoalan ekologis walau masih terkesan lamban. Banyak harapan dari masyarakat, kaum agamawan memperkuat peran emansipatif dan preventifnya dalam mengurangi persoalan-persoalan degradasi lingkungan hidup.

Dalam artikel ini, penulis hendak mendiskusikan gagasan dan praktik ideal bagaimana masjid sebagai institusi agama Islam yang mempunyai infrastruktur dan fasilitas memadai untuk melakukan langkah nyata menghadang bencana ekologis. Gerakan islam yang memberikan kontributif terhadap pencegahan bencana lingkungan merupakan gerakan islam progresif yang perlu ditumbuhkembangkan di Indonesia. Hal ini sangat penting karena ‘pra-kondisi’ lingkungan sudah menunggu respon tepat oleh kaum agamawan dan aktifis gerakan islam. Taruhlah misal, persoalan sampah di kota, pendangkalan sungai, pencemaran air, pemborosan air tanah, kerusakan hutan, hilangnya beragam spisies tumbuhan dan binatang yang berdampak pada ekosistem secara keseluruhan. Keadaan ini merupakan input yang akan memantik untuk menemukan cara-cara cerdas keluar dari lingkaran setan bencana ekologi.

Memposisikan peran organisasi lembaga keagamaan  menjadi suatu keniscayaan hari ini. Sebagai gagasan tertulis misalnya kita dapat melihat subyek organisasi bernama masjid. Masjid merupakan institusi agama islam sebagai tempat ibadah yang juga mempunyai peran sosial-budaya dan dalam banyak aspek juga menjadi sarana pendidikan politik bagi jamaahnya. Peran-peran sosial keagamaan masjid merupakan peran yang sudah dapat dikategorikan sebagai fungsi konvensional masjid. Sementara fungsi ekologis dari masjid merupakan fungsi yang sifatnya kebaruan yang perlu diperkuat dengan reformasi paradigmatik atau filosofis, preventif dan pembangunan praktik-praktik kegiatan yang berdimensi pro-lingkungan atau istilahnya eco-friendly.

Salah satu komunitas muslim di Amerika telah memberikan ilustrasi menarik bagaimana islam menjadi agama hijau (Abdul-Matin, 2008). Dalam level filosofi misalnya dijelaskan bahwa banyak sekali ayat-ayat dalam al-quran yang mengajarkan ummatnya untuk menjaga kelestarian alam dan juga tidak berbuat kerusakan. Banyaknya human error atau human-made disaster yang ada hari ini juga sudah lebih dari seribu tahun lalu diingatkan dalam al-quran. Jumlah “ayat-ayat ekologis’ cukup banyak jika dibaca di sana sehingga islam sendiri sebenarnya adalah agama yang tidak ramah terhadap kejahatan kapitalis dan korporasi perusak lingkungan. Hal ini memperlihatkan bahwa peran preventif ummat islam dalam urusan ekologi telah diperintahkan sebagai kewajiban. 

Kedua, mencegah kerusakan itu jauh lebih baik dari pada mengembalikan atau memperbaiki kerusakan sehingga kesadaran akan kewajiban pencegahan ini mutlak harus menjadi program atau kegiatan lembaga keagamaan islam. Pengetahuan akan memudarnya ‘martabat alam’ harus pula menjadi penggetahuan jamaah islam untuk menjadi common sense sekaligus mengidentifikasi langkah-langka strategis yang perlu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan fiqh atau ibadah tidak boleh dipisahkan dalam realitas hidup jamaah sehingga jamaah merasa dekat dengan alam dan lingkungan serta memberikan kontribusi bagi kelestariannya.

Terakhir, salah satu inspirasi dari praktik ramah lingkungan di sana adalah bagaimana masjid melakukan penghematan dan pemanfaatan air dengan maksimalisasi kegunaan air bekas air wudhu serta penghematan listrik. Eksistensi masjid di Indonesia yang jumlahnya ratusan ribu baik yang berada di kota besar sampai pelosok desa pasti tterdapat komunitas yang mengelola keberadaannya. Adanya persoalan lingkungan seperti banjir sampah, banjir, debu, musnahnya spesies tumbuhan dan ketersediaan tanaman sayuran dan obat yang semakin tergantung pada impor adalah sedikit persoalan yang sebenarnya kelompok islam atau jamaah masjid dapat memberikan kontribusi. Hampir semua masjid mempunyai halaman, mempunyai sumberdaya manusia yang dpaat dikelola secara sinergis untuk menghasilkan beragam produk yang dapat memenuhi kebutuhan jamaahnyya atau pasar lokal.

Masjid dengan pembaharuan peran non-konvensional ini juga jika dilakukan massif maka masjid sebagai institusi agama secara pelan tapi pasti telah memberikan kontribusi bagi pencegahan pemanasan global dan pengurangan resiko perubahan iklim dengan pendekatan 3R: reduce, Reuse, dan rescyle. Selain itu juga dilengkapi dengan produksi tanaman yang menghasilkan sumber kehidupan berkelanjutan ( sustainable).

Dengan demikian, ribuan Masjid kemudian mempunyai fungsi pemberdayaan ekonomi, menghasilkan uang, sekaligus mempunyai peran penyelamatan ekologis. Masyarakat juga akan berintrekasi ke masjid bukan hanya untuk kepentingan ibadah tetapi juga untuk menjawab kebutuhan bibit tanaman tertentu, belajar skill daur ulang, skill pertanian vertikultur atau hidrorganik, produksi energi listrik terbarukan, atau pembuatan pupuk organik, dan kegiatan edukasi lainnya. Fungsi ekologi sekaligus penggerak roda ekonomi ini merupakan terobosan penting zamana ini karena memang kelompok agamawan tidak boleh mengalinisasikan dirinya dari persoalan-persoalan lingkungan karena memang di dalam diri pemeluk agama islam, khususnya, melekat kewajiban ekologis sebagai bagian dari manifestasi ke-iman-annya. Dengan peran-peran ekologis sebagaiamana disebut diatas, tempat ibadah ummat islam ini dapat disematkan gelar padanya sebagai “Masjid organik.”

sumber: 
http://www.rumahbacakomunitas.org/2015/10/masjid-organik.html     

Wednesday 28 October 2015

Syaikh Subakir, Wali Songo Angkatan Pertama Ahli Ekologi

Oleh: KH. Shohibul Faroji Al-Robbani

Ketika Syaikh Subakir sampai di tanah Jawa, beliau bergelar Aji Saka. Beliau lahir di Persia, Iran. Memiliki spesialisasi di bidang Ekologi Islam. Beliau adalah cicit dari sahabat Nabi Muhammad Saw., yaitu Salman al-Farisi. Kemudian beliau menjadi utusan dari Sultan Muhammad I, sebagai salah satu dari anggota Wali Songo periode I.

Nasab lengkap beliau adalah Syaikh Subakir bin Abdullah bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abubakar bin Salman bin Hasyim bin Ahmad bin Badrudin bin Barkatullah bin Syafiq bin Badrudin bin Umar bin Ali bin Salman al-Farisi.

Syaikh Subakir berdakwah di daerah Magelang Jawa Tengah, dan menjadikan Gunung Tidar sebagai Pesantrennya.

Syaikh Subakir memiliki keahlian di bidang Ekologi Islam. Artinya, Syaikh Subakir sangat perduli terhadap lingkungan dan fenomena-fenomena alam semesta. Para ahli sejarah babad Tanah Jawa melakukan kesalahan yang sangat mendasar dan merusak aqidah dan syariat Islam, yaitu menyebut Syaikh Subakir sebagai ahli memasang tumbal untuk mengusir roh-roh jahat. Kesalahan sejarah terhadap Syaikh Subakir ini akhirnya melegenda dan menjadi cerita yang penuh dengan mitos, takhayyul dan khurafat.

Siapakah Syaikh Subakir yang sebenarnya? Syaikh Subakir adalah ahli ekologi Islam. Pemerhati lingkungan dan alam semesta. Sebagai pakar dalam bidang ekologi, beliau banyak sekali membaca fenomena-fenomena alam terutama bidang Mountainologi, yaitu ilmu tentang Gunung Berapi. Kalau dalam sains modern, beliaulah ahli Meteorologi dan Geofisika.

Karena pemahaman awam yang belum sampai kepada sains modern seperti ilmu ekologi, meteorologi dan geofisika ini, maka setiap Syaikh Subakir mengadakan penelitian intensif di beberapa Gunung Berapi, mereka orang awam berasumsi bahwa Syaikh Subakir sedang memasang tumbal atau jimat. Akhirnya opini masyarakat awam ini menyebar dari mulut satu ke mulut yang lain. Dan oleh dukun-dukun atau paranormal, cerita tersebut dibumbui dengan takhayyul dan khurafat.

Melihat kenyataan masyarakat yang awam tersebut, Syaikh Subakir berulang kali menerangkan kepada masyarakat, bahwa dirinya adalah peneliti lingkungan, dan mentadabburi alam semesta, agar kita bertambah takwa dan mensyukuri nikmat ini kepada Allah Swt. Namun sekali lagi kefanatikan masyarakat awam ini terhadap Syaikh Subakir membuat legenda yang dibumbui cerita-cerita yang mengarah kepada perbuatan syirik.

Akhirnya untuk melepaskan kefanatikan masyarakat umum terhadap Syaikh Subakir ini dan untuk menjaga aqidah umat Islam, maka pada tahun 1462 Masehi, Syaikh Subakir pulang ke Persia, Iran agar kefanatikan tersebut runtuh, dan masyarakat awam kembali kepada tauhid yang benar.

Dan selanjutnya posisi Syaikh Subakir digantikan oleh muridnya yang juga ahli di bidang Ekologi, Meteorologi dan Geofisika, serta ahli pertanian dan arsitek masjid yaitu Sunan Kalijaga. Syaikh Subakir meninggal di Persia Iran. Sedangkan yang ada di Indonesia dan diziarahi oleh masyarakat adalah situs-situs peninggalannya.

Ada beberapa karya Syaikh Subakir yang bergelar Aji Saka, yaitu:
  1. Beliau adalah penemu huruf Jawa, yang berbunyi: HA NA CA RA KA, DA TA SA WA LA, PA DHA JA YA NYA, MA GA BA THA NGA.
  2. Beliau pula yang memberi nama Jawa, yang diambil dari bahasa Suryani artinya tanah yang subur.
sumber:
http://pustakamuhibbin.blogspot.co.id/2013/07/syaikh-subakir-anggota-wali-songo.html 

Kesalehan Ekologi

Oleh: Muhbib Abdul Wahab

al-Insan ibn bi’atihi (Manusia itu anak lingkungannya). Pepatah Arab ini mengandung arti kita memiliki hubungan simbiosis-mutualisme dengan lingkungan hidup kita.

Di satu pihak kita dibesarkan dan dipengaruhi oleh lingkungan kita, dan di sisi lain kita juga berperan besar dalam merawat dan menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan demikian, kita harus bersikap harmoni terhadap lingkungan kita, dengan tidak mengeksploitasi dan merusaknya.

Dalam banyak hal, manusia cenderung lebih gampang memanfaatkan dan merusak lingkungan hidup, daripada menanam dan menjaga kelestariannya.

Karena membendung nafsu serakah untuk mengeksploitasi alam itu jauh lebih sulit daripada menumbuhkan kesadaran dan kesalehan ekologis.

Kecerdasan lingkungan (environmental quotion) bangsa kita idealnya terus meningkat, karena hampir setiap saat kita dihadapkan kepada aneka bencana alam.

Kita akan semakin cerdas lingkungan jika selalu mengambil pelajaran dan hikmah dari banjir bandang, banjir rob, tanah longsor, tsunami, kekeringan berkepanjangan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, kesadaran untuk merawat dan tidak menebang pohon sembarangan juga perlu dikampanyekan dan disosialisasikan.

Sebaliknya, gerakan menanam pohon dan menghijaukan lingkungan (reboisasi) harus mendapat respon positif dari semua pihak.

Dalam hal ini, Nabi SAW pernah melarang umatnya melakukan penebangan pohon, lebih-lebih pohon itu berfungsi sebagai tempat berteduh manusia atau hewan.

Rasulullah SAW pernah melarang menebang pohon di tanah gurun yang menjadi tempat berteduh manusia atau hewan, dan menganggapnya sebagai arogansi dan aniaya.” (HR. Abu Dawud).   

Sejalan dengan itu, pemanfaatan lahan produktif untuk bercocok tanam, bertani, dan peningkatan produksi bahan pangan merupakan perintah agama.

Artinya, dalam rangka pemeliharaan lingkungan, kita dilarang untuk menelantarkan lahan produktif agar memberi nilai manfaat bagi umat manusia.

Jabir ibn Abdullah ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu ada beberapa orang memiliki tanah lebih, lalu mereka berkata: “Lebih baik kami sewakan dengan hasilnya sepertiga, seperempat atau separuh. Tiba-tiba Nabi Saw bersabda: Siapa yang memiliki tanah, maka hendaknya ditanami atau diberikan kepada saudaranya, jika tidak diberikan, maka hendaklah ditahan saja.”  (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, menanam pohon, tanaman, atau tumbuhan yang memberi nilai manfaat sangatlah  penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk lain.
Bahkan, jika tanaman itu dimakan burung,  binatang, atau manusia, maka yang dimakan itu dinilai sebagai sedekah; dan sang pemilik tanaman itu mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Hadis berikut juga menunjukkan pentingnya gerakan pemanfaatan lahan tidur (yang tidak ditanami) menjadi lahan produktif.

Dengan memanfaatkan lahan menjadi produktif, kelestarian lingkungan menjadi terjaga dan memberi nilai tambah bagi semua.

Rasulullah SAW bersabda: Tiada seorang Muslim yang menanam tanaman kemudian dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, melainkan tercatat untuknya sebagai sedekah. (HR. al-Bukhari Muslim)

Dengan demikian, penelantaran lahan atau tanah yang produktif sama artinya tidak memedulikan kelestarian lingkungan.

Dalam pelestarian lingkungan, prinsip utama yang harus dipedomani Muslim adalah prinsip kemanfaatan, sesuai dengan hadits Nabi: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain.” (HR al-Thabarani).

Selain itu, prinsip keberkahan, kasih sayang, dan ampunan dari Allah SWT juga merupakan prinsip sosial yang perlu diyakini dan diaplikasikan dalam pemeliharaan lingkungan.

Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda: “Ada golongan hamba yang pahalanya terus mengalir, sementara ia telah berada dalam kubur setelah kematiannya, yaitu: orang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam pohon, membangun masjid, mewariskan mushhaf, dan meninggalkan anak yang selalu memintakan ampun orang tuanya setelah kematiannya.” (HR. al-Baihaqi, Ibn Abi Dawud, al-Bazzar, dan ad-Dailami).

Dalam hadits lain, Nabi SAW pernah berpesan kepada para pasukannya ketika hendak pergi menuju medan perang untuk tidak: pertama, membuang kotoran (sampah) di tempat aliran sungai, kedua, menebang pohon tanpa alasan, dan ketiga buang air kecil atau air besar (BAB) di bawah pohon yang biasa dilewati atau digunakan manusia berteduh.

Jadi, pelesatarian lingkungan itu sangat tergantung pada faktor manusianya. Reboisasi tidak akan berhasil jika hutan atau tanaman selalu digunduli secara ilegal.

Optimalisasi fungsi lingkungan alam, lingkungan hidup menjadi sangat penting karena ekosistem ini dapat menentukan kualitas hidup kita.

Jika lingkungan kita rusak (tidak sehat, tidak bersih, tidak indah, tidak nyaman), maka kualitas hidup  menjadi terganggu dan tidak nyaman.

Dengan demikian, pendidikan lingkungan merupakan bagian dari pendidikan Islam yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, mulai dari diri sendiri hingga para petinggi negeri ini agar berbagai bencana dan musibah dapat dicegah dan dihindari.

Esensi kesalehan ekologis adalah menjaga, melestarikan, mengelola, memperbaiki, dan mendayagunakan lingkungan demi kesejahteraan hidup manusia sekaligus memberikan kenyamanan untuk beribadah dan mewujudkan masa depan yang lebih baik.

Dengan memiliki kesalehan ekologis,  kita hendaknya semakin ramah dan harmoni terhadap lingkungan sekitar kita, karena kita juga yang akan merasakan akibatnya jika kita tidak bersikap saleh terhadapnya.

sumber: 
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/03/07/n211zv-kesalehan-ekologi

Tuesday 27 October 2015

Mengapa Konseling Untuk Kelompok Marjinal Penting?

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Salah-satu isu penting di dalam kajian konseling adalah berkenaan dengan pentingnya konselor berperan pada posisi advokatif. Konselor dalam posisi ini menegaskan sebuah paradigma baru yang bergerak dari “posisi netral” menuju ke “posisi berpihak”. Konselor tidak lagi sebuah profesi yang dilakukan dibalik meja atau menjaga jarak dengan persoalan ril kehidupan sehari-hari.

Kelompok Marjinal merupakan sebuah istilah untuk menggambar posisi sekelompok orang yang menjadi sub-ordinat dalam kelas sosial, atau kategori psikologis maupun antropologis. Kelompok marjinal itu antara lain, buruh, orang dhuafa, orang fakir, waria, anak jalanan, buruh anak, masyarakat adat, lansia miskin, dan lain sebagainya.

Konselor bagi kelompok marjinal (selanjutnya disebut konseling marjinal) tidak dapat dibayangkan berasal dari kelompok profesional BK di lingkungan sekolah formal. Meskipun tidak menutup kemungkinan konselor untuk sekolah khusus dapat dikategorikan bagi kelompok marjinal, sebab pada hakikatnya kelompok marjinal individu-individu lemah yang “dilemahkan” secara sistemik. Kelompok ini misalnya adalah buruh wanita yang mengalami pelecehan seksual, pemutusan hubungan kerja sepihak, atau korban kekerasan rumah tangga.

Persoalan kelompok marjinal ini tidak dapat diatas melalui pendekatan psikologi, termasuk psikologi positif yang mencoba mengajak individu ke dalam pemaknaan kehidupan. Problematika kelompok marjinal tidak hanya pada tataran individu tetapi merupakan kontradiksi dari sistem sosial yang melingkupi dirinya. Kebijakan politik, budaya, ekonomi dapat mempengaruhi kebahagiaan individu dalam kategori kelompok marjinal lebih tinggi daripada individu dalam kelompok sosial kelas menengah atau menengah ke atas.

Kita akan menganalisis perbandingan problem antara masyarakat kelas bawah dan kelas menengah atas.

Perbandingan Problem berdasarkan Kelas Sosial
Kelas Menengah/ Atas
Kelas Bawah
Persoalan karir di kantor atau di rumah
Penggusuran tanah secara semena-mena
Berhubungan dengan kesulitan memilih sekolah yang cocok dengan minat dan bakat anak
Kesulitan membiayai sekolah anak
Berkonflik dengan teman sesama sosialita
Menjadi objek konflik negara
Berhubungan dengan pola diet
Kesulitan makan karena kurs dollar dan gaji tidak seimbang. Jika kurs dollar naik 40%, itu sama saja dengan memotong nilai beli sebanyak 40%.
Dituntut atas pelanggaran lalu lintas
Dituntut atas “pengambilan” kayu bakar di kebun sendiri
Diasingkan dari pergaulan karena persoalan adaptasi
Diasingkan dari pergaulan sosial karena status sosial
Persoalan pilihan food combine
Persoalan what combine food? Whatever!

Konseling Marjinal yang dimaksud dalam tulisan ini adalah proses fasilitasi atau proses advokasi kepentingan kelompok marjinal. konselor dengan demikian harus merupakan sosok yang memiliki analisis kritikal terhadap realitas sosial. Konselor tidak dapat memberikan penghakiman yang sama antara mereka yang terpaksa berbuat salah karena sistem yang melemahkan dan mereka yang berbuat salah sekaligus melemahkan sistem.

Konselor dalam konseling marjinal berperan sebagai sosok yang mengadvokasi kepentingan kelompok marjinal melalui sejumlah cara. Misalnya, dengan mengampanyekan kepentingan kelompok marjinal, mendampingi atau memfasilitasi perkara yang dialami oleh konseli.

Konselor dan Komunitas

Konseling marjinal sebagai sebuah upaya baru sebenarnya membutuhkan jenis setting institusi yang baru. konseling marjinal dapat dikembangkan lebih baik jika dilakukan dalam komunitas. Konselor dengan demikian dapat mengerahkan seluruh kekuatannya bagi pembelaan hak-hak kelompok marjinal melalui komunitas. Jika di dalam institusi formal, konselor tidak jarang mengalami benturan-benturan administratif yang sebenarnya kurang signfikan bagi proses fasilitasi masalah konseli. Justru, administrasi seringkali melampaui kemanusiaan yang diupayakan konselor.

Konselor melalui komunitas dapat mengembangkan sejumlah program pendampingan. Konselor dapat mengadakan berbagai kegiatan yang pada dasarnya berorientasi untuk mengkampanyekan anti-kekerasan terhadap perempuan, anti-kekerasan terhadap anak, atau perjuangan buruh wanita dari diskriminasi dan lain sebagainya. Termasuk juga konselor dapat menjalankan program pendidikan alternatif bagi anak-anak, remaja, dewasa, atau lansia. Program-program itu memang menyiratkan konselor untuk keluar dari kredo “counseling as face-to-face” dan menuju sebagai salah-satu jalan menjembatani kemanusiaan.


Modul Bimbingan dan Konseling Islam Layanan Ekologi

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Modul BKI Layanan Ekologis untuk Mengatasi Self-Esteem Siswa (selanjutnya disebut Modul BK Ekologis) adalah suatu bentuk panduan yang berkenaan dengan proses fasilitasi konselor terhadap siswa. Layanan ekologis merupakan salah-satu bentuk bantuan yang dilakukan oleh konselor terhadap konseli dengan memanfaatkan perspektif ekologi. Di dalam perspektif ekologi, perkembangan manusia merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam (lingkungan). Dalam banyak studi, peran lingkungan terhadap kesehatan, kebahagiaan (well-being), kesejahteraan, serta kapasitas kolektif merupakan faktor penting.

Perspektif ekologi merupakan alternatif pemahaman yang menjelaskan bahwa meskipun struktur sosial dan psikososial mempengaruhi berbagai macam gangguan individu, faktor ekologi juga merupakan suatu faktor yang penting. Termasuk di dalamnya bagaimana kondisi lingkungan berpengaruh terhadap tingkat kebahagiaan atau strategi coping individu. Perspektif ekologi melihat bahwa dinamika individu dibentuk dari serangkaian interaksinya dengan alam.

Perspektif ekologi dilakukan oleh konselor dengan beberapa asumsi dasar. Pertama, pemahaman konselor terhadap konseli harus berasal dari konteks kehidupan sehari-hari konseli. Kedua, dalam upaya memahami konseli, konselor harus melihatnya sebagai akumulasi dari interaksi antara konseli sebagai manusia dan alam (lingkungan) sebagai bagian penting yang mempengaruhi proses pertumbuhan, perkembangan, dan perubahan konseli. Ketiga, konselor harus memahami konseli sebagai subjek yang dibentuk oleh konteks ekologi tertentu. Secara sederhana, konseling ekologi adalah mengindentifikasi bagaimana lingkungan hidup konseli mempengaruhi hidupnya.  Konseling ekologi mensyaratkan sebuah pemahaman yang utuh dan lengkap terkait dengan kondisi lingkungan konseli. 

Penggunaan perspektif ekologi dalam konseling pada umumnya dapat digunakan untuk memfasilitasi konseli dalam topik self-esteem. Akan tetapi, salah-satu hal penting konseling ekologis terletak pada fungsi pengembangannya. Konseling ekologis dapat dilakukan untuk kelompok sosial yang beraneka ragam karena memiliki dampak yang luas. Sebab, konseling ekologis tidak hanya digunakan untuk individu, melainkan juga untuk keberlanjutan lingkungan hidup sehari-hari konseli.

Penerapan perspektif ekologi di dalam konseling dengan demikian dilakukan melalui dua hal, yakni (1) penggunaannya di dalam pendekatan konseling, serta (2) penggunaannya di dalam program-program berbasis praktik ekologi. Dalam modul ini, cara terakhirlah yang digunakan, yakni dengan mengembangkan suatu program layanan BK yang menggunakan praktik ekologi. Program layanan BK berbasis praktik ekologi tersebut dapat diistilahkan dengan layanan ekologi.

Layanan ekologi merupakan bagian dari pengembangan program terapi berbasiskan pembelajaran lingkungan yang telah berkembang dengan berbagai variasi, misalnya dengan mengajarkan siswa berinteraksi dengan hewan sebagai bagian dari proses terapi yang lazim dikenal dengan Animal-Assisted Therapy. Dalam konteks konseling, program berbasis lingkungan (ecology-based program) juga merupakan salah-satu varian, yang menggunakan lingkungan sebagai bagian dari proses pengembangan individu. Program berbasis lingkungan memanfaatkan perspektif ekologi untuk membantu siswa mencapai kematangan individu, sosial, dan spiritual dengan cara yang berbeda.



*contoh Modul Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) Layanan Ekologi untuk Pengembangan Self-Esteem siswa, silahkan kirim permintaan ke email fauzansandiah@gmail.com 

Monday 26 October 2015

Yuk Hidup Ekologis

Apa arti hidup ekologis? Mengapa hidup ekologis perlu dilakukan? bagaimana menciptakan kehidupan yang ekologis?. Tiga pertanyaan mendasar itu akan dijawab secara sederhana dan mudah.

Ekologi merupakan istilah singkatan yang terdiri atas dua kata, eco yang berarti “rumah tangga” dan logos yang berarti “makhluk hidup” meskipun dalam beberapa kata sering diterjemahkan sebagai “ilmu”.

Hidup ekologis berarti rangkaian pemahaman, perasaan, dan perilaku manusia dalam praktik kehidupan sehari-hari yang menyatu dengan alam lingkungan. Hidup ekologis dibutuhkan sebab kelangsungan kehidupan di muka bumi terancam oleh rusaknya ekosistem. Kerusakan ekologi tersebut disebabkan oleh perbuatan manusia yang mengeksploitasi alam. Limbah industri, deforestisasi, penambangan yang eksploitatif, serta sejumlah alasan lain telah menjadi penyebab kerusakan lingkungan.

Dampak dari kerusakan lingkungan itu dapat dialami melalui kejadian sehari-hari. Intensitas paparan radiasi yang meningkat karena penipisan ozon, perubahan cuaca yang tidak terprediksi, suhu bumi yang meningkat, punahnya flora dan fauna, persediaan air bersih yang berkurang, dan masih banyak lagi.

Cara hidup ekologis akan membantu meminimalisir kerusakan ekologis. 
  1. Menanam tumbuhan, 
  2. Menjaga agar tanah tidak terkontaminasi dengan kimia non-organik (jangan buang sampah plastik sembarangan!), 
  3. Menyediakan areal resapan air, 
  4. Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, 
  5. Mengadvokasi supaya pabrik bertanggungjawab atas limbah yang dihasilkannya, 
  6. Memisahkan sampah plastik dan sampah organik. 
  7. Menyiram air beras ke tanah, 
  8. Menampung sisa air wudhu untuk keperluan pembasahan tanah, 
  9. ...................... dan masih banyak lagi.
Kampanye hidup ekologis sangat urgen untuk dilakukan oleh siapa saja. Tidak perduli latarbelakang dan usia seseorang. Anak-anak, remaja, orang dewasa, atau lansia wajib menjalankan kehidupan ekologis. PNS, agamawan, militer, polisi, politisi, entrepreneur, pelajar wajib menjalankan kehidupan ekologis.

@Fauzan Anwar Sandiah

Thursday 22 October 2015

Download Buku Islam Hijau (Green Deen)

This Deen Called Islam

Most people are aware of a global religion called Islam. Islam is a Deen — Arabic for a religion, a path, a way of life. Islam means submission to the will of the One God, Allah. Allah is the Arabic word for God, just as the Spanish word for God is Dios. Allah is the God of Judaism, Christianity, and Islam. By focusing on One Creator, Islam allows humankind the opportunity to be one and to have a common purpose. Muslims believe that Islam is the final expression of the same message that came earlier to the Jews, the Christians, and other monotheistic believers. For Muslims, the revelations prior to the Qur’an are essentially part of a larger canon of understanding. This is why, in Arabic, Christians and Jews are referred to as Ah-lal-Kitab, “people of the book.” Islam recognizes the existence and the legitimacy of other spiritual paths and teaches mutual understanding, respect, and focus on similarities as a means to bring people together, not push them apart. (Ibrahim Abdul Matin)

Download Buku Teologi Lingkungan Hidup

Kata Pengantar Buku Teologi Lingkungan Hidup
Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2011-2015

Tanpa kita sadari, ternyata bumi yang kita diami saat ini sedang sakit. Sakitnya bumi ini merupakan akibat langsung dan tidak langsung perbuatan manusia. Manusia modern dewasa ini sebenarnya sedang melakukan perusakan secara perlahan akan tetapi pasti terhadap sistem lingkungan yang menopang kehidupannya. Indikator terjadinya kerusakan lingkungan sudah sangat jelas, seperti menipisnya lapisan ozon, pemanasan global, dan perubahan iklim, banjir tahunan yang semakin besar dan meluas, erosi dan pendangkalan sungai dan danau, tanah longsor, krisis (kelangkaan) air yang berakibat terjadinya kelaparan dan mewabahnya berbagai penyakit.

Berbagai kasus kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup global maupun nasional tersebut, jika dicermati sebenarnya berakar dari pandangan dan perilaku manusia terhadap alam lingkungannya. Perilaku manusia yang kurang kesadaran dan tanggungjawabnya terhadap lingkungannya telah mengakibatkan terjadinya berbagai macam kerusakan di muka bumi. Disamping itu, orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik juga sangat berpengaruh.

Kerusakan atau krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini hanya bisa diatasi dengan merubah secara fundamental dan radikal cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam lingkungannya. Tindakan praktis dan teknis penyelamatan lingkungan dengan bantuan sains dan teknologi ternyata bukan merupakan solusi yang tepat. Yang dibutuhkan adalah perubahan perilaku dan gaya hidup yang bukan hanya orang perorang, akan tetapi harus menjadi budaya masyarakat secara luas. Sadar lingkungan dan upaya penyelamatan lingkungan harus menjadi kesadaran bersama dan menjadi gerakan bersama secara nasional dan global. Karena tanpa kesadaran dan gerakan bersama, bumi kita yang kita tempati yang hanya satu ini benar-benar akan terancam, dan hal ini berarti juga ancaman bagi semua kehidupan di muka bumi ini termasuk manusia.

Atas dasar semangat untuk mengkampanyekan semangat merubah perilaku manusia dalam berhubungan alam dan lingkungannya inilah Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerjasama dengan Deputi VI Kementerian Lingkungan Hidup R.I menerbitkan ulang buku Teologi Lingkungan yang telah diterbitkan bersama pada tahun 2007. Buku ini ingin menjelaskan bagaimana sesungguhnya konsep hubungan manusia dengan alam, di mana perlindungan dan pemeliharaan alam merupakan kewajiban asasi manusia yang telah dipilh oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Terhadap alam manusia dituntut untuk mengembangkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap saling keterkaitan setiap komponen dan aspek kehidupan di alam, pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan persaudaraan semua makhluk. Konsep hubungan manusia dengan alam tersebut sebenarnya juga merupakan salah satu pilar dari sistem pusatnilai untuk mewujudkan nilai ajaran agama Islam. Tujuan tertinggi dari sistem pusat nilai ini adalah kemaslahatan dan kesejahteraan universal (seluruh makhluk).

Akhirnya, atas nama Pimpinan Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah mengucapkan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada Bapak Menteri Lingkungan Hidup R.I. beserta seluruh jajarannya atas kepercayaan dan kerjasamanya dengan Muhammadiyah dalam mengembangkan gerakan penyelamatan dan pengelolaan lingkungan. Tidak lupa kami menyatakan bahwa buku ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran demi perbaikan buku ini sangat diharapkan. Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua, dan meneguhkan hati kita bersama untuk tetap berjuang mengelola alam dan lingkungannya dengan baik dan benar sebagaimana telah diperintahkan oleh-Nya. Amien.

Yogyakarta, Agustus 2011


Muhjidin Mawardi dan Gatot Supangkat

Download Buku Teologi Lingkungan Hidup

Mencari Kebahagiaan Hidup dengan 10 Kecerdasan Ekologis dalam Al-Qur'an

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Kecerdasan Islam ekologis (ecology Islam Quotient) pada dasarnya adalah sebuah panduan yang mengajak manusia untuk sadar bahwa syarat awal untuk menjadi “orang-orang yang beriman” (mu’min) adalah pengakuan bahwa Allah Swt merupakan Tuhan ekosistem lingkungan yang harmonis. Allah Swt merupakan pencipta langit dan bumi, serta pengatur ekosistem yang menyerahkan amanah pengelolaan bumi kepada manusia.

Syarat pertama manusia dilepas ke muka bumi adalah perintah untuk mempelajari nama benda-benda. Nabi Adam dituntun oleh Allah untuk mengucapkan benda-benda. Perintah qalam untuk Nabi Adam, juga dilakukan kepada Nabi Muhammad dengan Iqra. Perintah Qalam sebab manusia harus memulai kesadaran baru, sedangkan perintah Iqra agar manusia mulai berbenah diri atas kebahagian yang hendak dicapainya.

  1. Surat al-Mu’min ayat 64: “Allah-lah yang menjadikan bumi untukmu sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentukmu lalu memperindah rupamu serta memberimu rezeki dari yang baik-baik. Demikianlah Allah, Tuhanmu, Mahasuci Allah Tuhan seluruh alam.”
  2. Surat al-An'am ayat 99 : "Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dari dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serua dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh pada demikian itu ada tanda-tanda (Kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”
  3. Surat al-An'am ayat 165: "Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.
  4. Surat al-An’am ayat 38: “Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami lupakan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.”
  5. Surat al-Qasas ayat 77: "...berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di Bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan."
  6. Surat al-Baqarah ayat 60: "...makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berbuat kerusakan.
  7. Surat ar-Rum ayat 41: "telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.."
  8. Surat al-Azhab ayat 72: "sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh."
  9. Surat an-Nahl ayat 65: "Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi yang demikian tu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)"
  10. Surat Qaf ayat 9: "Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen."