Wednesday 23 March 2016

Anarkisme, Gerakan yang Penuh Inspirasi

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

http://jura.org.au
Kerapkali, tak hanya sekali, makna istilah anarkisme menjadi demikian dangkal. Tidak hanya pengertiannya saja, melainkan juga imajinasi istilah ini. Bayangkan, kekeliruan itu tidak hanya digunakan oleh segelintir kelompok sebagaimana mereka menggunakan istilah “Islam Radikal” untuk menunjukkan “kelompok yang menggunakan kekerasan sebagai jalan dakwah”. Persoalannya bukan pada istilah Islam, melainkan pada adjektiva “radikal” yang sebenarnya justru bermakna “mendalam”. Begitu pun dengan istilah anarkisme. Entah media massa cetak atau media sosial, atau ceramah seorang profesor di podium akademik, anarkisme digunakan untuk merujuk tindakan destruktif, tak beradab, bengis, atau kejam.

Darimana istilah anarkisme berubah menjadi demikian serampangan?. Beruntung jika publik Indonesia belakangan ini diramaikan dengan penerbitan buku-buku yang membahas soal anarkisme, dua di antaranya ialah yang diterbitkan Marjin Kiri, yakni Sean M. Sheehan Anarkisme; Sebuah Perjalanan Gerakan Perlawanan (2014); John Moore (Ed.) dan Spencer Sunshine Aku Bukan Manusia. Aku Dinamit; Filsafat Nietzsche dan Politik Anarkisme (2014).

Buku pertama, yang ditulis oleh Sheehan, membahas soal kebangkitan anarkisme sebagai sebuah gerakan baru yang disebut dengan “Neo-Anarkisme. Sheehan memberi contoh sejumlah demo anti-kapitalis yang jauh dari kesan “anarkis” seperti bakar ban, bentrokan jalanan, atau perusakan fasilitas umum. Jauh dari kesan dan taktik semacam itu, demo anarkisme justru muncul lebih kreatif. Misalnya “aksi duduk diam” yang begitu terkenal dengan gerakan anarkis kini menjadi suatu yang umum digunakan oleh banyak gerakan sosial lainnya. Tampaknya kreasi model demo yang “tanpa-kekerasan” banyak diinspirasi dari gerakan anarkisme, telah menjadi pilihan rasional kelompok non-anarkis. Model lainnya ialah “teater jalanan”, “barikade rantai manusia”, “pengibaran spanduk”, dan tentu saja sejumlah aksi demo yang fotogenik kerapkali menjadi sangat bermakna.

Sheehan juga memberi contoh lain soal penggunaan instrumen demo yang kreatif dan aneh. Siapa yang tidak janggal menemukan barisan polisi menghadapi ribuan boneka kain yang ditembakkan oleh sebuah tiruan ketapel abad pertengahan di atas udara? Kalau masih belum aneh, lihatlah aksi kelompok radikal cheerleaders. Yang lebih lucu adalah kenyataan bahwa demonstrasi damai ini dihadapi oleh polisi anti huru-hara dengan serbuan tembakan peluru karet dan gas air mata hingga granat getar. Sheehan menggambarkan “gelap matanya” aparat keamanan menghadapi kreatifitas demonstrasi ini dengan melakukan penahanan ilegal terhadap 631 demonstran. Untuk hal ini, kita semua pasti ingat kasus baru-baru ini di mana Adlun Fikri dipenjara karena merekam tindakan pemalakan seorang oknum polisi. Adlun, tak bersenjata, juga sama sekali tak berbahaya. Saya pernah bertemu dengannya saat diskusi di Rumah Baca Komunitas, dan perlu diketahui, orang ini sama sekali tak tampak tega menyakiti siapapun.

Tindakan-tindakan “perlawanan” yang tak tampak “melawan” ini merupakan kejadian sehari-hari yang ditemukan. Di Indonesia, sekelompok ibu-ibu menghadang aparat keamanan yang hendak membuka barikade pemblokiran masyarakat terhadap alat-alat berat yang merusak alam. Dan seperti yang sudah-sudah, seorang ibu yang tengah hamil ditendang perutnya. Dalam banyak hal, tindakan anarkisme yang penuh dengan sikap tak “melawan” dihadapi begitu keras, ilegal, dan keji, yang menandakan si pengguna tak menggunakan akal sama sekali. Beberapa orang anarkis seperti Theodore Kaczynski sang penulis Unabomber Manifesto ini bahkan menjalani hidup tanpa listrik, dan menanam sendiri sayuran yang dimakannya.

Istilah anarkisme berasal dari bahasa yunani yang berarti “tanpa pemimpin”, “tanpa pemerintah” atau “tanpa negara”. Pengertian ini jangan sampai membuat kita jatuh kepada pemahaman bahwa anarkisme dengan segala variasinya menolak negara. Sebagaimana dijelaskan Sheehan, anarkisme menolak negara sebagai “realitas transendental” sekaligus sebagai “perangkat empiris” yang  membuat negara berarti “suatu tatanan berkuasa yang menuntut dan menghendaki kepatuhan warganya..” (hlm. 24). Tentu saja, dalam pandangan republikan, hal ini termasuk tak dapat diterima, tetapi anarkisme punya penjelasan kasuistik yang menarik untuk direfleksikan. Apalagi mengingat anarkisme sebenarnya merupakan perwujudan perlawanan sehari-hari, spontan, yang tak terhitung bentuk serta konteksnya. Misalnya, dalam negara yang berdasar hukum dan menganut demokrasi sekalipun, sejumlah referendum yang menyangkut nyawa banyak orang ditentukan oleh segelintir kelompok. Siapa menentukan masyarakat Indonesia secara keseluruhan dari ujung timur ke ujung barat harus bersiap-siap menghadapi ekspansi pemodal asing, sementara kebutuhan pokoknya pun tak dapat dijamin aman oleh negara?. Untuk soal ini memang dapat diperdebatkan (tapi siapa yang peduli? Bukankah eksistensi negara diukur lewat kapasitasnya menjamin hidup komunitas?).

http.amazon.com
Buku kedua, ditulis oleh John Moore dan Spencer Sunshine Aku Bukan Manusia. Aku Dinamit; Filsafat Nietzsche dan Politik Anarkisme, merupakan sebuah percobaan reflektif tentang kaitan antara pemikiran Nietzsche dan anarkisme. Sebenarnya percobaan begini bukan sesuatu yang asing. Sebagaimana diketahui, belakangan ini pemikiran Nietzsche kerap disinggung untuk membahas persoalan nasionalisme, agama, militerisme, atau hukum. Jika Heath dan Potter menganggap bahwa “gerakan politik radikal selalu memikat orang gilanya sendiri-sendiri” maka karya Moore dan Spencer ini tak pelak menunjukkan justru Nietzsche sebagai pemikir “gila”, dengan pikiran-pikirannya itu begitu memikat gerakan radikal semacam anarkisme.

Radikal dan anarkisme memang berdekatan sebab kedua-duanya mengambil segala yang berada di akar untuk menjadi landasan hidup. Bukan sesuatu yang begitu superfisial sekaligus menjadi penyebab keruntuhan peradaban manusia. Moore yang terkenal mengusung Primitivisme sebagai teori sosial dalam salah-satu wawancara menyatakan bahwa anarkisme membawa kritik totalitas peradaban dengan berusaha memulai transformasi yang menyeluruh meliputi segala aspek kehidupan manusia. Radikalnya anarkisme terletak persis pada sifat kritik totalitas peradaban tersebut dan sifat komprehensifnya. Hal ini sama nyaris dengan bagaimana penganut kepercayaan seperti Islam melihat bahwa dasar dari masalah kontemporer adalah totalitas peradaban yang tercerabut dari nilai-nilai ilahiah. Tentu saja ini bukan asumsi, karena sebuah kuis internet pernah menantang perbedaan-perbedaan gagasan substantif antara Kaczynski tentang kerusakan alam akibat industri dan gagasan Al-Gore dalam buku Earth in the Balance. Hasilnya apa? Tak syak lagi banyak orang yang kesulitan membedakan nukilan Kaczynski dalam Unabomber Manifesto dan nukilan Al-Gore dalam Earth in the Balance.

Buku Aku Bukan Dinamit, secara praktis sebenarnya hendak mencicil primitivisme sebagai teori sosial, dan menjelaskan kepada khalayak tentang inspirasi-inspirasi Nietzsche bagi anarkisme. Penting juga untuk dicatat bahwa Moore dan Spencer mengedit sejumlah tulisan yang secara garis besar tak menunjukkan usaha-usaha untuk menunjukkan bahwa anarkisme melakukan penyeruan untuk “kembali ke masa lalu”. Justru muncul kesan bahwa anarkisme merupakan gerakan yang membuka preseden baru bagi peradaban melalui penghapusan kekuasaan. Letak penting buku ini bagi penikmat gagasan anarkisme adalah melihat masa depan sebagai dunia yang mungkin. 
_________________
sumber: http://www.ipm.or.id/2016/03/anarkisme-gerakan-yang-penuh-inspirasi.html

Sunday 20 March 2016

Catatan Ultah Ayah

Mengingat hari kelahiran orangtua sendiri sama halnya dengan menduga bagaimana perjalanan hidup manusia ternyata tak dibatasi oleh kemewaktuan (zeit) di dunia. Baru kemarin saya mengikuti diskusi terbatas yang bicara soal daur hidup (cycle life). Manusia sebagaimana diduga, menjalani hidup sebagai temuan, maka takdirnya seringkali disebut tanda. Sedangkan penemuan dirinya seringkali diikuti oleh proses memaknai.

Maka tak heran jika kehidupan manusia digambarkan sebagai proses produksi, yang mengadakan (tenir), meskipun dalam literatur dia juga dipadankan dengan kata khalaq atau creatura. Dengan demikian ada dua disposisi yang dimiliki oleh manusia.

Disposisi manusia sebagai tenir menghasilkan daya-hidup. Pernah suatu kali ayah berkata “hiduplah dengan cara menjaga keseimbangan antara kaki dan mata, jang sampe kaki bajalang kong mata iko bajalang.” Bagi saya itu adalah bagian dari proses membagi daya-tahan hidup.

Disposisi kedua adalah manusia sebagai sosok creatura atau khalaq. Disposisi ini pada umumnya diterima dengan premis utama bahwa syarat keberadaan manusia bertopang pada adanya creature. Sekali lagi, ini syarat disposisi bisa mengemuka.

Saya tak ingat bagaimana persisnya, tapi kira-kira ayah pernah bilang begini, “di mana saja, manusia itu musti ikhtiar. Tak gampang digoyah. Tak mudah dibolak-balik antara pikiran dan nafs.” Waktu itu saya baru saja masuk sekolah menengah, dan bisa ditebak, nasihat demikian membuat saya menjadi bertanya soal batas antara akal dan jiwa.

Saya menerima bahwa manusia, jiwa, bahkan mungkin saja waktu adalah corporal. Jadi untuk sementara, batas antara akal dan jiwa selesai dengan meyakinkan tanpa harus dipastikan.
Ada sisi lain dari ayah maupun ibu saya. Sebagaimana setiap manusia, perjalanan hidup tak selalu dibilang mudah; dan seringkali cara mereka bertahan menjadi semacam Geschichte. Tak mudah juga mengingatnya apalagi disajikan. Tapi selalu ada momen untuk mengingatnya, misalnya tepat saat hari lahir ayah atau ibu. Saya jadi memaklumi John Farndon, seorang penulis pop berkata “bagaimana mungkin gagasan yang mendalam dan kompleks direduksi menjadi semacam kontes?.” Waktu itu, mungkin saja ikut gentar soal penyajian ide manusia. Farndon akhirnya bisa melakukannya, dan seperti yang disampaikannya sendiri; dia tengah “mengecoh.”

“Gagasan telah membentuk pengalaman kita tentang dunia” kata Farndon. Sesuatu yang tak asing dalam teks-teks tak berkesudahan dari Edmund Husserl. Maka nasihat, atau wejangan tidak saja menjadi objek-bermakna melainkan juga fenomena bagi diri saya. “Mata jangan ikut kaki ketika berjalan” tanpa saya sadari menjadi fenomena, yang saya alami dan hadir begitu saja.

*Kalibedog, 20 Maret 2016.

Tuesday 16 February 2016

Catatan Fasillitator PKTM III Lampung 2015-2016

Saya cukup beruntung menghabiskan pergantian tahun dengan menjadi pemateri sekaligus fasilitator untuk PKTM III IPM Lampung. Perjalanan menuju Lampung menurut saya cukup menyenangkan. Pertama-tama dari Yogya ke Solo, berkunjung ke UMS, menginap di Shobron kemudian terbang ke Lampung. Perpindahan lokasi bagi saya selalu menjadi kesempatan yang bagus untuk menulis beberapa catatan pendek, biasanya terdiri dari satu baris saja. Biasanya berupa catatan reflektif atau kontemplatif.

Keberuntungan lain bagi saya adalah berkunjung ke Gedung Dakwah Muhammadiyah Tanggamus, yang juga menjadi lokasi PKTM III. Gedung ini dikelilingi oleh tanah berumput lapang, dan kebun pepaya, serta sekolah PAUD. Sewaktu saya duduk di ruang tunggu, jendela yang menghadap sebelah utara langsung berpapasan dengan Gunung Tanggamus. Hanya pohon kelapa yang terlihat berada di kaki gunung sebelah selatan meramaikan pemandangan itu. Meski begitu, karena Gedung Dakwah dekat dengan pantai, hawa panas tak bisa dihindari. Di siang hari, hawa panas mencapai 32 derajat, sedangkan malam hari relatif.

Pemandangan Gunung Tanggamus di Belakang Gedung Muhammadiyah


Gerakan Sosial Baru
Fasilitator IPM Lampung meminta saya memberikan materi soal Gerakan Sosial Baru. Istilah Gerakan Sosial Baru (New Social Movement) tidak asing di IPM. Istilah ini menjadi pembahasan yang menyentuh model dan orientasi gerakan pasca perubahan nomenklatur nama IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah) menjadi IPM (Ikatan Pelajar Muhamadiyah). Kata “remaja” yang berubah menjadi “pelajar” sebenarnya menunjukkan ekslusivitas klas sosial, meskipun tampaknya teori soal NSM justru semakin marak.

Terdapat beberapa konteks dialektika yang mewarnai sejarah Konferensi hingga Muktamar IPM. Pertama berkaitan dengan pembentukan komunitas kreatif, IPM sebenarnya telah menyentuh beberapa dasar dari model NSM. Kedua, saat membicarakan program kerja IPM berbasis kebutuhan pelajar, model NSM tampaknya telah direduksir sedemikian rupa sehingga maknanya menjadi buram. Ketiga, analisa sosial tidak bisa ditinggalkan, sebab NSM sebagai paradigma gerakan selalu mengandaikan advokasi pada proses peniadaan subjek politik. dalam hal ini, penting dicatat bagi setiap Gerakan Sosial, peniadaan subjek politik bisa menjadi jalan bagi kepentingn neoliberalism dan neokapitalisme di dalam gerakan.

materi Gerakan Sosial Baru
Pada umumnya, imajinasi soal gerakan sosial baru bertopang terlalu liar pada teori perubahan portofolio subjek, yang menjelaskan bahwa peleburan identitas dan orientasi saling berkelindan menolak yang disebut sebagai kepentingan klas. Sebenarnya, teori perubahan portofolio subjek merupakan salah-satu varian dari komposisi agen, sekalipun kalau diperhatikan, nyaris tak ada yang disebut dengan the end of class struggles. Perjuangan klas tidak identik dengan perombakan struktur sosial, melainkan sebuah agenda politik yang dirancang untuk mengafirmasi keberadaan penindasan dan eksploitasi yang kian mutakhir. Menyebut bahwa pertentangan klas tak ada, adalah bagian dari konsekuensi penerimaan bahwa politik cair (liquid) adalah ciri utama dari politik post-modern.  

Sesuatu yang juga menarik untuk dibahas adalah berkembangnya isu bahwa AI telah menggantikan Analisa Sosial (Ansos), jelas saja ini salah kaprah. AI dan Ansos adalah metodologi, dan sebagai metodologi masing-masing memiliki karakter. Dalam beberapa konteks, metodologi seringkali diperlakukan sebagai sebuah panduan, padahal metodologi adalah—mengutip Heidegger—sebuah cara untuk “mempreteli realitas”. Tampaknya isu itu berjalan beriringan dengan kesalahkaprahan pemahaman mengenai gerakan sosial baru.

Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang membuat kesalahkaprahan itu terjadi. Pertama, terlalu dekatnya kepentingan pengelolaan organisasi atau komunitas dengan kepentingan Bank Dunia atau IMF (bisa tercermin lewat program berbasis proposal). Kedua, gerakan sosial yang dikelola dengan logika privatisasi (tupoksi-minded).

Film Dokumenter
Selesai diskusi soal Gerakan Sosial Baru, saya kira penting untuk menunjukkan bagaimana kompleksitas pengelolaan komunitas yang sedang terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Saya memilih sebuah film dokumenter untuk ditonton oleh peserta PKTM III. Beberapa alasan pemutaran film dokumenter ini adalah, pertama, bagi saya sangat penting memperlihat bagaimana realitas yang sebenarnya soal “komunitas adat”, “orang Baduy”, “orang Papua”, atau soal “tradisional” dan “modern”.  Istilah-istilah ini banyak mengalami simplifikasi yang keliru. Kedua, saya berniat menyuguhkan bagaimana sebenarnya equilibrium manusia dan alam bukan merupakan utopia. Saya merasa alasan kedua ini cukup bagus, karena selama ini diskusi soal equilibrium antara manusia dan alam seolah-olah telah praktis dijelaskan melalui kerangka Ekonomi Baru. Padahal ada banyak best practice yang jarang didiskusikan sehingga penggandaannya menjadi utopis.

Nonton dan Diskusi Film Dokumenter "Kasepuhan Cipta Gelar" (Watchdog, 2015)
Beberapa komentar yang saya ingat pasca pemutaran film dokumenter membuat saya cukup senang, di antaranya ialah; “saya baru pertama kali melihat tayangan begini, saya kira dulu ngak mungkin bangun masyarakat model begitu”; “menurut saya, film ini bagus, saya jadi tahu apa makna nasionalisme yang bisa diperjuangkan”; “bagus banget selama ini saya sudah diberi tontonan yang merusak, seneng bisa menyaksikan dokumenter ini”.

Durian

Oh ya, sebagai catatan, saya diberi hidangan durian yang melimpah.

bersama Ari Nurrochman (kaos putih) dan teman-teman IPM Lampung

Pengetahuan dan Larangan

Suatu perkembangan yang saya anggap baik dalam proses belajar adalah menemukan nama-nama. Menurut saya, itu juga yang dirasakan oleh Adam, yang pada umumnya disebut sebagai “manusia” pertama. Dua tahun lalu saat membaca-baca seputar polemik kebudayaan pada pertengahan abad duapuluh Indonesia, nama Martin Aleida, dan Katrin Bandel, saya temukan. Saya merasa sama sekali tak berdosa karena mengenal dua nama ini terlambat, lebih penting dari itu, saya belajar sesuatu yang baru soal pengetahuan.


Martin Aleida


Buku pertama Aleida  yang saya ketahui berjudul Langit Pertama, Langit Kedua (2013), dan Katrin dengan Sastra Nasionalisme (2013). Dua buku itu pun saya temukan tak sengaja, sebab itu jenis buku yang dikonsumsi oleh penikmat sastra—bagaimana menyebutnya, mungkin penikmat sastra beserta sejarah yang melingkarinya. Buku Aleida yang saya temukan tak sengaja juga adalah Mati Baik-Baik Kawan, buku ini sebenarnya sudah dicetak beberapa kali. Saya memperoleh Mati Baik-Baik Kawan cetakan tahun 2014.

Katrin Bandel

Setelah membaca Mati Baik-Baik Kawan, saya membuat catatan singkat soal buku itu. Saya mengirim pesan ke Aleida untuk menanggapi catatan pendek itu. Kata Aleida waktu itu ke saya, “terima kasih, segera saya baca”. Pesan balasan Aleida membuat saya merasa terburu-buru memintanya memberi tanggapan. Berbagai macam hal melintas di kepala, yang jelas saya merasa belum mampu memberi tanggapan sastra, tetapi iktikad untuk belajar selalu menjadi dalih untuk melakukan itu.

Tidak lama, Aleida mengirim pesan balasan bernada formal yang begitu santun serta apresiatif. “Fauzan yang baik, tinjauanmu bagus, berupaya mendalam, aku tak layak menanggapi, kecuali bahagia karena dipandang dengan mata dan hati. Salam, jumpa”. Jujur saja, saya merasa Aleida telah membagi kekuatan yang penting soal belajar. Pesan balasan Aleida pada saat itu mungkin tak sepenuhnya menggambarkan kondisi objektif, tetapi sangat berpotensi memberi kesempatan sebuah dunia baru berkembang. Bagi saya, itu seperti memberi kesempatan pada tunas untuk tumbuh lebih baik, lebih cepat belajar bagaimana caranya menuju horison Matahari yang tampak kekal.

Suatu hari saat diskusi dan bedah buku Mati Baik-Baik Kawan, Aleida berkata “Anak muda zaman sekarang tidak bodoh. Mereka pada umumnya lebih pintar. Makanya politik melarang-larang dalam belajar itu tak pernah efektif”. Saya menangkap sorot mata yang optimis dari Aleida. Mantan wartawan Harian Rakjat itu kemudian dengan nada yang lembut berkata, “mari kita sama-sama belajar, kita butuh manusia yang kuat”. Katrin pada hari itu turut menjadi pembedah Mati Baik-Baik Kawan juga berujar, “buku ini [Mati Baik-Baik Kawan] akan jadi bahan yang bagus untuk belajar soal dimensi-dimensi sejarah Indonesia”.

Pengetahuan tak pernah berjalan dengan larangan. Saya ingat sewaktu mengaji surat al-Baqarah, saya begitu tertarik dengan proses belajar Adam. Dia mengingat nama-nama ciptaan. Ketika di dunia, Tuhan tak melarang dia bertemu dengan Iblis, melainkan membekali Adam dengan pengetahuan yang cukup supaya bekalnya sebagai khalifah fil-ardh terpenuhi. Barat dan timur adalah kepunyaan Tuhan, tak ada yang memisahkannya kecuali ketika perang menemukan dalih yang irrasional—meminjam Arendt. 

*Fauzan Anwar Sandiah

Catatan PKTMU Palembang 2016 #1

Matahari menembus langit dengan awan yang hanya bergaris tipis-tipis saja. Siang itu, saya harus berangkat ke Palembang. Seperti biasa, saya berharap badan pesawat tetap kuat menahan derajat panas ketika terbang berjarak empatribu kaki dari tanah. Di satu sisi, sebenarnya ada perasaan senang meninggalkan kota Jogja yang satu tahun belakangan ini mungkin saja akan segera mendeklarasikan diri sebagai kota seribu hotel, dan menuju Palembang membawa proses yang—bersama tim fasilitator lain siapkan untuk PKPTMU.  

Diskusi Alur Logika Pelatihan


Siang yang terik dan macetnya kota Jogja menemani saya bersama teman-teman terbang ke Palembang. Kurang lebih empat bulan, tim fasilitator yang terdiri atas Mutmainnah, Arifah, Zulfikar, Kak Wiek, Azaki, Teguh, Huda, dan saya mempersiapkan Pelatihan Kader Paripurna Taruna Melati Utama (PKP TMU, selanjutnya saya singkat TMU) dengan beberapa proses penting.

Kepanitiaan Lokal yang Powerfull
Selalu ada sisi lain dari kepanitiaan lokal yang penting untuk dicatat. TMU di Palembang dibantu oleh panitia lokal yang berasal dari PW IPM Sumsel, beberapa PD IPM, dan PR IPM. PP IPM dibantu mempersiapkan teknis pelaksanaan yang luar biasa dari panitia lokal, termasuk tuan rumah Stikes Muhammadiyah serta PW Muhammadiyah Sumsel.

bersama IPM Sumsel sekaligus Pantia Lokal, depan Kantor WALHI Palembang


Sedikit cerita, siang hari pada tanggal 25 Januari, empat tim fasilitator sudah tiba di lokasi TMU yakni, Zulfikar, Muthmainnah, Arifah, dan saya sendiri. kami dijemput dari Bandara oleh Dimas, Ketua Umum PW IPM Sumsel. Satu jam setiba di penginapan Stikes Muhammadiyah kami dibawakan pempek oleh Alex dengan jumlah yang tidak mungkin dihabiskan oleh empat orang. Saya dan Zulfikar hanya bisa menatap varian-varian pempek dan berbagai olahannya termasuk otak-otak dengan tertawa terbahak-bahak. Setelah itu kami melakukan ramah-tamah dengan PWM dan Stikes Muhammadiyah pada sore hari. Malamnya kami mengadakan ramah-ramah antara PW IPM Sumsel, Panitia Lokal, Peserta, dan Tim Fasilitator yang di-handle oleh PP IPM.

Selama kurang lebih seminggu baik peserta maupun tim fasilitator dibantu untuk menyukseskan kegiatan. Ya, pada umumnya, setahu saya kekuatan panitia lokal adalah kunci dari proses kegiatan apapun, termasuk pelatihan. Kerjasama mereka membantu kegiatan ini bekerja lebih maksimal. 
        
Soal Regenerasi dan Kuota Berbasis Gender
Beberapa hari setelah pengumuman peserta TMU dipublikasikan di Website PP IPM, Tim Fasilitator memperoleh sejumlah pertanyaan yang dilontarkan pada saat Konpiwil di Pucang, Surabaya. Beberapa pertanyaan itu berkaitan dengan proses seleksi peserta, dan orientasi TMU, serta kemungkinan diadakan TMU sesi II untuk memfasilitasi peminat TMU yang tinggi dari setiap provinsi. Perlu dicatat, tidak semua jawaban pertanyaan itu dapat dijawab tim fasilitator ketika itu. Ada banyak hal yang harus dikerjakan segera, dan tidak ada waktu untuk memberi respon sesegera mungkin. Meski begitu, secara umum proses seleksi peserta TMU berjalan atas dua prinsip utama, pertama adalah pertimbangan regenerasi. Tidak dipungkiri, peminat TMU tahun 2016 ini tidak sedikit, padahal sebagaimana idealnya format pelatihan, partisipannya tidak mungkin dalam kelompok besar. Maksimal 31 partisipan yang dapat diterima oleh tim fasilitator, ini berkaitan dengan pertimbangan pedagogik. Jumlah 31 partisipan sebenarnya sudah termasuk besar. Tentu saja pertimbangannya tidak sesederhana itu, terjadi beragam diskusi dalam proses seleksi peserta, termasuk penilaian terhadap paper yang dikirim oleh tiap peserta. Menawarkan ide yang segar, Otentisitas (no plagiarism), dan kemampuan mengelola diskursus yang kritis, menjadi pertimbangan terhadap paper peserta.

Kedua, adalah kuota gender. Harus diakui bahwa IPM adalah organisasi besar, tim fasilitator harus memberikan kuota gender yang adil. Ipmawati yang mengirimkan berkas mendapatkan kuota khusus, sebab masa depan IPM sangat bergantung pada kepemimpinan yang inspiratif dan berdaya-tahan. Jenis kepemimpinan seperti itu hanya mampu terjadi jika keterlibatan perempuan dalam organisasi diadvokasi oleh segala pihak. Maka tim Fasilitator mencoba membuka kesempatan kepada Ipmawati masuk ke dalam proses pembelajaran di TMU. Ide ini pun sebenarnya tidak serta merta diterima oleh beberapa rekan di fasilitator, tetapi sejumlah argumentasi sangat mudah untuk menunjukkan bahwa advokasi kuota gender itu penting. Kalau disaksikan sungguh-sungguh, kepesertaan Ipmawati dalam TMU membuktikan banyak hal menarik. Mereka mampu menunjukkan dinamika yang baik.

Proses seleksi sebenarnya merupakan hak prerogatif tim fasilitator dan sama sekali tidak dibiarkan untuk diintervensi oleh kepentingan apapun.

Proses Pembelajaran
Pelaksanaan TMU 2016 di Palembang diadakan sejak tanggal 26 Januari hingga 1 Februari. Waktu ini termasuk yang paling singkat dalam sejarah TMU. Nampaknya ke depan, TMU harus dibatasi minimal 9-10 hari sebab beberapa pertimbangan.

Mas Ahmad Sarkawi dan Arifah, Fasilitator PP IPM

Masmoelyadi (tengah), Pemateri Gerakan Sosial Baru 



Penggunaan AI
Salah-satu hal menarik dari TMU kali ini adalah penggunaan Appreciative Inquiry (AI). Materi AI sebenarnya tidak asing di IPM. Dua tahun belakangan ini, IPM mencoba menggunakan AI sebagai dasar pengembangan organisasi. Sejak Semiloknas di Gresik tahun 2014, hingga Muktamar IPM XIX di Jakarta AI menjadi bahan materi. Sejak saat itu, AI intens menjadi bahan diskusi IPM. Beberapa wilayah juga mulai belajar mengenal AI di organisasi. TMU di Palembang ini tim fasilitator meminta bantuan Mas Widi sebagai fasilitator sekaligus pemateri AI. 

Penulisan Laporan Riset berbasis Appreciatve Inquiry bersama Widhyanto Muttaqien

Proses belajar AI di TMU di-setting berbeda dari praktik mengenal AI di TM III. Di TMU, praktik AI dimaksudkan sebagai bahan dasar untuk melakukan riset, meskipun tujuan utamanya adalah memberikan alternatif tool bagi peserta TMU dalam mengelola diskursus, termasuk menawarkan model pengembangan organisasi. Awalnya alokasi materi hanya disediakan dua jam dengan pertimbangan sesi lanjutan dapat dilakukan pada sesi FGD. Meski begitu tampaknya proses pengenalan peserta harus dielaborasi lebih lama dari waktu yang disediakan. Tetapi hal ini disanggupi sendiri oleh Mas Widi yang akhirnya memperpanjang jadwalnya hingga dua hari. Mas Widi mempersiapkan presentasi yang direvisinya setiap sesi pembelajaran selesai, dan mengajak diskusi tim fasilitator untuk menceritakan proses yang sudah dilewati, dan meminta saran serta rekomendasi untuk penggunaan waktu. Hari pertama mas Widi menemani peserta untuk mengeksplorasi bersama soal AI dan praktiknya untuk riset. Pada hari kedua, mas Widi membantu briefing peserta sebelum praktik riset AI ke lembaga dan gerakan sosial yakni TB Care Aisyiyah, Walhi, dan Komunitas Peduli Anak Jalanan. Selesai praktik lapangan riset AI, proses selanjutnya adalah membantu peserta menyusunnya menjadi laporan semi-riset berbasis AI. Hasil riset tersebut kemudian dikembangkan sebagai bahan-bahan dasar untuk FGD Isu Muktamar dan RTL.

Isu dan RTL

dari kanan, Mas Widhyanto Muttaqien, Azaki, Huda, dan saya


Peserta TMU memilih fokus pada empat isu berikut, (1) Konservasi Ekologi dan Tanggap Kebencanaan, (2) Jihad Literasi, (3) Sekolah Ramah Anak, (4) Memanfaatkan Bonus Demografi. Masing-masing isu sudah diolah oleh peserta TMU dan diserahkan kepada tim materi Muktamar yang kebetulan dikordinatori oleh saya sendiri.       


*Fauzan Anwar Sandiah

Catatan Diskusi Soal Gerakan Perdamaian




Menjelang konpiwil dan agenda taruna melati utama, beberapa rekan dari PP IPM; Fauzan, Zulfikar, dan Teguh, beserta dua pegiat LaPSI; Uswah, dan Sadidah, terlibat dalam diskusi mengenai gerakan perdamaian. Diskusi tersebut tentu saja dilakukan dalam rangka memperkuat agenda-agenda gerakan IPM dalam dinamika praktis yang tengah terjadi di dunia pendidikan semacam; tawuran pelajar, bullying, diskriminasi, serta dalam rangka mengasah dua pendekatan baru yang tengah digunakan yakni; Appreciative Inquiry (AI) dan pendekatan ekologi. Meskipun, pendekatan yang terakhir baru saja muncul dari beberapa diskusi terbatas serta diskusi grup terfokus.

Persepsi soal Kekerasan
Bicara soal gerakan perdamaian, pada satu sisi problematis. Alasannya ialah bahwa pembahasan tentang perdamaian, selalu diawali oleh anomali sosial. Tak berhenti di situ, “penting sekali bagi setiap gerakan perdamaian untuk merefleksikan hal-hal fundamental soal kekerasan, khususnya konflik” kata Teguh. Menurutnya, penting untuk merefleksikan di mana posisi konflik dan perdamaian secara utuh. Misalnya apakah perdamaian dan konflik itu saling meniscayakan?. Pertanyaan itu datang dari refleksi mendasar yang mempengaruhi implikasi-implikasi filosofis maupun praksis. “Kita harus memahami ini supaya gerak praksisnya lebih fleksibel, artinya nanti mempengaruhi daya-tahan pegiatnya masing-masing”.

Pendekatan ekologis
Sejak tahun 1997, percobaan pendekatan ekologi dalam mengurai persoalan kekerasan di dunia pendidikan mulai digunakan. Pendekatan ekologi menyatakan bahwa kekerasan di dalam dunia pendidikan merupakan manifestasi dari kompleksitas relasional yang disekuilibrium antara manusia dengan manusia, serta antara manusia dengan alam. Pendekatan ini pada umumnya digunakan dengan melibatkan ekosistem di dalam sekolah sebagai komunitas yang integral. Partisipan pendidikan, kepala sekolah, guru, pegawai sekolah, satpam, dan orangtua berada dalam rantai komunitas yang saling mempengaruhi. Pendekatan ekologi menggunakan relasi-relasi ini sebagai cara untuk mendekati akar (genealogi) dan riak (rhizomatik) kekerasan.

Kelebihan pendekatan ekologi karena peka terhadap—tidak hanya pada genealogi, tetapi juga pada relasi rhizomatik dari kekerasan. Artinya selama ini analisis genealogis yang selalu atomistik, “kembali pada diri masing-masing” yang terlalu deterministik terhadap proses kekerasan (being violence), menjadi begitu lentur untuk melihat bagaimana sebenarnya kekerasan terjadi, dan cara yang tepat untuk mengeremnya. Pendekatan ekologi yang mengakomodir relasi rhizomatik misalnya melihat bahwa kekerasan dan konflik terjadi bersamaan dengan menghilangnya empati terhadap alam, yang disebut sebagai proses objektivasi; menjadikan segala sesuatu yang eksternal menjadi asing. Hal ini terlihat dari berjaraknya pendidikan dan pengajaran, kuatnya model pendidikan berbasis reward and punisment system, serta apresiasi seni serta sastra yang hilang dari sekolah.

Kekerasan dan jaringan rhizomatik juga direpresentasikan dari berkurangnya otonomi relasional antara pendidik dan partisipan pendidik. Agenda perdamaian seperti; menghentikan diskriminasi, mengurangi bias gender, serta kekerasan fisik dianggap begitu sulit sebab hal-hal itu seakan menyerap menjadi bagian dari ‘habitus’. Seorang peserta diskusi mengatakan, “bullying itu kadang dianggap biasa, apalagi obrolan-obrolan yang bias gender..itu paling sering..dalihnya, itu sudah kebiasaan. Kalau di grup WA atau obrolan langsung, ada bullying itu dianggap bikin rame dan mengikat persaudaraan, padahal kan tidak begitu..kita kurang merefleksikannya makanya terkesan telah menjadi kebiasaan”. Kekhasan pendekatan ekologi dengan analisa rhizomatik akan membantu menguraikan hal-hal rumit semacam ini.


Bagaimana Menguatkan Gerakan Perdamaian?

Ada dua fakta menarik yang sebenarnya telah menjadi kecenderungan akhir-akhir ini, yakni pemanfaatan kebiasaan lokal untuk merekonstruksi kebiasaan baru, serta penggunaan model pendidikan partisipatoris dan apresiatif dalam setiap setting pendidikan perdamaian. Sewaktu saya bertanya kepada Defit, “dalam aktivitas apakah orangtua begitu antusias mendorong anaknya selama rangkaian kegiatan peace-santren?”. Menurut Defit, pada aktivitas tahfidz orangtua begitu kolaboratif dan antusias. Artinya penting sekali bagi disain pendidikan perdamaian untuk memperhatikan aktivitas-aktivitas yang memunculkan minat tinggi dari orangtua. Aktivitas-aktivitas seperti ini memungkinkan kolaborasi yang maksimal dari orangtua. Selain itu, juga perlu memperhatikan aktivitas pendidikan perdamaian seperti yang apa yang didukung secara maksimal oleh orangtua maupun partisipan pendidikan yang pada umumnya berusia 12-17 tahun. Hal ini akan memperkuat dukungan stakeholder dalam membantu proses pendidikan perdamaian.  

*Fauzan Anwar Sandiah

Sunday 3 January 2016

Tiga Mantra Kebahagiaan Yang Sulit Dipahami

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Meninggalkan respon setelah membaca sebuah tulisan bagus adalah adil. Bagi diri sendiri, bagi si penulis sebagai bentuk penghargaan, dan bagi maksud-maksud kemanusiaan yang ditujunya. Meninggalkan respon bisa dengan membuat satu ulasan singkat tentang tulisan itu, mendiskusikan isi tulisan atau dengan berbagai bentuk yang dapat ditempuh sendiri-sendiri.

Saya memilih untuk menuliskannya. Saya akan membahas soal “mantra-mantra” yang ditulis oleh Butet Manurung dalam artikel opininya yang berjudul “Apa yang Salah dengan Volunter?”. Kenapa saya sebut mantra? Alasannya sederhana, karena diperlukan ritual khusus antara praktik, dan refleksi untuk memahaminya. Hanya bisa diresapi lewat dua hal itu. Ya, orang bahagia memang syaratnya bisa praktik dan refleksi (mengambil hikmah).

Mantra pertama adalah “Kita hanya perlu lebih banyak melihat dan mendengar langsung..Datang ke sana, diam, dan amati dengan rendah hati.”

Mantra kedua adalah “[mengutip Pram, butet menulis] Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang bisa timbul pada samudra, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya..sekali kita menentukan tujuan, biarkan ia jadi kekuatan yang menggerakkan.”

Mantra ketiga adalah “bekerja apapun itu, termasuk pekerjaan sukarela, menurut saya selalu dimulai dari menghargai diri sendiri, menghormati hidup kita sendiri..membagikan anugerah yang kita punya...ini terlihat seperi pengabdian..tetapi tidak..kita mengabdi kepada kemanusiaan sejati”.

Butet Manurung adalah seorang perempuan kelahiran Jakarta tahun 1972. Perintis Sokola Rimba. Dari Jambi, Halmahera, hingga Flores.  

Tiga Mantra

Tiga Mantra butet itu bicara soal mencari kebahagiaan “tanpa perantara”. Kata Butet, “sekali lagi, taruh gadget-mu, lihat lekat-lekat dunia di luar sana, lalu dengarkan hatimu. Sebab kita perlu menghargai hidup yang hanya sekali ini. Bayangkan jika suatu hari di usia 75 tahun, tiba-tiba kita merasa hampa dan sadar bahwa kita belum melakukan apa-apa untuk menghargai satu kali hidup kita”.

Sewaktu membaca tulisan Butet, saya merasa ada beragam kompleksitas untuk memahami arti kebahagiaan dari kesederhanaan yang tak kunjung dipahami. Maksudnya, Butet berulang kali ditanya tentang soal “berapa gaji jadi volunter di hutan” atau “kok bisa anda lulusan Australi kerja di hutan, apalagi anda itu perempuan? Tanpa digaji, masa’ sih?”.

Kemungkinan Butet juga kesal dengan berbagai pertanyaan itu. “apa substansi dari yang kamu lakukan? Apa dengan mengajar anak di hutan itu memberi dampak luas? Apakah itu menghabisi kapitalisme, neo-liberalisme, atau kekerasan?” pertanyaan-pertanyaan begitu jika ditanya ke Butet tentu mudah dijawab. Tetapi bukankah terlalu berlebihan berharap semuanya selesai pada satu kerja sukarela satu orang. Zaman sekarang, memperkuat kerja bersama lebih baik daripada mengajukan sejumlah pertanyaan.

Melalui Butet saya terpikir dengan perjalanan hidup sendiri, termasuk ingat pengalaman Nabi Musa yang belajar ke Khidir. Ada banyak pertanyaan yang tak terjawab. Yang harus dilakukan, jika jadi Musa adalah meracik sendiri jawaban kreatifnya sembari betul-betul melakukan refleksi mendalam. Itu penting, karena untuk memahami mantra kebahagiaan, yang dibutuhkan adalah kesiapan diri sendiri. kesiapan untuk menghargai hal-hal kecil. Kesiapan untuk memahami penghargaan terhadap kemanusiaan sejati.

Tentu saja, soal “apa hal-hal kecil itu?” harus dijawab sendiri. Sulit? Ya, itu tak aneh, sebab begitu yang dialami oleh anggota DPR sehingga tak bisa bikin UU bagus untuk rakyat. Termasuk sulitnya memahami “penghargaan hidup” karena baru-baru saja seorang polisi menembak kepala rakyat biasa, atau seorang aparatur desa yang menyuruh preman membunuh warganya sendiri. Belum lagi tentara yang menendang perut seorang wanita paruh baya. Atau, pengusaha yang lepas tanggungjawab setelah melumpuri kota dan membakar hutan. Makanya menjadi luar biasa jika itu bisa dimaknai secara tepat. Itu juga kenapa ini menyangkut soal kemanusiaan sejati. Sekali penghargaan terhadap kehidupan dilakukan,  kewarasan kita terpelihara, indikator sebagai manusia juga terbukti.

Arti Tiga Mantra 

Tiga mantra Butet bermakna begini.

https://crimsonstrawberry.files.wordpress.com/2013/05/30.jpg


Pertama, kebahagiaan hanya bisa diperoleh lewat “rendah hati”. Artinya kebahagiaan itu adalah saat kita membiarkan diri kita mengalami kehidupan secara bermakna. Tak merasa memiliki banyak jawaban atas persoalan Hutan begitu masuk ke Hutan. Tak merasa punya cara jitu untuk menyelesaikan problem pendidikan masyarakat pedalaman begitu masuk ke pedalaman. Pelajari dari orang-orang sekitar, dan ambil bagian, begitu kira-kira.

Kedua, kekuatan selalu muncul dari keyakinan-keyakinan. Erich Fromm seorang filsuf Jerman pernah bilang kalau harapan melipatgandakan kemungkinan realitas diubah. Karena keyakinan berkaitan dengan kenyataan bahwa banyak hal yang bisa memperkuat kerja-kerja kemanusiaan. Keyakinan, menjadikan diri kita percaya bahwa banyak orang yang sebenarnya sedang membantu kita mencapai sebuah misi. Kalaupun tak ada orang-orang itu, gunung, langit, dan angin akan membantu. Dalam Rumah Baca Komunitas, kami menyebut ini sebagai gerakan mikroba. Tak merasa sendiri dalam berjuang, dan yakin bahwa “semesta mendukung”. 


Ketiga, kebahagiaan muncul dari penghargaan diri sendiri, menghormati kehidupan, dan berjuang untuk kemanusiaan sejati. Kebahagiaan berpadu ke dalam tiga hal itu. Penghargaan diri sendiri maksudnya ialah kesadaran tentang jati diri kemanusiaan. Sadar bahwa kita manusia, dan oleh karena itu harus melakukan tanggungjawab kemanusiaan. Kebahagiaan muncul dari proses itu. Kebahagiaan sejati selalu muncul dari perjuangan kemanusiaan sejati. Karena kebahagiaan materi atau status sosial hanya akan bertahan untuk masa tertentu. Tak abadi, apalagi membekas. Orang-orang yang bahagia secara materi sejak zaman primitif tak bisa meninggalkan apapun di masa sekarang, selain kerusakan. Dibandingkan dengan warisan orang-orang bahagia di masa lampau. Mereka mewariskan pengetahuan, kebijaksanaan, dan alam yang indah. Mereka mewariskan “hantu-hantu” yang membawa keadilan menembus ruang-waktu melawan kezaliman dari feodalisme, imperialisme hingga kapitalisme, demikian Derrida.

Spiral-Spiral Gardu

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Selalu ada yang kalah di dalam modernitas. Tak hanya manusia, sejarah juga takluk. Hal itu, tak terkecuali hasil-hasil modernitas itu sendiri di masa lampau. Gardu mengalami yang serupa, sebuah pengasingan intrinsik tentang nilai dan kejayaannya.



Beberapa waktu yang lalu Cak David di Rumah Baca Komunitas membahas soal Gardu. Sebuah diskusi yang mengajak sisi lain sejarah untuk mengingat kompleksitas dirinya sendiri.

Mungkin Gardu tersisih karena sebagai sebuah bangunan, tak mampu menjembatani kepentingan modernitas. Bentuknya kecil dengan letak yang hanya menjangkau hasrat mengawasi. Pengawasan tindak-tunduk manusia—ras pembuatnya sendiri. Dari Gardu, mata-mata mengawasi dan memberi ruang bagi kecurigaan yang dibenarkan. Kalau malam-malam saya melewati Gardu—tempat kongkow-kongkow orang perumahan, tatapan mereka menyisir seluruh hal. Plat nomor motor, model pakaian, potongan rambut, raut wajah, dan lain sebagainya.

Kalau melewatinya pagi-pagi, tampak sepi. Digembok dari luar. Kalau punya teras, biasanya jadi tempat persinggahan pedagang keliling. “people silence, biasanya juga memanfaatkan gardu” kata Kak Wiek di sela-sela diskusi.

Gardu adalah sebuah istilah yang merujuk kepada sebuah konstruk bangunan kecil. Peruntukannya yang paling dominan adalah sebagai tempat kongkow-kongkow. Meski begitu, Abidin Kusno dalam bukunya Guardian of Memories; Gardu in Urban Java (2006) tak selalu sepakat.

Spiral-Spiral Gardu

Membaca tentang aspek historis dan peranan politik gardu, kita ditawarkan pendekatan spiral oleh Kusno. Melihatnya dari strategi politik kampanye PDI. Atau, melihatnya secara adil sebagai bagian dari sejarah kolonial. Pendekatan bertutur spiral ala Kusno merupakan sebuah pilihan ketika membuka substansi dari Gardu melalui apa-apa yang melingkari historisitasnya.

Gardu yang berarti “rumah-jaga” (guardhouse) dipengaruhi oleh bahasa Prancis; garde yang bermakna “penjaga”. Dalam sistem tonarigumi semacam yang diterapkan oleh Jepang, Gardu memiliki fungsi mobilisasi rakyat (doin). Tonarigumi memiliki makna sebagai “tempat berkumpul masyarakat”, juga dekat dengan semacam pengertian “lingkungan masyarakat berasosiasi”. Hal itu misalnya dapat dilihat pada Forum Betawi Rembug yang mendirikan gardu untuk mengembangkan jejaring dengan memanfaatkan sistem keamanan lokal yang biasanya disebut siskamling (Ian Douglas Willson, 2006: 265-297).

Ketika Wilson mencoba menjelaskan bagaimana perubahan dan pergeseran kontur penggorganisasian kekerasan pasca orde baru, dia melihat Gardu juga mengalami variasi fungsi. FBR misalnya, memanfaatkan Gardu sebagai galeri kecil yang memajang hasil-hasil seni. Lukisan, dipajang di dinding Gardu. Apakah kontur pergeseran sosial dalam masyarakat dapat ditinjau melalui perubahan-perubahan fisik? Misalnya dengan perubahan fungsi infrastruktur tertentu?. Ini sebuah pertanyaan yang dijawab oleh Kusno melalui pendekatan spiral.

Ada jaringan atau asosiasi yang dibentuk dan diperkuat oleh Gardu. Fungsinya yang demikian menurut Kusno dapat menjadi pembuka sejarah yang panjang mengenai Gardu. Pemanfaatan Gardu dan segala fungsinya merepresentasi kategori masyarakat urban yang selalu berubah dan dipengaruhi oleh kecenderungan untuk membentuk sistem keamanan. Lalulintas sosiologis yang begitu di daerah perkotaan menciptakan ruang-ruang fisik sebagai penyeimbang. Itu yang dilakukan juga pada awal masa kemerdekaan dalam mengawasi kelompok republiken dan non-republiken.   

Sebagai sebuah konstruk bangunan, Gardu tentu saja bisa sedemikian misterius. Maka, Gardu bukan sekedar “penjaga makna” atau “penjaga ingatan”. Gardu adalah si pengikat makna. Konon para Raja di masa lampau, mengikat makna kosmiknya menggunakan Gardu. Masyarakat mengikat makna kekuasaan raja sebagai si pemilik kosmos melalui kehadiran Gardu.

Salah-satu hal yang menurut saya sendiri cukup berani dilakukan oleh Kusno adalah dengan mendefinisikan Gardu sebagai sebuah “ruang” dengan volume yang ditentukan oleh konteks sejarah. Dalam hal ini, Gardu sebagai sebuah konsep abstrak mampu diletakkan ke dalam konstruk bangunan yang hadir dalam beragam fungsi publiknya. Maka tak heran, saya lebih sepakat jika Gardu semacam pengikat makna. Sebab, konsepsi Gardu terbentuk atas perannya dalam mengikat makna. Kusno sendiri memberi uraian historis tentang perubahan-perubahan fungsi Gardu dalam berbagai konteks waktu. Meskipun pada akhirnya kesan bahwa Gardu merupakan bagian dari konstruk urban. 


Mulai dari sudut itu, Gardu dengan demikian menjadi salah-satu bangunan yang secara intrinsik melekat dengan perubahan-perubahan masyarakat. Entah sebagai sebuah jembatan bagi manusia dengan segala kompleksitasnya atau menjadi sebuah konstruk tunggal yang kehadirannya niscaya. Yang jelas, Gardu tak menjadi sumber noda sejarah, atau perlindungan apapun. Kecuali manusia-manusia yang menuju kemajuannya sendiri memaksa konstruk terlibat seolah-olah mereka menjadi instrumen yang dikuasai oleh manusia. Padahal, setiap bagian dari kosmos polis, adalah sebuah kenangan yang terus berubah dan memperbarui.