Saya cukup
beruntung menghabiskan pergantian tahun dengan menjadi pemateri sekaligus
fasilitator untuk PKTM III IPM Lampung. Perjalanan menuju Lampung menurut saya cukup
menyenangkan. Pertama-tama dari Yogya ke Solo, berkunjung ke UMS, menginap di
Shobron kemudian terbang ke Lampung. Perpindahan lokasi bagi saya selalu
menjadi kesempatan yang bagus untuk menulis beberapa catatan pendek, biasanya
terdiri dari satu baris saja. Biasanya berupa catatan reflektif atau
kontemplatif.
Keberuntungan
lain bagi saya adalah berkunjung ke Gedung Dakwah Muhammadiyah Tanggamus, yang
juga menjadi lokasi PKTM III. Gedung ini dikelilingi oleh tanah berumput
lapang, dan kebun pepaya, serta sekolah PAUD. Sewaktu saya duduk di ruang
tunggu, jendela yang menghadap sebelah utara langsung berpapasan dengan Gunung
Tanggamus. Hanya pohon kelapa yang terlihat berada di kaki gunung sebelah
selatan meramaikan pemandangan itu. Meski begitu, karena Gedung Dakwah dekat
dengan pantai, hawa panas tak bisa dihindari. Di siang hari, hawa panas
mencapai 32 derajat, sedangkan malam hari relatif.
Pemandangan Gunung Tanggamus di Belakang Gedung Muhammadiyah |
Gerakan
Sosial Baru
Fasilitator IPM Lampung meminta saya
memberikan materi soal Gerakan Sosial Baru. Istilah Gerakan Sosial Baru (New Social Movement) tidak asing di IPM.
Istilah ini menjadi pembahasan yang menyentuh model dan orientasi gerakan pasca
perubahan nomenklatur nama IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah) menjadi IPM (Ikatan
Pelajar Muhamadiyah). Kata “remaja” yang berubah menjadi “pelajar” sebenarnya
menunjukkan ekslusivitas klas sosial, meskipun tampaknya teori soal NSM justru
semakin marak.
Terdapat beberapa konteks dialektika yang
mewarnai sejarah Konferensi hingga Muktamar IPM. Pertama berkaitan dengan
pembentukan komunitas kreatif, IPM sebenarnya telah menyentuh beberapa dasar
dari model NSM. Kedua, saat membicarakan program kerja IPM berbasis kebutuhan pelajar,
model NSM tampaknya telah direduksir sedemikian rupa sehingga maknanya menjadi
buram. Ketiga, analisa sosial tidak bisa ditinggalkan, sebab NSM sebagai
paradigma gerakan selalu mengandaikan advokasi pada proses peniadaan subjek
politik. dalam hal ini, penting dicatat bagi setiap Gerakan Sosial, peniadaan
subjek politik bisa menjadi jalan bagi kepentingn neoliberalism dan
neokapitalisme di dalam gerakan.
materi Gerakan Sosial Baru |
Pada umumnya, imajinasi soal gerakan sosial
baru bertopang terlalu liar pada teori perubahan portofolio subjek, yang
menjelaskan bahwa peleburan identitas dan orientasi saling berkelindan menolak
yang disebut sebagai kepentingan klas. Sebenarnya, teori perubahan portofolio
subjek merupakan salah-satu varian dari komposisi agen, sekalipun kalau
diperhatikan, nyaris tak ada yang disebut dengan the end of class struggles. Perjuangan klas tidak identik dengan
perombakan struktur sosial, melainkan sebuah agenda politik yang dirancang
untuk mengafirmasi keberadaan penindasan dan eksploitasi yang kian mutakhir. Menyebut
bahwa pertentangan klas tak ada, adalah bagian dari konsekuensi penerimaan bahwa
politik cair (liquid) adalah ciri
utama dari politik post-modern.
Sesuatu yang juga menarik untuk dibahas adalah
berkembangnya isu bahwa AI telah menggantikan Analisa Sosial (Ansos), jelas
saja ini salah kaprah. AI dan Ansos adalah metodologi, dan sebagai metodologi
masing-masing memiliki karakter. Dalam beberapa konteks, metodologi seringkali
diperlakukan sebagai sebuah panduan, padahal metodologi adalah—mengutip Heidegger—sebuah
cara untuk “mempreteli realitas”. Tampaknya isu itu berjalan beriringan dengan
kesalahkaprahan pemahaman mengenai gerakan sosial baru.
Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang
membuat kesalahkaprahan itu terjadi. Pertama, terlalu dekatnya kepentingan
pengelolaan organisasi atau komunitas dengan kepentingan Bank Dunia atau IMF
(bisa tercermin lewat program berbasis proposal). Kedua, gerakan sosial yang dikelola
dengan logika privatisasi (tupoksi-minded).
Film Dokumenter
Selesai diskusi soal Gerakan Sosial Baru, saya
kira penting untuk menunjukkan bagaimana kompleksitas pengelolaan komunitas
yang sedang terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Saya memilih sebuah film
dokumenter untuk ditonton oleh peserta PKTM III. Beberapa alasan pemutaran film
dokumenter ini adalah, pertama, bagi saya sangat penting memperlihat bagaimana
realitas yang sebenarnya soal “komunitas adat”, “orang Baduy”, “orang Papua”,
atau soal “tradisional” dan “modern”. Istilah-istilah
ini banyak mengalami simplifikasi yang keliru. Kedua, saya berniat menyuguhkan
bagaimana sebenarnya equilibrium manusia dan alam bukan merupakan utopia. Saya merasa
alasan kedua ini cukup bagus, karena selama ini diskusi soal equilibrium antara
manusia dan alam seolah-olah telah praktis dijelaskan melalui kerangka Ekonomi
Baru. Padahal ada banyak best practice yang
jarang didiskusikan sehingga penggandaannya menjadi utopis.
Nonton dan Diskusi Film Dokumenter "Kasepuhan Cipta Gelar" (Watchdog, 2015) |
Beberapa komentar yang saya ingat pasca
pemutaran film dokumenter membuat saya cukup senang, di antaranya ialah; “saya
baru pertama kali melihat tayangan begini, saya kira dulu ngak mungkin bangun masyarakat model begitu”; “menurut saya, film
ini bagus, saya jadi tahu apa makna nasionalisme yang bisa diperjuangkan”; “bagus
banget selama ini saya sudah diberi
tontonan yang merusak, seneng bisa
menyaksikan dokumenter ini”.
Durian
Oh ya, sebagai catatan, saya diberi hidangan
durian yang melimpah.
bersama Ari Nurrochman (kaos putih) dan teman-teman IPM Lampung |
No comments:
Post a Comment