Tuesday 16 February 2016

Pengetahuan dan Larangan

Suatu perkembangan yang saya anggap baik dalam proses belajar adalah menemukan nama-nama. Menurut saya, itu juga yang dirasakan oleh Adam, yang pada umumnya disebut sebagai “manusia” pertama. Dua tahun lalu saat membaca-baca seputar polemik kebudayaan pada pertengahan abad duapuluh Indonesia, nama Martin Aleida, dan Katrin Bandel, saya temukan. Saya merasa sama sekali tak berdosa karena mengenal dua nama ini terlambat, lebih penting dari itu, saya belajar sesuatu yang baru soal pengetahuan.


Martin Aleida


Buku pertama Aleida  yang saya ketahui berjudul Langit Pertama, Langit Kedua (2013), dan Katrin dengan Sastra Nasionalisme (2013). Dua buku itu pun saya temukan tak sengaja, sebab itu jenis buku yang dikonsumsi oleh penikmat sastra—bagaimana menyebutnya, mungkin penikmat sastra beserta sejarah yang melingkarinya. Buku Aleida yang saya temukan tak sengaja juga adalah Mati Baik-Baik Kawan, buku ini sebenarnya sudah dicetak beberapa kali. Saya memperoleh Mati Baik-Baik Kawan cetakan tahun 2014.

Katrin Bandel

Setelah membaca Mati Baik-Baik Kawan, saya membuat catatan singkat soal buku itu. Saya mengirim pesan ke Aleida untuk menanggapi catatan pendek itu. Kata Aleida waktu itu ke saya, “terima kasih, segera saya baca”. Pesan balasan Aleida membuat saya merasa terburu-buru memintanya memberi tanggapan. Berbagai macam hal melintas di kepala, yang jelas saya merasa belum mampu memberi tanggapan sastra, tetapi iktikad untuk belajar selalu menjadi dalih untuk melakukan itu.

Tidak lama, Aleida mengirim pesan balasan bernada formal yang begitu santun serta apresiatif. “Fauzan yang baik, tinjauanmu bagus, berupaya mendalam, aku tak layak menanggapi, kecuali bahagia karena dipandang dengan mata dan hati. Salam, jumpa”. Jujur saja, saya merasa Aleida telah membagi kekuatan yang penting soal belajar. Pesan balasan Aleida pada saat itu mungkin tak sepenuhnya menggambarkan kondisi objektif, tetapi sangat berpotensi memberi kesempatan sebuah dunia baru berkembang. Bagi saya, itu seperti memberi kesempatan pada tunas untuk tumbuh lebih baik, lebih cepat belajar bagaimana caranya menuju horison Matahari yang tampak kekal.

Suatu hari saat diskusi dan bedah buku Mati Baik-Baik Kawan, Aleida berkata “Anak muda zaman sekarang tidak bodoh. Mereka pada umumnya lebih pintar. Makanya politik melarang-larang dalam belajar itu tak pernah efektif”. Saya menangkap sorot mata yang optimis dari Aleida. Mantan wartawan Harian Rakjat itu kemudian dengan nada yang lembut berkata, “mari kita sama-sama belajar, kita butuh manusia yang kuat”. Katrin pada hari itu turut menjadi pembedah Mati Baik-Baik Kawan juga berujar, “buku ini [Mati Baik-Baik Kawan] akan jadi bahan yang bagus untuk belajar soal dimensi-dimensi sejarah Indonesia”.

Pengetahuan tak pernah berjalan dengan larangan. Saya ingat sewaktu mengaji surat al-Baqarah, saya begitu tertarik dengan proses belajar Adam. Dia mengingat nama-nama ciptaan. Ketika di dunia, Tuhan tak melarang dia bertemu dengan Iblis, melainkan membekali Adam dengan pengetahuan yang cukup supaya bekalnya sebagai khalifah fil-ardh terpenuhi. Barat dan timur adalah kepunyaan Tuhan, tak ada yang memisahkannya kecuali ketika perang menemukan dalih yang irrasional—meminjam Arendt. 

*Fauzan Anwar Sandiah

No comments:

Post a Comment