Suatu
perkembangan yang saya anggap baik dalam proses belajar adalah menemukan
nama-nama. Menurut saya, itu juga yang dirasakan oleh Adam, yang pada umumnya
disebut sebagai “manusia” pertama. Dua tahun lalu saat membaca-baca seputar
polemik kebudayaan pada pertengahan abad duapuluh Indonesia, nama Martin
Aleida, dan Katrin Bandel, saya temukan. Saya merasa sama sekali tak berdosa
karena mengenal dua nama ini terlambat, lebih penting dari itu, saya belajar
sesuatu yang baru soal pengetahuan.
Martin Aleida |
Buku
pertama Aleida yang saya ketahui
berjudul Langit Pertama, Langit Kedua (2013),
dan Katrin dengan Sastra Nasionalisme (2013).
Dua buku itu pun saya temukan tak sengaja, sebab itu jenis buku yang dikonsumsi
oleh penikmat sastra—bagaimana menyebutnya, mungkin penikmat sastra beserta
sejarah yang melingkarinya. Buku Aleida yang saya temukan tak sengaja juga
adalah Mati Baik-Baik Kawan, buku ini
sebenarnya sudah dicetak beberapa kali. Saya memperoleh Mati Baik-Baik Kawan cetakan tahun 2014.
Katrin Bandel |
Setelah membaca
Mati Baik-Baik Kawan, saya membuat
catatan singkat soal buku itu. Saya mengirim pesan ke Aleida untuk menanggapi
catatan pendek itu. Kata Aleida waktu itu ke saya, “terima kasih, segera saya baca”. Pesan balasan Aleida membuat saya
merasa terburu-buru memintanya memberi tanggapan. Berbagai macam hal melintas
di kepala, yang jelas saya merasa belum mampu memberi tanggapan sastra, tetapi
iktikad untuk belajar selalu menjadi dalih untuk melakukan itu.
Tidak lama,
Aleida mengirim pesan balasan bernada formal yang begitu santun serta
apresiatif. “Fauzan yang baik, tinjauanmu
bagus, berupaya mendalam, aku tak layak menanggapi, kecuali bahagia karena
dipandang dengan mata dan hati. Salam, jumpa”. Jujur saja, saya merasa Aleida
telah membagi kekuatan yang penting soal belajar. Pesan balasan Aleida pada
saat itu mungkin tak sepenuhnya menggambarkan kondisi objektif, tetapi sangat
berpotensi memberi kesempatan sebuah dunia baru berkembang. Bagi saya, itu
seperti memberi kesempatan pada tunas untuk tumbuh lebih baik, lebih cepat
belajar bagaimana caranya menuju horison Matahari yang tampak kekal.
Suatu hari
saat diskusi dan bedah buku Mati
Baik-Baik Kawan, Aleida berkata “Anak muda zaman sekarang tidak bodoh. Mereka
pada umumnya lebih pintar. Makanya politik melarang-larang dalam belajar itu
tak pernah efektif”. Saya menangkap sorot mata yang optimis dari Aleida. Mantan
wartawan Harian Rakjat itu kemudian dengan nada yang lembut berkata, “mari kita
sama-sama belajar, kita butuh manusia yang kuat”. Katrin pada hari itu turut
menjadi pembedah Mati Baik-Baik Kawan juga
berujar, “buku ini [Mati Baik-Baik Kawan]
akan jadi bahan yang bagus untuk belajar soal dimensi-dimensi sejarah Indonesia”.
*Fauzan Anwar Sandiah
No comments:
Post a Comment