Thursday 29 October 2015

Masjid Organik, Bagaimana Tempat Ibadah Menangani Persoalan Ekologi?

David Efendi, M.A, M.A.
Pegiat literasi di RumahBaca Komunitas

“...banyak komunitas agama yang ragu dalam memasang sumber-sumber energi terbarukan di tempat ibadah, atau mengambil sikap kuat terkait perubahan iklim.”

Penggalan kalimat di atas merupakan artikel yang dirilis oleh VoA Indonesia sebulan lalu. Ulasan yang berdimensi multi-negara ini hendak mengirimkan pesan bahwa masih lemahnya kontribusi agamawan dan lembaga agama dalam upaya mencari solusi terhadap persoalan-persoalan lingkungan global. Salah satu yang paling krusial hari ini adalah mengenai perubahan iklim dan pemasnasan global yang ditandai dengan hadirnya bencana ekologis yang beruntun mulai banjir, gempa bumi, kebakaran hutan, dan kegagalan teknologi nuklir. Di dalam artikel tersebut, ada apresiasi positif mengenai semakin responsifnya kelompok agama dalam memberikan reaksi terhadap persoalan ekologis walau masih terkesan lamban. Banyak harapan dari masyarakat, kaum agamawan memperkuat peran emansipatif dan preventifnya dalam mengurangi persoalan-persoalan degradasi lingkungan hidup.

Dalam artikel ini, penulis hendak mendiskusikan gagasan dan praktik ideal bagaimana masjid sebagai institusi agama Islam yang mempunyai infrastruktur dan fasilitas memadai untuk melakukan langkah nyata menghadang bencana ekologis. Gerakan islam yang memberikan kontributif terhadap pencegahan bencana lingkungan merupakan gerakan islam progresif yang perlu ditumbuhkembangkan di Indonesia. Hal ini sangat penting karena ‘pra-kondisi’ lingkungan sudah menunggu respon tepat oleh kaum agamawan dan aktifis gerakan islam. Taruhlah misal, persoalan sampah di kota, pendangkalan sungai, pencemaran air, pemborosan air tanah, kerusakan hutan, hilangnya beragam spisies tumbuhan dan binatang yang berdampak pada ekosistem secara keseluruhan. Keadaan ini merupakan input yang akan memantik untuk menemukan cara-cara cerdas keluar dari lingkaran setan bencana ekologi.

Memposisikan peran organisasi lembaga keagamaan  menjadi suatu keniscayaan hari ini. Sebagai gagasan tertulis misalnya kita dapat melihat subyek organisasi bernama masjid. Masjid merupakan institusi agama islam sebagai tempat ibadah yang juga mempunyai peran sosial-budaya dan dalam banyak aspek juga menjadi sarana pendidikan politik bagi jamaahnya. Peran-peran sosial keagamaan masjid merupakan peran yang sudah dapat dikategorikan sebagai fungsi konvensional masjid. Sementara fungsi ekologis dari masjid merupakan fungsi yang sifatnya kebaruan yang perlu diperkuat dengan reformasi paradigmatik atau filosofis, preventif dan pembangunan praktik-praktik kegiatan yang berdimensi pro-lingkungan atau istilahnya eco-friendly.

Salah satu komunitas muslim di Amerika telah memberikan ilustrasi menarik bagaimana islam menjadi agama hijau (Abdul-Matin, 2008). Dalam level filosofi misalnya dijelaskan bahwa banyak sekali ayat-ayat dalam al-quran yang mengajarkan ummatnya untuk menjaga kelestarian alam dan juga tidak berbuat kerusakan. Banyaknya human error atau human-made disaster yang ada hari ini juga sudah lebih dari seribu tahun lalu diingatkan dalam al-quran. Jumlah “ayat-ayat ekologis’ cukup banyak jika dibaca di sana sehingga islam sendiri sebenarnya adalah agama yang tidak ramah terhadap kejahatan kapitalis dan korporasi perusak lingkungan. Hal ini memperlihatkan bahwa peran preventif ummat islam dalam urusan ekologi telah diperintahkan sebagai kewajiban. 

Kedua, mencegah kerusakan itu jauh lebih baik dari pada mengembalikan atau memperbaiki kerusakan sehingga kesadaran akan kewajiban pencegahan ini mutlak harus menjadi program atau kegiatan lembaga keagamaan islam. Pengetahuan akan memudarnya ‘martabat alam’ harus pula menjadi penggetahuan jamaah islam untuk menjadi common sense sekaligus mengidentifikasi langkah-langka strategis yang perlu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan fiqh atau ibadah tidak boleh dipisahkan dalam realitas hidup jamaah sehingga jamaah merasa dekat dengan alam dan lingkungan serta memberikan kontribusi bagi kelestariannya.

Terakhir, salah satu inspirasi dari praktik ramah lingkungan di sana adalah bagaimana masjid melakukan penghematan dan pemanfaatan air dengan maksimalisasi kegunaan air bekas air wudhu serta penghematan listrik. Eksistensi masjid di Indonesia yang jumlahnya ratusan ribu baik yang berada di kota besar sampai pelosok desa pasti tterdapat komunitas yang mengelola keberadaannya. Adanya persoalan lingkungan seperti banjir sampah, banjir, debu, musnahnya spesies tumbuhan dan ketersediaan tanaman sayuran dan obat yang semakin tergantung pada impor adalah sedikit persoalan yang sebenarnya kelompok islam atau jamaah masjid dapat memberikan kontribusi. Hampir semua masjid mempunyai halaman, mempunyai sumberdaya manusia yang dpaat dikelola secara sinergis untuk menghasilkan beragam produk yang dapat memenuhi kebutuhan jamaahnyya atau pasar lokal.

Masjid dengan pembaharuan peran non-konvensional ini juga jika dilakukan massif maka masjid sebagai institusi agama secara pelan tapi pasti telah memberikan kontribusi bagi pencegahan pemanasan global dan pengurangan resiko perubahan iklim dengan pendekatan 3R: reduce, Reuse, dan rescyle. Selain itu juga dilengkapi dengan produksi tanaman yang menghasilkan sumber kehidupan berkelanjutan ( sustainable).

Dengan demikian, ribuan Masjid kemudian mempunyai fungsi pemberdayaan ekonomi, menghasilkan uang, sekaligus mempunyai peran penyelamatan ekologis. Masyarakat juga akan berintrekasi ke masjid bukan hanya untuk kepentingan ibadah tetapi juga untuk menjawab kebutuhan bibit tanaman tertentu, belajar skill daur ulang, skill pertanian vertikultur atau hidrorganik, produksi energi listrik terbarukan, atau pembuatan pupuk organik, dan kegiatan edukasi lainnya. Fungsi ekologi sekaligus penggerak roda ekonomi ini merupakan terobosan penting zamana ini karena memang kelompok agamawan tidak boleh mengalinisasikan dirinya dari persoalan-persoalan lingkungan karena memang di dalam diri pemeluk agama islam, khususnya, melekat kewajiban ekologis sebagai bagian dari manifestasi ke-iman-annya. Dengan peran-peran ekologis sebagaiamana disebut diatas, tempat ibadah ummat islam ini dapat disematkan gelar padanya sebagai “Masjid organik.”

sumber: 
http://www.rumahbacakomunitas.org/2015/10/masjid-organik.html     

Wednesday 28 October 2015

Syaikh Subakir, Wali Songo Angkatan Pertama Ahli Ekologi

Oleh: KH. Shohibul Faroji Al-Robbani

Ketika Syaikh Subakir sampai di tanah Jawa, beliau bergelar Aji Saka. Beliau lahir di Persia, Iran. Memiliki spesialisasi di bidang Ekologi Islam. Beliau adalah cicit dari sahabat Nabi Muhammad Saw., yaitu Salman al-Farisi. Kemudian beliau menjadi utusan dari Sultan Muhammad I, sebagai salah satu dari anggota Wali Songo periode I.

Nasab lengkap beliau adalah Syaikh Subakir bin Abdullah bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abubakar bin Salman bin Hasyim bin Ahmad bin Badrudin bin Barkatullah bin Syafiq bin Badrudin bin Umar bin Ali bin Salman al-Farisi.

Syaikh Subakir berdakwah di daerah Magelang Jawa Tengah, dan menjadikan Gunung Tidar sebagai Pesantrennya.

Syaikh Subakir memiliki keahlian di bidang Ekologi Islam. Artinya, Syaikh Subakir sangat perduli terhadap lingkungan dan fenomena-fenomena alam semesta. Para ahli sejarah babad Tanah Jawa melakukan kesalahan yang sangat mendasar dan merusak aqidah dan syariat Islam, yaitu menyebut Syaikh Subakir sebagai ahli memasang tumbal untuk mengusir roh-roh jahat. Kesalahan sejarah terhadap Syaikh Subakir ini akhirnya melegenda dan menjadi cerita yang penuh dengan mitos, takhayyul dan khurafat.

Siapakah Syaikh Subakir yang sebenarnya? Syaikh Subakir adalah ahli ekologi Islam. Pemerhati lingkungan dan alam semesta. Sebagai pakar dalam bidang ekologi, beliau banyak sekali membaca fenomena-fenomena alam terutama bidang Mountainologi, yaitu ilmu tentang Gunung Berapi. Kalau dalam sains modern, beliaulah ahli Meteorologi dan Geofisika.

Karena pemahaman awam yang belum sampai kepada sains modern seperti ilmu ekologi, meteorologi dan geofisika ini, maka setiap Syaikh Subakir mengadakan penelitian intensif di beberapa Gunung Berapi, mereka orang awam berasumsi bahwa Syaikh Subakir sedang memasang tumbal atau jimat. Akhirnya opini masyarakat awam ini menyebar dari mulut satu ke mulut yang lain. Dan oleh dukun-dukun atau paranormal, cerita tersebut dibumbui dengan takhayyul dan khurafat.

Melihat kenyataan masyarakat yang awam tersebut, Syaikh Subakir berulang kali menerangkan kepada masyarakat, bahwa dirinya adalah peneliti lingkungan, dan mentadabburi alam semesta, agar kita bertambah takwa dan mensyukuri nikmat ini kepada Allah Swt. Namun sekali lagi kefanatikan masyarakat awam ini terhadap Syaikh Subakir membuat legenda yang dibumbui cerita-cerita yang mengarah kepada perbuatan syirik.

Akhirnya untuk melepaskan kefanatikan masyarakat umum terhadap Syaikh Subakir ini dan untuk menjaga aqidah umat Islam, maka pada tahun 1462 Masehi, Syaikh Subakir pulang ke Persia, Iran agar kefanatikan tersebut runtuh, dan masyarakat awam kembali kepada tauhid yang benar.

Dan selanjutnya posisi Syaikh Subakir digantikan oleh muridnya yang juga ahli di bidang Ekologi, Meteorologi dan Geofisika, serta ahli pertanian dan arsitek masjid yaitu Sunan Kalijaga. Syaikh Subakir meninggal di Persia Iran. Sedangkan yang ada di Indonesia dan diziarahi oleh masyarakat adalah situs-situs peninggalannya.

Ada beberapa karya Syaikh Subakir yang bergelar Aji Saka, yaitu:
  1. Beliau adalah penemu huruf Jawa, yang berbunyi: HA NA CA RA KA, DA TA SA WA LA, PA DHA JA YA NYA, MA GA BA THA NGA.
  2. Beliau pula yang memberi nama Jawa, yang diambil dari bahasa Suryani artinya tanah yang subur.
sumber:
http://pustakamuhibbin.blogspot.co.id/2013/07/syaikh-subakir-anggota-wali-songo.html 

Kesalehan Ekologi

Oleh: Muhbib Abdul Wahab

al-Insan ibn bi’atihi (Manusia itu anak lingkungannya). Pepatah Arab ini mengandung arti kita memiliki hubungan simbiosis-mutualisme dengan lingkungan hidup kita.

Di satu pihak kita dibesarkan dan dipengaruhi oleh lingkungan kita, dan di sisi lain kita juga berperan besar dalam merawat dan menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan demikian, kita harus bersikap harmoni terhadap lingkungan kita, dengan tidak mengeksploitasi dan merusaknya.

Dalam banyak hal, manusia cenderung lebih gampang memanfaatkan dan merusak lingkungan hidup, daripada menanam dan menjaga kelestariannya.

Karena membendung nafsu serakah untuk mengeksploitasi alam itu jauh lebih sulit daripada menumbuhkan kesadaran dan kesalehan ekologis.

Kecerdasan lingkungan (environmental quotion) bangsa kita idealnya terus meningkat, karena hampir setiap saat kita dihadapkan kepada aneka bencana alam.

Kita akan semakin cerdas lingkungan jika selalu mengambil pelajaran dan hikmah dari banjir bandang, banjir rob, tanah longsor, tsunami, kekeringan berkepanjangan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, kesadaran untuk merawat dan tidak menebang pohon sembarangan juga perlu dikampanyekan dan disosialisasikan.

Sebaliknya, gerakan menanam pohon dan menghijaukan lingkungan (reboisasi) harus mendapat respon positif dari semua pihak.

Dalam hal ini, Nabi SAW pernah melarang umatnya melakukan penebangan pohon, lebih-lebih pohon itu berfungsi sebagai tempat berteduh manusia atau hewan.

Rasulullah SAW pernah melarang menebang pohon di tanah gurun yang menjadi tempat berteduh manusia atau hewan, dan menganggapnya sebagai arogansi dan aniaya.” (HR. Abu Dawud).   

Sejalan dengan itu, pemanfaatan lahan produktif untuk bercocok tanam, bertani, dan peningkatan produksi bahan pangan merupakan perintah agama.

Artinya, dalam rangka pemeliharaan lingkungan, kita dilarang untuk menelantarkan lahan produktif agar memberi nilai manfaat bagi umat manusia.

Jabir ibn Abdullah ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu ada beberapa orang memiliki tanah lebih, lalu mereka berkata: “Lebih baik kami sewakan dengan hasilnya sepertiga, seperempat atau separuh. Tiba-tiba Nabi Saw bersabda: Siapa yang memiliki tanah, maka hendaknya ditanami atau diberikan kepada saudaranya, jika tidak diberikan, maka hendaklah ditahan saja.”  (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, menanam pohon, tanaman, atau tumbuhan yang memberi nilai manfaat sangatlah  penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk lain.
Bahkan, jika tanaman itu dimakan burung,  binatang, atau manusia, maka yang dimakan itu dinilai sebagai sedekah; dan sang pemilik tanaman itu mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Hadis berikut juga menunjukkan pentingnya gerakan pemanfaatan lahan tidur (yang tidak ditanami) menjadi lahan produktif.

Dengan memanfaatkan lahan menjadi produktif, kelestarian lingkungan menjadi terjaga dan memberi nilai tambah bagi semua.

Rasulullah SAW bersabda: Tiada seorang Muslim yang menanam tanaman kemudian dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, melainkan tercatat untuknya sebagai sedekah. (HR. al-Bukhari Muslim)

Dengan demikian, penelantaran lahan atau tanah yang produktif sama artinya tidak memedulikan kelestarian lingkungan.

Dalam pelestarian lingkungan, prinsip utama yang harus dipedomani Muslim adalah prinsip kemanfaatan, sesuai dengan hadits Nabi: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain.” (HR al-Thabarani).

Selain itu, prinsip keberkahan, kasih sayang, dan ampunan dari Allah SWT juga merupakan prinsip sosial yang perlu diyakini dan diaplikasikan dalam pemeliharaan lingkungan.

Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda: “Ada golongan hamba yang pahalanya terus mengalir, sementara ia telah berada dalam kubur setelah kematiannya, yaitu: orang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam pohon, membangun masjid, mewariskan mushhaf, dan meninggalkan anak yang selalu memintakan ampun orang tuanya setelah kematiannya.” (HR. al-Baihaqi, Ibn Abi Dawud, al-Bazzar, dan ad-Dailami).

Dalam hadits lain, Nabi SAW pernah berpesan kepada para pasukannya ketika hendak pergi menuju medan perang untuk tidak: pertama, membuang kotoran (sampah) di tempat aliran sungai, kedua, menebang pohon tanpa alasan, dan ketiga buang air kecil atau air besar (BAB) di bawah pohon yang biasa dilewati atau digunakan manusia berteduh.

Jadi, pelesatarian lingkungan itu sangat tergantung pada faktor manusianya. Reboisasi tidak akan berhasil jika hutan atau tanaman selalu digunduli secara ilegal.

Optimalisasi fungsi lingkungan alam, lingkungan hidup menjadi sangat penting karena ekosistem ini dapat menentukan kualitas hidup kita.

Jika lingkungan kita rusak (tidak sehat, tidak bersih, tidak indah, tidak nyaman), maka kualitas hidup  menjadi terganggu dan tidak nyaman.

Dengan demikian, pendidikan lingkungan merupakan bagian dari pendidikan Islam yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, mulai dari diri sendiri hingga para petinggi negeri ini agar berbagai bencana dan musibah dapat dicegah dan dihindari.

Esensi kesalehan ekologis adalah menjaga, melestarikan, mengelola, memperbaiki, dan mendayagunakan lingkungan demi kesejahteraan hidup manusia sekaligus memberikan kenyamanan untuk beribadah dan mewujudkan masa depan yang lebih baik.

Dengan memiliki kesalehan ekologis,  kita hendaknya semakin ramah dan harmoni terhadap lingkungan sekitar kita, karena kita juga yang akan merasakan akibatnya jika kita tidak bersikap saleh terhadapnya.

sumber: 
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/03/07/n211zv-kesalehan-ekologi

Tuesday 27 October 2015

Mengapa Konseling Untuk Kelompok Marjinal Penting?

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Salah-satu isu penting di dalam kajian konseling adalah berkenaan dengan pentingnya konselor berperan pada posisi advokatif. Konselor dalam posisi ini menegaskan sebuah paradigma baru yang bergerak dari “posisi netral” menuju ke “posisi berpihak”. Konselor tidak lagi sebuah profesi yang dilakukan dibalik meja atau menjaga jarak dengan persoalan ril kehidupan sehari-hari.

Kelompok Marjinal merupakan sebuah istilah untuk menggambar posisi sekelompok orang yang menjadi sub-ordinat dalam kelas sosial, atau kategori psikologis maupun antropologis. Kelompok marjinal itu antara lain, buruh, orang dhuafa, orang fakir, waria, anak jalanan, buruh anak, masyarakat adat, lansia miskin, dan lain sebagainya.

Konselor bagi kelompok marjinal (selanjutnya disebut konseling marjinal) tidak dapat dibayangkan berasal dari kelompok profesional BK di lingkungan sekolah formal. Meskipun tidak menutup kemungkinan konselor untuk sekolah khusus dapat dikategorikan bagi kelompok marjinal, sebab pada hakikatnya kelompok marjinal individu-individu lemah yang “dilemahkan” secara sistemik. Kelompok ini misalnya adalah buruh wanita yang mengalami pelecehan seksual, pemutusan hubungan kerja sepihak, atau korban kekerasan rumah tangga.

Persoalan kelompok marjinal ini tidak dapat diatas melalui pendekatan psikologi, termasuk psikologi positif yang mencoba mengajak individu ke dalam pemaknaan kehidupan. Problematika kelompok marjinal tidak hanya pada tataran individu tetapi merupakan kontradiksi dari sistem sosial yang melingkupi dirinya. Kebijakan politik, budaya, ekonomi dapat mempengaruhi kebahagiaan individu dalam kategori kelompok marjinal lebih tinggi daripada individu dalam kelompok sosial kelas menengah atau menengah ke atas.

Kita akan menganalisis perbandingan problem antara masyarakat kelas bawah dan kelas menengah atas.

Perbandingan Problem berdasarkan Kelas Sosial
Kelas Menengah/ Atas
Kelas Bawah
Persoalan karir di kantor atau di rumah
Penggusuran tanah secara semena-mena
Berhubungan dengan kesulitan memilih sekolah yang cocok dengan minat dan bakat anak
Kesulitan membiayai sekolah anak
Berkonflik dengan teman sesama sosialita
Menjadi objek konflik negara
Berhubungan dengan pola diet
Kesulitan makan karena kurs dollar dan gaji tidak seimbang. Jika kurs dollar naik 40%, itu sama saja dengan memotong nilai beli sebanyak 40%.
Dituntut atas pelanggaran lalu lintas
Dituntut atas “pengambilan” kayu bakar di kebun sendiri
Diasingkan dari pergaulan karena persoalan adaptasi
Diasingkan dari pergaulan sosial karena status sosial
Persoalan pilihan food combine
Persoalan what combine food? Whatever!

Konseling Marjinal yang dimaksud dalam tulisan ini adalah proses fasilitasi atau proses advokasi kepentingan kelompok marjinal. konselor dengan demikian harus merupakan sosok yang memiliki analisis kritikal terhadap realitas sosial. Konselor tidak dapat memberikan penghakiman yang sama antara mereka yang terpaksa berbuat salah karena sistem yang melemahkan dan mereka yang berbuat salah sekaligus melemahkan sistem.

Konselor dalam konseling marjinal berperan sebagai sosok yang mengadvokasi kepentingan kelompok marjinal melalui sejumlah cara. Misalnya, dengan mengampanyekan kepentingan kelompok marjinal, mendampingi atau memfasilitasi perkara yang dialami oleh konseli.

Konselor dan Komunitas

Konseling marjinal sebagai sebuah upaya baru sebenarnya membutuhkan jenis setting institusi yang baru. konseling marjinal dapat dikembangkan lebih baik jika dilakukan dalam komunitas. Konselor dengan demikian dapat mengerahkan seluruh kekuatannya bagi pembelaan hak-hak kelompok marjinal melalui komunitas. Jika di dalam institusi formal, konselor tidak jarang mengalami benturan-benturan administratif yang sebenarnya kurang signfikan bagi proses fasilitasi masalah konseli. Justru, administrasi seringkali melampaui kemanusiaan yang diupayakan konselor.

Konselor melalui komunitas dapat mengembangkan sejumlah program pendampingan. Konselor dapat mengadakan berbagai kegiatan yang pada dasarnya berorientasi untuk mengkampanyekan anti-kekerasan terhadap perempuan, anti-kekerasan terhadap anak, atau perjuangan buruh wanita dari diskriminasi dan lain sebagainya. Termasuk juga konselor dapat menjalankan program pendidikan alternatif bagi anak-anak, remaja, dewasa, atau lansia. Program-program itu memang menyiratkan konselor untuk keluar dari kredo “counseling as face-to-face” dan menuju sebagai salah-satu jalan menjembatani kemanusiaan.


Modul Bimbingan dan Konseling Islam Layanan Ekologi

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Modul BKI Layanan Ekologis untuk Mengatasi Self-Esteem Siswa (selanjutnya disebut Modul BK Ekologis) adalah suatu bentuk panduan yang berkenaan dengan proses fasilitasi konselor terhadap siswa. Layanan ekologis merupakan salah-satu bentuk bantuan yang dilakukan oleh konselor terhadap konseli dengan memanfaatkan perspektif ekologi. Di dalam perspektif ekologi, perkembangan manusia merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam (lingkungan). Dalam banyak studi, peran lingkungan terhadap kesehatan, kebahagiaan (well-being), kesejahteraan, serta kapasitas kolektif merupakan faktor penting.

Perspektif ekologi merupakan alternatif pemahaman yang menjelaskan bahwa meskipun struktur sosial dan psikososial mempengaruhi berbagai macam gangguan individu, faktor ekologi juga merupakan suatu faktor yang penting. Termasuk di dalamnya bagaimana kondisi lingkungan berpengaruh terhadap tingkat kebahagiaan atau strategi coping individu. Perspektif ekologi melihat bahwa dinamika individu dibentuk dari serangkaian interaksinya dengan alam.

Perspektif ekologi dilakukan oleh konselor dengan beberapa asumsi dasar. Pertama, pemahaman konselor terhadap konseli harus berasal dari konteks kehidupan sehari-hari konseli. Kedua, dalam upaya memahami konseli, konselor harus melihatnya sebagai akumulasi dari interaksi antara konseli sebagai manusia dan alam (lingkungan) sebagai bagian penting yang mempengaruhi proses pertumbuhan, perkembangan, dan perubahan konseli. Ketiga, konselor harus memahami konseli sebagai subjek yang dibentuk oleh konteks ekologi tertentu. Secara sederhana, konseling ekologi adalah mengindentifikasi bagaimana lingkungan hidup konseli mempengaruhi hidupnya.  Konseling ekologi mensyaratkan sebuah pemahaman yang utuh dan lengkap terkait dengan kondisi lingkungan konseli. 

Penggunaan perspektif ekologi dalam konseling pada umumnya dapat digunakan untuk memfasilitasi konseli dalam topik self-esteem. Akan tetapi, salah-satu hal penting konseling ekologis terletak pada fungsi pengembangannya. Konseling ekologis dapat dilakukan untuk kelompok sosial yang beraneka ragam karena memiliki dampak yang luas. Sebab, konseling ekologis tidak hanya digunakan untuk individu, melainkan juga untuk keberlanjutan lingkungan hidup sehari-hari konseli.

Penerapan perspektif ekologi di dalam konseling dengan demikian dilakukan melalui dua hal, yakni (1) penggunaannya di dalam pendekatan konseling, serta (2) penggunaannya di dalam program-program berbasis praktik ekologi. Dalam modul ini, cara terakhirlah yang digunakan, yakni dengan mengembangkan suatu program layanan BK yang menggunakan praktik ekologi. Program layanan BK berbasis praktik ekologi tersebut dapat diistilahkan dengan layanan ekologi.

Layanan ekologi merupakan bagian dari pengembangan program terapi berbasiskan pembelajaran lingkungan yang telah berkembang dengan berbagai variasi, misalnya dengan mengajarkan siswa berinteraksi dengan hewan sebagai bagian dari proses terapi yang lazim dikenal dengan Animal-Assisted Therapy. Dalam konteks konseling, program berbasis lingkungan (ecology-based program) juga merupakan salah-satu varian, yang menggunakan lingkungan sebagai bagian dari proses pengembangan individu. Program berbasis lingkungan memanfaatkan perspektif ekologi untuk membantu siswa mencapai kematangan individu, sosial, dan spiritual dengan cara yang berbeda.



*contoh Modul Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) Layanan Ekologi untuk Pengembangan Self-Esteem siswa, silahkan kirim permintaan ke email fauzansandiah@gmail.com 

Monday 26 October 2015

Yuk Hidup Ekologis

Apa arti hidup ekologis? Mengapa hidup ekologis perlu dilakukan? bagaimana menciptakan kehidupan yang ekologis?. Tiga pertanyaan mendasar itu akan dijawab secara sederhana dan mudah.

Ekologi merupakan istilah singkatan yang terdiri atas dua kata, eco yang berarti “rumah tangga” dan logos yang berarti “makhluk hidup” meskipun dalam beberapa kata sering diterjemahkan sebagai “ilmu”.

Hidup ekologis berarti rangkaian pemahaman, perasaan, dan perilaku manusia dalam praktik kehidupan sehari-hari yang menyatu dengan alam lingkungan. Hidup ekologis dibutuhkan sebab kelangsungan kehidupan di muka bumi terancam oleh rusaknya ekosistem. Kerusakan ekologi tersebut disebabkan oleh perbuatan manusia yang mengeksploitasi alam. Limbah industri, deforestisasi, penambangan yang eksploitatif, serta sejumlah alasan lain telah menjadi penyebab kerusakan lingkungan.

Dampak dari kerusakan lingkungan itu dapat dialami melalui kejadian sehari-hari. Intensitas paparan radiasi yang meningkat karena penipisan ozon, perubahan cuaca yang tidak terprediksi, suhu bumi yang meningkat, punahnya flora dan fauna, persediaan air bersih yang berkurang, dan masih banyak lagi.

Cara hidup ekologis akan membantu meminimalisir kerusakan ekologis. 
  1. Menanam tumbuhan, 
  2. Menjaga agar tanah tidak terkontaminasi dengan kimia non-organik (jangan buang sampah plastik sembarangan!), 
  3. Menyediakan areal resapan air, 
  4. Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, 
  5. Mengadvokasi supaya pabrik bertanggungjawab atas limbah yang dihasilkannya, 
  6. Memisahkan sampah plastik dan sampah organik. 
  7. Menyiram air beras ke tanah, 
  8. Menampung sisa air wudhu untuk keperluan pembasahan tanah, 
  9. ...................... dan masih banyak lagi.
Kampanye hidup ekologis sangat urgen untuk dilakukan oleh siapa saja. Tidak perduli latarbelakang dan usia seseorang. Anak-anak, remaja, orang dewasa, atau lansia wajib menjalankan kehidupan ekologis. PNS, agamawan, militer, polisi, politisi, entrepreneur, pelajar wajib menjalankan kehidupan ekologis.

@Fauzan Anwar Sandiah

Thursday 22 October 2015

Download Buku Islam Hijau (Green Deen)

This Deen Called Islam

Most people are aware of a global religion called Islam. Islam is a Deen — Arabic for a religion, a path, a way of life. Islam means submission to the will of the One God, Allah. Allah is the Arabic word for God, just as the Spanish word for God is Dios. Allah is the God of Judaism, Christianity, and Islam. By focusing on One Creator, Islam allows humankind the opportunity to be one and to have a common purpose. Muslims believe that Islam is the final expression of the same message that came earlier to the Jews, the Christians, and other monotheistic believers. For Muslims, the revelations prior to the Qur’an are essentially part of a larger canon of understanding. This is why, in Arabic, Christians and Jews are referred to as Ah-lal-Kitab, “people of the book.” Islam recognizes the existence and the legitimacy of other spiritual paths and teaches mutual understanding, respect, and focus on similarities as a means to bring people together, not push them apart. (Ibrahim Abdul Matin)

Download Buku Teologi Lingkungan Hidup

Kata Pengantar Buku Teologi Lingkungan Hidup
Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2011-2015

Tanpa kita sadari, ternyata bumi yang kita diami saat ini sedang sakit. Sakitnya bumi ini merupakan akibat langsung dan tidak langsung perbuatan manusia. Manusia modern dewasa ini sebenarnya sedang melakukan perusakan secara perlahan akan tetapi pasti terhadap sistem lingkungan yang menopang kehidupannya. Indikator terjadinya kerusakan lingkungan sudah sangat jelas, seperti menipisnya lapisan ozon, pemanasan global, dan perubahan iklim, banjir tahunan yang semakin besar dan meluas, erosi dan pendangkalan sungai dan danau, tanah longsor, krisis (kelangkaan) air yang berakibat terjadinya kelaparan dan mewabahnya berbagai penyakit.

Berbagai kasus kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup global maupun nasional tersebut, jika dicermati sebenarnya berakar dari pandangan dan perilaku manusia terhadap alam lingkungannya. Perilaku manusia yang kurang kesadaran dan tanggungjawabnya terhadap lingkungannya telah mengakibatkan terjadinya berbagai macam kerusakan di muka bumi. Disamping itu, orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik juga sangat berpengaruh.

Kerusakan atau krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini hanya bisa diatasi dengan merubah secara fundamental dan radikal cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam lingkungannya. Tindakan praktis dan teknis penyelamatan lingkungan dengan bantuan sains dan teknologi ternyata bukan merupakan solusi yang tepat. Yang dibutuhkan adalah perubahan perilaku dan gaya hidup yang bukan hanya orang perorang, akan tetapi harus menjadi budaya masyarakat secara luas. Sadar lingkungan dan upaya penyelamatan lingkungan harus menjadi kesadaran bersama dan menjadi gerakan bersama secara nasional dan global. Karena tanpa kesadaran dan gerakan bersama, bumi kita yang kita tempati yang hanya satu ini benar-benar akan terancam, dan hal ini berarti juga ancaman bagi semua kehidupan di muka bumi ini termasuk manusia.

Atas dasar semangat untuk mengkampanyekan semangat merubah perilaku manusia dalam berhubungan alam dan lingkungannya inilah Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerjasama dengan Deputi VI Kementerian Lingkungan Hidup R.I menerbitkan ulang buku Teologi Lingkungan yang telah diterbitkan bersama pada tahun 2007. Buku ini ingin menjelaskan bagaimana sesungguhnya konsep hubungan manusia dengan alam, di mana perlindungan dan pemeliharaan alam merupakan kewajiban asasi manusia yang telah dipilh oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Terhadap alam manusia dituntut untuk mengembangkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap saling keterkaitan setiap komponen dan aspek kehidupan di alam, pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan persaudaraan semua makhluk. Konsep hubungan manusia dengan alam tersebut sebenarnya juga merupakan salah satu pilar dari sistem pusatnilai untuk mewujudkan nilai ajaran agama Islam. Tujuan tertinggi dari sistem pusat nilai ini adalah kemaslahatan dan kesejahteraan universal (seluruh makhluk).

Akhirnya, atas nama Pimpinan Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah mengucapkan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada Bapak Menteri Lingkungan Hidup R.I. beserta seluruh jajarannya atas kepercayaan dan kerjasamanya dengan Muhammadiyah dalam mengembangkan gerakan penyelamatan dan pengelolaan lingkungan. Tidak lupa kami menyatakan bahwa buku ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran demi perbaikan buku ini sangat diharapkan. Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua, dan meneguhkan hati kita bersama untuk tetap berjuang mengelola alam dan lingkungannya dengan baik dan benar sebagaimana telah diperintahkan oleh-Nya. Amien.

Yogyakarta, Agustus 2011


Muhjidin Mawardi dan Gatot Supangkat

Download Buku Teologi Lingkungan Hidup

Mencari Kebahagiaan Hidup dengan 10 Kecerdasan Ekologis dalam Al-Qur'an

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Kecerdasan Islam ekologis (ecology Islam Quotient) pada dasarnya adalah sebuah panduan yang mengajak manusia untuk sadar bahwa syarat awal untuk menjadi “orang-orang yang beriman” (mu’min) adalah pengakuan bahwa Allah Swt merupakan Tuhan ekosistem lingkungan yang harmonis. Allah Swt merupakan pencipta langit dan bumi, serta pengatur ekosistem yang menyerahkan amanah pengelolaan bumi kepada manusia.

Syarat pertama manusia dilepas ke muka bumi adalah perintah untuk mempelajari nama benda-benda. Nabi Adam dituntun oleh Allah untuk mengucapkan benda-benda. Perintah qalam untuk Nabi Adam, juga dilakukan kepada Nabi Muhammad dengan Iqra. Perintah Qalam sebab manusia harus memulai kesadaran baru, sedangkan perintah Iqra agar manusia mulai berbenah diri atas kebahagian yang hendak dicapainya.

  1. Surat al-Mu’min ayat 64: “Allah-lah yang menjadikan bumi untukmu sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentukmu lalu memperindah rupamu serta memberimu rezeki dari yang baik-baik. Demikianlah Allah, Tuhanmu, Mahasuci Allah Tuhan seluruh alam.”
  2. Surat al-An'am ayat 99 : "Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dari dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serua dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh pada demikian itu ada tanda-tanda (Kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”
  3. Surat al-An'am ayat 165: "Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.
  4. Surat al-An’am ayat 38: “Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami lupakan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.”
  5. Surat al-Qasas ayat 77: "...berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di Bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan."
  6. Surat al-Baqarah ayat 60: "...makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berbuat kerusakan.
  7. Surat ar-Rum ayat 41: "telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.."
  8. Surat al-Azhab ayat 72: "sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh."
  9. Surat an-Nahl ayat 65: "Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi yang demikian tu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)"
  10. Surat Qaf ayat 9: "Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen."

Sunday 18 October 2015

Seorang Juru Tulis Yang Kehilangan Buku (Mikrofiksi)

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Kadir, seorang juru tulis. Menyesal dan merana selama tiga hari, gara-gara bukunya jatuh. Seorang sahabat yang menangkap kesedihan menyarankannya untuk membeli buku yang sama.

“Buku itu sulit dicari, lagipula kau tak akan mendapatkan cerita yang serupa pada dua buku yang identik sekaliupun” kata Kadir.

Sang sahabat menyerah. Dia paham bahwa Kadir sang Juru Tulis susah ditebak jalan pikirannya, tapi mencoba mengira-ngira teori untuk menjelaskan argumen Kadir tadi.

Pertama, Kadir pasti terhubung dengan sejarah tertentu dengan buku itu. Kedua, buku itu menjadi sejarah tertentu bagi Kadir. Atau, yang ketiga, uang hasil profesi juru tulisnya terselip di antara halaman buku itu.

Sang Sahabat memikirkan lagi tiga teorinya. Tak puas, ia menanyai Kadir untuk memastikan.

Kadir menjawab, “Buku yang jatuh itu adalah hadiah darimu”. 

Wednesday 14 October 2015

7 Rukun Islam Ekologis; Cara Hidup Bahagia Ekologis dan Islami

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Islam pada dasarnya merupakan ajaran yang menawarkan konsep peningkatan kualitas hidup yang bertopang pada ajaran untuk mengikuti kebenaran. Termasuk di dalamnya adalah pengakuan bahwa Allah maha benar dan maha mulia sebab telah menciptakan alam semesta menurut aturannya tertentu.

Aturan itu telah menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, dan lingkungan hidup sebagai bagian dari ekosistem alam semesta. Oleh karena itu, Allah memerintahkan manusia menjadi khalifah fi al-ardh sebab fungsi manusia di alam semesta adalah menjaga, dan merawat lingkungan.

Setiap nabi, selalu punya tugas dan fungsi ekologis. Nabi Nuh, diperintahkan untuk menyelamatkan hewan, tumbuhan, dan manusia yang berbakti untuk Allah dari kekecauan yang ditimbulkan oleh sikap eksploitatif sekelompok manusia di zaman itu seperti mencemari air, membabat hutan karena keserakahan, dan memperbudak manusia.

Nabi Sulaiman, yang mampu berinteraksi dengan lingkungan, termasuk hewan-hewan. Nabi Sulaiman memperoleh informasi dari lingkungan tentang kejahatan-kejahatan manusia. Nabi Muhammad adalah seorang pengembala yang berkasih terhadap gembalaannya serta memerintahkan pengikutnya untuk menjaga perempuan, anak-anak, dan lingkungan sekalipun dalam masa perang.

Merawat dan menjaga lingkungan berfungsi bagi peningkatan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Berbanding dengan sikap eksploitatif manusia terhadap lingkungan dapat memicu kerugian bagi kehidupan manusia itu sendiri. Meretakkan alam berarti meretakkan manusia.

Tujuh rukun Islam Ekologis ala Rumah Baca Komunitas di bawah ini disusun dalam rangka kampanye ekoliterasi.

  1. Merawat alam adalah tugas manusia sebagai khalifah fi al-ardh
  2. Amal jariyah ekologis adalah aktivitas perawatan ekologi yang punya daya replikasi karena manfaat dan kegunaannya bagi alam semesta yang tak putus.
  3. Seorang hamba Allah yang baik adalah yang mampu menjaga alam sebagaimana dia menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia.
  4. Prinsip agama Islam menjelaskan tiga hal yang tak boleh dirusak; Perempuan, anak-anak, dan lingkungan.
  5. Memanfaatan air sisa wudhu untuk keperluan menjaga unsur hara tanah. caranya ialah dengan menampungnya untuk keperluan membasahi tanah kering atau tandus. di beberapa Masjid model seperti ini sudah dilakukan dalam rangka mengurangi dampak tanah kering akibat kemarau.
  6. Menjaga kualitas kristal air dengan pemanfaatan yang beradab, artinya digunakan untuk perihal yang bermanfaat, tak mubazir, dan digunakan untuk kepentingan banyak orang.
  7. Islam mengajarkan bahwa air, udara, dan tanah adalah wujud kasih sayang Allah terhadap manusia. Air, udara, dan tanah digunakan bebas oleh manusia untuk menopang kehidupannya. merawat air, udara, dan tanah berarti merawat kasih sayang Tuhan terhadap manusia, termasuk menjaganya dari proses eksploitasi dan komodifikasi.

Tuesday 13 October 2015

Pelaku-Pelaku Pandora

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Pemeritah yang akhir-akhir ini banyak menyerukan mulai terdengar kosong. Kalau itu ibarat sirup merah, mungkin hanya ginju. “Agar kita tidak membosankan, selain banyak bicara, bekerja juga harus bisa.” Begitu kata si Kasmir kepada Bonijan karena kesal dengan seruan pemerintah untuk “menjaga lingkungan” di koran. Kasmir, pria tua yang sehari-hari senang melucu dan bahagia. Pakaiannya hanya tiga pasang; satu untuk keperluan sholat, satu untuk keperluan ke sawah—yang juga merangkap pakaian sehari-hari, dan satunya lagi sebuah kaos pemberian kawannya. Tiga-tiganya sebenarnya tak berbeda. Baju keperluan sholat adalah koko yang diperolehnya dari hadiah seorang sanak yang kebetulan berkunjung sekitar dua tahun lalu. Warna sebenarnya putih polos, tetapi belakangan ini sedikit krem.

Kasmir bukan pria tua yang miskin. Dia sebenarnya punya sedikit tanah, sebenarnya “banyak” kalau tak dirampas untuk keperluan area latihan militer. Musababnya pun dia tak ingat, waktu itu dia cuma dibilang “ini tanah sejak zaman dulu udah dipake untuk kamp tentara pak” oleh seorang anak muda berbadan tegap. Dia tak tahu menahu tentang kemiliteran. Apa pangkatnya, kontribusinya, serta mengapa mereka penting. Dia sama sekali tak tahu. Sepanjang yang dia tahu, militer mengambil tanahnya yang indah mencium ombak karena nyaris tepat di pesisir pantai.

Pasca pengambilan tanah itu, kehidupan Kasmir biasa saja. Meskipun ada perasaan ganjil dalam hati. Coba kalau Salim masih hidup, tentu dia bisa jadi teman curhat pikirnya. Salim, teman Kasmir tiga bulan lalu ke Jakarta bersama rekan-rekan yang lain. Mereka mengadu soal tanah yang dirampas untuk keperluan tambang. Salim adalah warga desa sebelah yang konon menyimpan kekayaan tambang di dasar bumi. Mengingat Salim, air mata Kasmir menetes. Diri periangnya tiba-tiba melankolis. “Oh Salim, coba para preman itu ngak bunuh dirimu. Kowe kuwi orang biasa wae kok dipateni” desah Kasmir. Bonijan yang sedari tadi menemai Kasmir minum kopi melihat air mata menetes dari Kasmir. Rasanya, Bonijan ingin terkekeh, sebab muka Kasmir sama sekali tak pantas untuk air mata. Wajah kotaknya lebih mirip seorang berhati keras.

Salim sebulan yang lalu meregang nyawanya. Si Topik sama Polim, dua preman desa menggebukinya sampai mati. Kasmir tak tahu kenapa dua preman itu bisa demikian kejam. “Wong karo wong kok iso main bunuh-bunuhan, koyok rak bakal mati wae” Lagi-lagi batinnya bergejolak tanya. Bonijan yang tak sabar menunggu Kasmir kelamaan merenung dan bersedih ikut angkat bicara.

“Pak, sebenarnya ini ada masalah apa?”. Kasmir menata Bonijan, pikirannya justru makin melayang pada suatu masa depan yang tak akan indah untuk anak muda seperti Bonijan. Dia berpikir sejenak, meskipun dia bingung akan bicara pesimis atau optimis.

“Ya, nanti juga kamu bakalan sadar, saya sendiri belum tahu ini rasanya gimana”. Kasmir, meneguk kopinya sedikit. Meski panas tak lagi bertuah di air. Kasmir benar-benar seorang tua yang tidak banyak tahu harus bilang apa jika ditanya. Satu-satunya yang disadarinya adalah bahwa, setelah si Salim wafat, beberapa tanah tiba-tiba sudah dipalang oleh tentaran. Anak-anak muda itu, yang berpakai loreng dan bertatap arogan tak mampu dilawannya.

Dia mengingat waktu seorang anak muda berpakaian loreng hijau itu mencoba menggertaknya, “kalau bapak macam-macam kita ngak segan-segan. Ini soal pertahanan negara pak. Negara sekarang sedang gawat.” Kasmir saat itu mengkerutkan dahinya. Entah harus bangga patriotis atau melemah meringgis. Itu tanahnya, kalau untuk kebutuhan negara, mengapa tidak minta baik-baik?. Lagipula, Kasmir tak tahu apa itu negara, yang dia mengerti bahwa ada seseorang yang disebut sebagai presiden, nah dia itu kepala Negara. Selebihnya dia tak merasakan efeknya.

Waktu dia nyaris mati karena terserang DBD, dia hanya minta tolong ke Mira seorang anak tetangga untuk memanggilkan mantri. Dia sulit menentukan mana yang telah menolongnya di masa gawat itu. Mira, atau Negara. Dia tambah bingung. Bonijan menunggu Kasmir lagi. Dan malam yang kian gerah itu seperti menjadi saksi kerumitan. Sebuah pandora yang tak jelas pelakunya.

Bonijan, “Pak, gimana pak?”. Kasmir bingung lagi.

Monday 12 October 2015

Soal Fasilitator dan Pendekatan Partisipatoris Bagi Anak-Anak (Catatan Fasilitator Sekolah Literasi #1)

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Belakangan ini baik gerakan sosial, atau lembaga pendidikan formal mulai mengenai istilah “fasilitator”. Istilah ini sebenarnya merupakan metamorfosa penting dari model pedagogi kritis yang berkembang di Indonesia pada tahun 90-an. Tetapi pada masa itu sebenarnya hanya terdapat dua jenis pemaknaan terkait dengan istilah fasilitator. Pertama fasilitator sebagai seorang yang membawa partisipan untuk masuk ke diskursus seputar realitas ekonomi-politik yang bertujuan membangun basis massa “berkesadaran”. Kedua adalah fasilitator sebagai bagian dari proses dialektika. Makna pertama banyak digunakan dalam model pendidikan alternatif yang dikembangkan oleh gerakan sosial di Indonesia. Sedangkan makna kedua, meskipun telah menjadi kredo dari model pendidikan partisipatoris, dalam kenyataan lapangan adalah yang paling sulit dipraktikkan.

Sewaktu merancang Sekolah Literasi pada pertengahan bulan Agustus, Abdullah menjelaskan kepada saya bawah tujuan utama Sekolah Literasi adalah sebagai “sarana distribusi nilai-nilai”. Menurut Abdullah nilai-nilai emansipatif RBK harus dibagi melalui suatu forum diskusi yang “tematis dan sistematis”. Gagasan itu sepenuhnya berangkat dari kegelisahannya atas distribusi nilai-nilai emansipatif seperti apresiatif, liberatif, dan ekologis serta humanis yang dalam forum-forum diskusi sering menjadi basis aksiologis pegiat RBK. Tentu saja saya tertarik dengan gagasan tersebut dan mengusulkan kepada Abdullah agar tetap ada penekanan partisipatoris dalam proses pendidikan.

Pokok Tentang Pendidikan Partisipatoris

Kenyataanya menerapkan proses yang partisipatif dan menghindari dominasi adalah perihal yang sangat menantang dalam setting pendidikan model apapun. Sewaktu menjadi fasilitator untuk orientasi awal dan materi dinamika gerakan saya menyadari beberapa hal yang harus direfleksikan terkait dengan penerapan model atau pendekatan partisipatoris.

Pertama, fasilitator harus memegang prinsip dasar yang menyatakan relasi antar subjek pertama-tama harus berangkat dari kesetaraan. Artinya, proses partisipatoris dan egaliter hanya dapat dicapai jika fasilitator pertama-tama berangkat dari asumsi bahwa dirinya dan partisipan adalah setara. Masing-masing partisipan termasuk fasilitator memainkan peranannya masing-masing. Partisipan merupakan subjek yang hidup dalam pengalaman dan persentuhan objektivitasnya sendiri. Sedangkan fasilitator memegan peranan sebagai pihak yang mengapresiasi segala basis gagasan subjek, termasuk kejadian, peristiwa, hingga kepercayaannya.

Kedua, fasilitator merupakan pihak yang menunjukkan bahwa setiap subjek memiliki persentuhan kekaryaannya masing-masing. Fasilitator menunjukkan bahwa setiap subjek memproduksi ataupun mereproduksi jenis kebudayaan secara unik. Tidak ada subjek yang tidak menghasilkan apapun dalam relasinya dengan kehidupan. Fasilitator jika diperlukan harus menunjukkan bahwa “kebudayaan” setiap subjek itu niscaya eksis. Dalam hal ini, fasilitator harus mampu menjadi pihak yang turut memberi afirmasi mengenai eksistensi kebudayaan pada aras otonomi subjek. Persoalan di sini harus dilihat dalam bahasa yang digunakan oleh Freire sebagai apresiasi.

Ketiga, peran sesungguhnya fasilitator tanpa menegasikan kehadiran sosial subjek yang lain adalah memungkinkan sebuah kesadaran baru bahwa diri setiap subjek adalah politis sehingga dapat menjalankan transformatif. Dalam hal ini, fasilitator bukan menjadi pihak satu-satunya yang menyadari realitas, dia hanya berperan sama penting dan setaranya dengan partisipan lain untuk mengemukakan gagasannya bahwa transformasi dari setiap kejadian, kebiasaan, dan pemikiran subjek atau partisipan mampu membuka dinamika baru.

Tiga hal di atas, saya ungkapkan kepada Abdullah di sela-sela evaluasi Sekolah Literasi. Mengingat dalam konteks tertentu Sekolah Literasi ini pun juga merupakan proses belajar bersama maka selalu ada ruang terbuka untuk membicarakan persoalan tentang kefasilitatoran ini. misalnya sering ditemukan beragam pertanyaan, “bagaimana memfasilitasi jika dinamika dalam kelas berubah?”, “apakah bisa seorang fasilitator mengubah tekniknya sementara proses sedang berlangsung?”.

Fasilitator lebih tepat menurut saya disebut sebagai seorang seniman daripada seorang pendidik. Fasilitator berhadapan dengan partisipan seperti sedang berhadapan dengan dirinya sendiri. Dinamika di dalam proses pendidikan partisipatoris merupakan persyaratan penting. Dinamika harus muncul sebagai wujud dari proses partisipatif dan merepresentasi secara eksistensial keberadaan fasilitator. Dinamika hanya muncul melalui pertukaran gagasan dan perilaku yang berjalan secara simultan, egaliter, terbuka, tetapi tanpa diskriminasi. Seorang pendidik yang dominan tentu saja tidak selalu memperoleh dinamika tersebut karena tujuan utamanya adalah transferring knowledge, sebuah pandangan yang begitu kuat dalam filsafat pendidikan bekas negara koloni.

Maka dalam soal bagaimana memfasilitasi dinamika yang sudah sewajarnya ada dan bahkan harus muncul. Sehingga tidak mengherankan jika setiap fasilitator membawa banyak kesiapan untuk berdialektika dengan dinamika. Mengganti teknik, termasuk dari sekian persiapan yang memungkinkan. Tetapi itu tidak menjadi beban yang berat jika fasilitator bergerak bersama dinamika. Kesulitan biasanya muncul karena fasilitator menganggap “segalanya” bersumber dari dirinya.

Model Partisipatoris bagi Anak-Anak

Model atau pendekatan partisipatoris pada dasarnya lebih dekat dengan kelompok-kelompok yang selama ini dianggap tidak signifikan dalam membentuk kebijakan. Mereka adalah sebagaimana yang disebut oleh Robert Chambers (2002) yakni perempuan, “orang miskin”, minoritas dari kalangan berbasis etnis atau agama, pengungsi, difabel, termasuk anak-anak.

Dalam proses evaluasi Sekolah Literasi beberapa partisipan memiliki kesan bahwa pendekatan partisipatoris asing digunakan untuk anak-anak. Bersama partisipan kami mencoba mendiskusikannya secara umum karena memang dibutuhkan suatu waktu reflektif khusus untuk persoalan ini. Tetapi buku Stepping Forward (Johnson, dkk: 1998) dapat memberikan informasi yang cukup perihal etika, metodologis, hingga implementasinya. Sekali lagi kami berharap ada waktu khusus untuk membicarakan topik yang sangat menarik itu dalam forum Sekolah Literasi.

Gagasan tentang “transformasi sosial itu mudah dan menyenangkan” yang sering muncul merupakan cara baru untuk memulai bagaimana memahami partisipatoris bagi anak-anak. Kedekatan antara transformasi sosial dan model pendidikan partisipatoris seakan mengikat suatu imajinasi bahwa prosesnya pasti “serius” dan jauh dari kesan “asik-kocak”. Kenyataannya justru sebaliknya, proses partisipatoris justru sebaiknya mengilustrasikan tentang kemungkinan menciptakan dunia (another world is possible). Sehingga mendayakan imajinasi yang berbasis sepenuhnya pada pergulatan praksis adalah salah-satu kunci penting. Hal ini tentu saja dapat diterapkan pada siapapun, termasuk anak-anak. Misalnya dengan memberikan pertanyaan seputar aktivitas, keinginan, dan hal-hal yang dianggapnya sebagai “dunia” hingga dilanjutnya dengan merancang agenda yang “sederhana” seperti berkumpul bersama untuk membersihkan tempat pertemuan atau mendekorasi pendopo.

“anak-anak merupakan pemilik masa depan” begitu Cak David mengungkapkan sewaktu merespon topik tentang Sekolah Literasi bagi anak dan remaja. Anak dan remaja merupakan salah-satu partisipan penting sebagai representasi dari kehadiran kelompok marjinal dalam proses penentuan masa depan. Pendekatan partisipatoris membantu proses menyelami dinamika anak-anak, yang pada sisi lainnya turut  membantu orangdewasa menemukan proses partisipatoris dalam arti yang paling mengesankan. Makna politis tentu saja sedang diupayakan untuk mendekatkan pengambilan kebijakan pendidikan berbasiskna pada penelitian partisipatoris yang melibatkan anak-anak dan peneliti yang berperan sebagai fasilitator. Dalam pengertian demikian, pendekatan partisipatoris tidak hanya bersifat pedagogis tetapi juga bersifat politis karena bertujuan menghasilkan pemahaman yang baik terkait dengan anak-anak. Maka partisipatoris juga merupakan teknik penelitian yang penting untuk dicoba terus-menerus. Sehingga proses pengambilan kebijakan dapat mengakar dengan basis sosiologisnya sendiri.

Sebagaimana Chambers, anak-anak termasuk kelompok “yang justru paling mampu memandang partisipasi secara terbuka sebagai hal yang penting dan prioritas” (Chambers, Fakih, dan 2002, hlm.x).  

*Tulisan ini adalah catatan untuk pelaksanaan Sekolah Literasi oleh Rumah Baca Komunitas tahun 2015.