Tuesday 16 February 2016

Catatan Fasillitator PKTM III Lampung 2015-2016

Saya cukup beruntung menghabiskan pergantian tahun dengan menjadi pemateri sekaligus fasilitator untuk PKTM III IPM Lampung. Perjalanan menuju Lampung menurut saya cukup menyenangkan. Pertama-tama dari Yogya ke Solo, berkunjung ke UMS, menginap di Shobron kemudian terbang ke Lampung. Perpindahan lokasi bagi saya selalu menjadi kesempatan yang bagus untuk menulis beberapa catatan pendek, biasanya terdiri dari satu baris saja. Biasanya berupa catatan reflektif atau kontemplatif.

Keberuntungan lain bagi saya adalah berkunjung ke Gedung Dakwah Muhammadiyah Tanggamus, yang juga menjadi lokasi PKTM III. Gedung ini dikelilingi oleh tanah berumput lapang, dan kebun pepaya, serta sekolah PAUD. Sewaktu saya duduk di ruang tunggu, jendela yang menghadap sebelah utara langsung berpapasan dengan Gunung Tanggamus. Hanya pohon kelapa yang terlihat berada di kaki gunung sebelah selatan meramaikan pemandangan itu. Meski begitu, karena Gedung Dakwah dekat dengan pantai, hawa panas tak bisa dihindari. Di siang hari, hawa panas mencapai 32 derajat, sedangkan malam hari relatif.

Pemandangan Gunung Tanggamus di Belakang Gedung Muhammadiyah


Gerakan Sosial Baru
Fasilitator IPM Lampung meminta saya memberikan materi soal Gerakan Sosial Baru. Istilah Gerakan Sosial Baru (New Social Movement) tidak asing di IPM. Istilah ini menjadi pembahasan yang menyentuh model dan orientasi gerakan pasca perubahan nomenklatur nama IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah) menjadi IPM (Ikatan Pelajar Muhamadiyah). Kata “remaja” yang berubah menjadi “pelajar” sebenarnya menunjukkan ekslusivitas klas sosial, meskipun tampaknya teori soal NSM justru semakin marak.

Terdapat beberapa konteks dialektika yang mewarnai sejarah Konferensi hingga Muktamar IPM. Pertama berkaitan dengan pembentukan komunitas kreatif, IPM sebenarnya telah menyentuh beberapa dasar dari model NSM. Kedua, saat membicarakan program kerja IPM berbasis kebutuhan pelajar, model NSM tampaknya telah direduksir sedemikian rupa sehingga maknanya menjadi buram. Ketiga, analisa sosial tidak bisa ditinggalkan, sebab NSM sebagai paradigma gerakan selalu mengandaikan advokasi pada proses peniadaan subjek politik. dalam hal ini, penting dicatat bagi setiap Gerakan Sosial, peniadaan subjek politik bisa menjadi jalan bagi kepentingn neoliberalism dan neokapitalisme di dalam gerakan.

materi Gerakan Sosial Baru
Pada umumnya, imajinasi soal gerakan sosial baru bertopang terlalu liar pada teori perubahan portofolio subjek, yang menjelaskan bahwa peleburan identitas dan orientasi saling berkelindan menolak yang disebut sebagai kepentingan klas. Sebenarnya, teori perubahan portofolio subjek merupakan salah-satu varian dari komposisi agen, sekalipun kalau diperhatikan, nyaris tak ada yang disebut dengan the end of class struggles. Perjuangan klas tidak identik dengan perombakan struktur sosial, melainkan sebuah agenda politik yang dirancang untuk mengafirmasi keberadaan penindasan dan eksploitasi yang kian mutakhir. Menyebut bahwa pertentangan klas tak ada, adalah bagian dari konsekuensi penerimaan bahwa politik cair (liquid) adalah ciri utama dari politik post-modern.  

Sesuatu yang juga menarik untuk dibahas adalah berkembangnya isu bahwa AI telah menggantikan Analisa Sosial (Ansos), jelas saja ini salah kaprah. AI dan Ansos adalah metodologi, dan sebagai metodologi masing-masing memiliki karakter. Dalam beberapa konteks, metodologi seringkali diperlakukan sebagai sebuah panduan, padahal metodologi adalah—mengutip Heidegger—sebuah cara untuk “mempreteli realitas”. Tampaknya isu itu berjalan beriringan dengan kesalahkaprahan pemahaman mengenai gerakan sosial baru.

Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang membuat kesalahkaprahan itu terjadi. Pertama, terlalu dekatnya kepentingan pengelolaan organisasi atau komunitas dengan kepentingan Bank Dunia atau IMF (bisa tercermin lewat program berbasis proposal). Kedua, gerakan sosial yang dikelola dengan logika privatisasi (tupoksi-minded).

Film Dokumenter
Selesai diskusi soal Gerakan Sosial Baru, saya kira penting untuk menunjukkan bagaimana kompleksitas pengelolaan komunitas yang sedang terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Saya memilih sebuah film dokumenter untuk ditonton oleh peserta PKTM III. Beberapa alasan pemutaran film dokumenter ini adalah, pertama, bagi saya sangat penting memperlihat bagaimana realitas yang sebenarnya soal “komunitas adat”, “orang Baduy”, “orang Papua”, atau soal “tradisional” dan “modern”.  Istilah-istilah ini banyak mengalami simplifikasi yang keliru. Kedua, saya berniat menyuguhkan bagaimana sebenarnya equilibrium manusia dan alam bukan merupakan utopia. Saya merasa alasan kedua ini cukup bagus, karena selama ini diskusi soal equilibrium antara manusia dan alam seolah-olah telah praktis dijelaskan melalui kerangka Ekonomi Baru. Padahal ada banyak best practice yang jarang didiskusikan sehingga penggandaannya menjadi utopis.

Nonton dan Diskusi Film Dokumenter "Kasepuhan Cipta Gelar" (Watchdog, 2015)
Beberapa komentar yang saya ingat pasca pemutaran film dokumenter membuat saya cukup senang, di antaranya ialah; “saya baru pertama kali melihat tayangan begini, saya kira dulu ngak mungkin bangun masyarakat model begitu”; “menurut saya, film ini bagus, saya jadi tahu apa makna nasionalisme yang bisa diperjuangkan”; “bagus banget selama ini saya sudah diberi tontonan yang merusak, seneng bisa menyaksikan dokumenter ini”.

Durian

Oh ya, sebagai catatan, saya diberi hidangan durian yang melimpah.

bersama Ari Nurrochman (kaos putih) dan teman-teman IPM Lampung

Pengetahuan dan Larangan

Suatu perkembangan yang saya anggap baik dalam proses belajar adalah menemukan nama-nama. Menurut saya, itu juga yang dirasakan oleh Adam, yang pada umumnya disebut sebagai “manusia” pertama. Dua tahun lalu saat membaca-baca seputar polemik kebudayaan pada pertengahan abad duapuluh Indonesia, nama Martin Aleida, dan Katrin Bandel, saya temukan. Saya merasa sama sekali tak berdosa karena mengenal dua nama ini terlambat, lebih penting dari itu, saya belajar sesuatu yang baru soal pengetahuan.


Martin Aleida


Buku pertama Aleida  yang saya ketahui berjudul Langit Pertama, Langit Kedua (2013), dan Katrin dengan Sastra Nasionalisme (2013). Dua buku itu pun saya temukan tak sengaja, sebab itu jenis buku yang dikonsumsi oleh penikmat sastra—bagaimana menyebutnya, mungkin penikmat sastra beserta sejarah yang melingkarinya. Buku Aleida yang saya temukan tak sengaja juga adalah Mati Baik-Baik Kawan, buku ini sebenarnya sudah dicetak beberapa kali. Saya memperoleh Mati Baik-Baik Kawan cetakan tahun 2014.

Katrin Bandel

Setelah membaca Mati Baik-Baik Kawan, saya membuat catatan singkat soal buku itu. Saya mengirim pesan ke Aleida untuk menanggapi catatan pendek itu. Kata Aleida waktu itu ke saya, “terima kasih, segera saya baca”. Pesan balasan Aleida membuat saya merasa terburu-buru memintanya memberi tanggapan. Berbagai macam hal melintas di kepala, yang jelas saya merasa belum mampu memberi tanggapan sastra, tetapi iktikad untuk belajar selalu menjadi dalih untuk melakukan itu.

Tidak lama, Aleida mengirim pesan balasan bernada formal yang begitu santun serta apresiatif. “Fauzan yang baik, tinjauanmu bagus, berupaya mendalam, aku tak layak menanggapi, kecuali bahagia karena dipandang dengan mata dan hati. Salam, jumpa”. Jujur saja, saya merasa Aleida telah membagi kekuatan yang penting soal belajar. Pesan balasan Aleida pada saat itu mungkin tak sepenuhnya menggambarkan kondisi objektif, tetapi sangat berpotensi memberi kesempatan sebuah dunia baru berkembang. Bagi saya, itu seperti memberi kesempatan pada tunas untuk tumbuh lebih baik, lebih cepat belajar bagaimana caranya menuju horison Matahari yang tampak kekal.

Suatu hari saat diskusi dan bedah buku Mati Baik-Baik Kawan, Aleida berkata “Anak muda zaman sekarang tidak bodoh. Mereka pada umumnya lebih pintar. Makanya politik melarang-larang dalam belajar itu tak pernah efektif”. Saya menangkap sorot mata yang optimis dari Aleida. Mantan wartawan Harian Rakjat itu kemudian dengan nada yang lembut berkata, “mari kita sama-sama belajar, kita butuh manusia yang kuat”. Katrin pada hari itu turut menjadi pembedah Mati Baik-Baik Kawan juga berujar, “buku ini [Mati Baik-Baik Kawan] akan jadi bahan yang bagus untuk belajar soal dimensi-dimensi sejarah Indonesia”.

Pengetahuan tak pernah berjalan dengan larangan. Saya ingat sewaktu mengaji surat al-Baqarah, saya begitu tertarik dengan proses belajar Adam. Dia mengingat nama-nama ciptaan. Ketika di dunia, Tuhan tak melarang dia bertemu dengan Iblis, melainkan membekali Adam dengan pengetahuan yang cukup supaya bekalnya sebagai khalifah fil-ardh terpenuhi. Barat dan timur adalah kepunyaan Tuhan, tak ada yang memisahkannya kecuali ketika perang menemukan dalih yang irrasional—meminjam Arendt. 

*Fauzan Anwar Sandiah

Catatan PKTMU Palembang 2016 #1

Matahari menembus langit dengan awan yang hanya bergaris tipis-tipis saja. Siang itu, saya harus berangkat ke Palembang. Seperti biasa, saya berharap badan pesawat tetap kuat menahan derajat panas ketika terbang berjarak empatribu kaki dari tanah. Di satu sisi, sebenarnya ada perasaan senang meninggalkan kota Jogja yang satu tahun belakangan ini mungkin saja akan segera mendeklarasikan diri sebagai kota seribu hotel, dan menuju Palembang membawa proses yang—bersama tim fasilitator lain siapkan untuk PKPTMU.  

Diskusi Alur Logika Pelatihan


Siang yang terik dan macetnya kota Jogja menemani saya bersama teman-teman terbang ke Palembang. Kurang lebih empat bulan, tim fasilitator yang terdiri atas Mutmainnah, Arifah, Zulfikar, Kak Wiek, Azaki, Teguh, Huda, dan saya mempersiapkan Pelatihan Kader Paripurna Taruna Melati Utama (PKP TMU, selanjutnya saya singkat TMU) dengan beberapa proses penting.

Kepanitiaan Lokal yang Powerfull
Selalu ada sisi lain dari kepanitiaan lokal yang penting untuk dicatat. TMU di Palembang dibantu oleh panitia lokal yang berasal dari PW IPM Sumsel, beberapa PD IPM, dan PR IPM. PP IPM dibantu mempersiapkan teknis pelaksanaan yang luar biasa dari panitia lokal, termasuk tuan rumah Stikes Muhammadiyah serta PW Muhammadiyah Sumsel.

bersama IPM Sumsel sekaligus Pantia Lokal, depan Kantor WALHI Palembang


Sedikit cerita, siang hari pada tanggal 25 Januari, empat tim fasilitator sudah tiba di lokasi TMU yakni, Zulfikar, Muthmainnah, Arifah, dan saya sendiri. kami dijemput dari Bandara oleh Dimas, Ketua Umum PW IPM Sumsel. Satu jam setiba di penginapan Stikes Muhammadiyah kami dibawakan pempek oleh Alex dengan jumlah yang tidak mungkin dihabiskan oleh empat orang. Saya dan Zulfikar hanya bisa menatap varian-varian pempek dan berbagai olahannya termasuk otak-otak dengan tertawa terbahak-bahak. Setelah itu kami melakukan ramah-tamah dengan PWM dan Stikes Muhammadiyah pada sore hari. Malamnya kami mengadakan ramah-ramah antara PW IPM Sumsel, Panitia Lokal, Peserta, dan Tim Fasilitator yang di-handle oleh PP IPM.

Selama kurang lebih seminggu baik peserta maupun tim fasilitator dibantu untuk menyukseskan kegiatan. Ya, pada umumnya, setahu saya kekuatan panitia lokal adalah kunci dari proses kegiatan apapun, termasuk pelatihan. Kerjasama mereka membantu kegiatan ini bekerja lebih maksimal. 
        
Soal Regenerasi dan Kuota Berbasis Gender
Beberapa hari setelah pengumuman peserta TMU dipublikasikan di Website PP IPM, Tim Fasilitator memperoleh sejumlah pertanyaan yang dilontarkan pada saat Konpiwil di Pucang, Surabaya. Beberapa pertanyaan itu berkaitan dengan proses seleksi peserta, dan orientasi TMU, serta kemungkinan diadakan TMU sesi II untuk memfasilitasi peminat TMU yang tinggi dari setiap provinsi. Perlu dicatat, tidak semua jawaban pertanyaan itu dapat dijawab tim fasilitator ketika itu. Ada banyak hal yang harus dikerjakan segera, dan tidak ada waktu untuk memberi respon sesegera mungkin. Meski begitu, secara umum proses seleksi peserta TMU berjalan atas dua prinsip utama, pertama adalah pertimbangan regenerasi. Tidak dipungkiri, peminat TMU tahun 2016 ini tidak sedikit, padahal sebagaimana idealnya format pelatihan, partisipannya tidak mungkin dalam kelompok besar. Maksimal 31 partisipan yang dapat diterima oleh tim fasilitator, ini berkaitan dengan pertimbangan pedagogik. Jumlah 31 partisipan sebenarnya sudah termasuk besar. Tentu saja pertimbangannya tidak sesederhana itu, terjadi beragam diskusi dalam proses seleksi peserta, termasuk penilaian terhadap paper yang dikirim oleh tiap peserta. Menawarkan ide yang segar, Otentisitas (no plagiarism), dan kemampuan mengelola diskursus yang kritis, menjadi pertimbangan terhadap paper peserta.

Kedua, adalah kuota gender. Harus diakui bahwa IPM adalah organisasi besar, tim fasilitator harus memberikan kuota gender yang adil. Ipmawati yang mengirimkan berkas mendapatkan kuota khusus, sebab masa depan IPM sangat bergantung pada kepemimpinan yang inspiratif dan berdaya-tahan. Jenis kepemimpinan seperti itu hanya mampu terjadi jika keterlibatan perempuan dalam organisasi diadvokasi oleh segala pihak. Maka tim Fasilitator mencoba membuka kesempatan kepada Ipmawati masuk ke dalam proses pembelajaran di TMU. Ide ini pun sebenarnya tidak serta merta diterima oleh beberapa rekan di fasilitator, tetapi sejumlah argumentasi sangat mudah untuk menunjukkan bahwa advokasi kuota gender itu penting. Kalau disaksikan sungguh-sungguh, kepesertaan Ipmawati dalam TMU membuktikan banyak hal menarik. Mereka mampu menunjukkan dinamika yang baik.

Proses seleksi sebenarnya merupakan hak prerogatif tim fasilitator dan sama sekali tidak dibiarkan untuk diintervensi oleh kepentingan apapun.

Proses Pembelajaran
Pelaksanaan TMU 2016 di Palembang diadakan sejak tanggal 26 Januari hingga 1 Februari. Waktu ini termasuk yang paling singkat dalam sejarah TMU. Nampaknya ke depan, TMU harus dibatasi minimal 9-10 hari sebab beberapa pertimbangan.

Mas Ahmad Sarkawi dan Arifah, Fasilitator PP IPM

Masmoelyadi (tengah), Pemateri Gerakan Sosial Baru 



Penggunaan AI
Salah-satu hal menarik dari TMU kali ini adalah penggunaan Appreciative Inquiry (AI). Materi AI sebenarnya tidak asing di IPM. Dua tahun belakangan ini, IPM mencoba menggunakan AI sebagai dasar pengembangan organisasi. Sejak Semiloknas di Gresik tahun 2014, hingga Muktamar IPM XIX di Jakarta AI menjadi bahan materi. Sejak saat itu, AI intens menjadi bahan diskusi IPM. Beberapa wilayah juga mulai belajar mengenal AI di organisasi. TMU di Palembang ini tim fasilitator meminta bantuan Mas Widi sebagai fasilitator sekaligus pemateri AI. 

Penulisan Laporan Riset berbasis Appreciatve Inquiry bersama Widhyanto Muttaqien

Proses belajar AI di TMU di-setting berbeda dari praktik mengenal AI di TM III. Di TMU, praktik AI dimaksudkan sebagai bahan dasar untuk melakukan riset, meskipun tujuan utamanya adalah memberikan alternatif tool bagi peserta TMU dalam mengelola diskursus, termasuk menawarkan model pengembangan organisasi. Awalnya alokasi materi hanya disediakan dua jam dengan pertimbangan sesi lanjutan dapat dilakukan pada sesi FGD. Meski begitu tampaknya proses pengenalan peserta harus dielaborasi lebih lama dari waktu yang disediakan. Tetapi hal ini disanggupi sendiri oleh Mas Widi yang akhirnya memperpanjang jadwalnya hingga dua hari. Mas Widi mempersiapkan presentasi yang direvisinya setiap sesi pembelajaran selesai, dan mengajak diskusi tim fasilitator untuk menceritakan proses yang sudah dilewati, dan meminta saran serta rekomendasi untuk penggunaan waktu. Hari pertama mas Widi menemani peserta untuk mengeksplorasi bersama soal AI dan praktiknya untuk riset. Pada hari kedua, mas Widi membantu briefing peserta sebelum praktik riset AI ke lembaga dan gerakan sosial yakni TB Care Aisyiyah, Walhi, dan Komunitas Peduli Anak Jalanan. Selesai praktik lapangan riset AI, proses selanjutnya adalah membantu peserta menyusunnya menjadi laporan semi-riset berbasis AI. Hasil riset tersebut kemudian dikembangkan sebagai bahan-bahan dasar untuk FGD Isu Muktamar dan RTL.

Isu dan RTL

dari kanan, Mas Widhyanto Muttaqien, Azaki, Huda, dan saya


Peserta TMU memilih fokus pada empat isu berikut, (1) Konservasi Ekologi dan Tanggap Kebencanaan, (2) Jihad Literasi, (3) Sekolah Ramah Anak, (4) Memanfaatkan Bonus Demografi. Masing-masing isu sudah diolah oleh peserta TMU dan diserahkan kepada tim materi Muktamar yang kebetulan dikordinatori oleh saya sendiri.       


*Fauzan Anwar Sandiah

Catatan Diskusi Soal Gerakan Perdamaian




Menjelang konpiwil dan agenda taruna melati utama, beberapa rekan dari PP IPM; Fauzan, Zulfikar, dan Teguh, beserta dua pegiat LaPSI; Uswah, dan Sadidah, terlibat dalam diskusi mengenai gerakan perdamaian. Diskusi tersebut tentu saja dilakukan dalam rangka memperkuat agenda-agenda gerakan IPM dalam dinamika praktis yang tengah terjadi di dunia pendidikan semacam; tawuran pelajar, bullying, diskriminasi, serta dalam rangka mengasah dua pendekatan baru yang tengah digunakan yakni; Appreciative Inquiry (AI) dan pendekatan ekologi. Meskipun, pendekatan yang terakhir baru saja muncul dari beberapa diskusi terbatas serta diskusi grup terfokus.

Persepsi soal Kekerasan
Bicara soal gerakan perdamaian, pada satu sisi problematis. Alasannya ialah bahwa pembahasan tentang perdamaian, selalu diawali oleh anomali sosial. Tak berhenti di situ, “penting sekali bagi setiap gerakan perdamaian untuk merefleksikan hal-hal fundamental soal kekerasan, khususnya konflik” kata Teguh. Menurutnya, penting untuk merefleksikan di mana posisi konflik dan perdamaian secara utuh. Misalnya apakah perdamaian dan konflik itu saling meniscayakan?. Pertanyaan itu datang dari refleksi mendasar yang mempengaruhi implikasi-implikasi filosofis maupun praksis. “Kita harus memahami ini supaya gerak praksisnya lebih fleksibel, artinya nanti mempengaruhi daya-tahan pegiatnya masing-masing”.

Pendekatan ekologis
Sejak tahun 1997, percobaan pendekatan ekologi dalam mengurai persoalan kekerasan di dunia pendidikan mulai digunakan. Pendekatan ekologi menyatakan bahwa kekerasan di dalam dunia pendidikan merupakan manifestasi dari kompleksitas relasional yang disekuilibrium antara manusia dengan manusia, serta antara manusia dengan alam. Pendekatan ini pada umumnya digunakan dengan melibatkan ekosistem di dalam sekolah sebagai komunitas yang integral. Partisipan pendidikan, kepala sekolah, guru, pegawai sekolah, satpam, dan orangtua berada dalam rantai komunitas yang saling mempengaruhi. Pendekatan ekologi menggunakan relasi-relasi ini sebagai cara untuk mendekati akar (genealogi) dan riak (rhizomatik) kekerasan.

Kelebihan pendekatan ekologi karena peka terhadap—tidak hanya pada genealogi, tetapi juga pada relasi rhizomatik dari kekerasan. Artinya selama ini analisis genealogis yang selalu atomistik, “kembali pada diri masing-masing” yang terlalu deterministik terhadap proses kekerasan (being violence), menjadi begitu lentur untuk melihat bagaimana sebenarnya kekerasan terjadi, dan cara yang tepat untuk mengeremnya. Pendekatan ekologi yang mengakomodir relasi rhizomatik misalnya melihat bahwa kekerasan dan konflik terjadi bersamaan dengan menghilangnya empati terhadap alam, yang disebut sebagai proses objektivasi; menjadikan segala sesuatu yang eksternal menjadi asing. Hal ini terlihat dari berjaraknya pendidikan dan pengajaran, kuatnya model pendidikan berbasis reward and punisment system, serta apresiasi seni serta sastra yang hilang dari sekolah.

Kekerasan dan jaringan rhizomatik juga direpresentasikan dari berkurangnya otonomi relasional antara pendidik dan partisipan pendidik. Agenda perdamaian seperti; menghentikan diskriminasi, mengurangi bias gender, serta kekerasan fisik dianggap begitu sulit sebab hal-hal itu seakan menyerap menjadi bagian dari ‘habitus’. Seorang peserta diskusi mengatakan, “bullying itu kadang dianggap biasa, apalagi obrolan-obrolan yang bias gender..itu paling sering..dalihnya, itu sudah kebiasaan. Kalau di grup WA atau obrolan langsung, ada bullying itu dianggap bikin rame dan mengikat persaudaraan, padahal kan tidak begitu..kita kurang merefleksikannya makanya terkesan telah menjadi kebiasaan”. Kekhasan pendekatan ekologi dengan analisa rhizomatik akan membantu menguraikan hal-hal rumit semacam ini.


Bagaimana Menguatkan Gerakan Perdamaian?

Ada dua fakta menarik yang sebenarnya telah menjadi kecenderungan akhir-akhir ini, yakni pemanfaatan kebiasaan lokal untuk merekonstruksi kebiasaan baru, serta penggunaan model pendidikan partisipatoris dan apresiatif dalam setiap setting pendidikan perdamaian. Sewaktu saya bertanya kepada Defit, “dalam aktivitas apakah orangtua begitu antusias mendorong anaknya selama rangkaian kegiatan peace-santren?”. Menurut Defit, pada aktivitas tahfidz orangtua begitu kolaboratif dan antusias. Artinya penting sekali bagi disain pendidikan perdamaian untuk memperhatikan aktivitas-aktivitas yang memunculkan minat tinggi dari orangtua. Aktivitas-aktivitas seperti ini memungkinkan kolaborasi yang maksimal dari orangtua. Selain itu, juga perlu memperhatikan aktivitas pendidikan perdamaian seperti yang apa yang didukung secara maksimal oleh orangtua maupun partisipan pendidikan yang pada umumnya berusia 12-17 tahun. Hal ini akan memperkuat dukungan stakeholder dalam membantu proses pendidikan perdamaian.  

*Fauzan Anwar Sandiah