Oleh: Ronny Agustinus
Apakah James C. Scott masih menarik bagi
ranah pemikiran sosial di Indonesia? Dua bukunya, yakni Domination and the Arts
of Resistance: Hidden Transcripts (1992) dan Seeing Like a State: How Certain
Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (1998) tidak
diterjemahkan. sementara dua buku
klasiknya, yakni Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1981) dan Senjatanya Orang-Orang yang Kalah (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2000) tidak diterbitkan ulang. Padahal pemikiran Scott
sangat relevan, terutama menyangkut pergolakan kekuasaan di pedesaan, perubahan
agraria, dan nasib petani.
Jurnal Wacana terbitan INSIST adalah
salah satu yang berupaya menyebarkan pemikiran James Scott. Dalam edisi 10
tahun III 2002, ia memuat terjemahan dari makalah James Scott, (1995) “State
simplifications: Some applications to Southeast Asia”, yang disampaikan dalam
kuliah umum The Wertheim Lecture 1995 di Centre for Asian Studies Amsterdam.
Buku terbaru James Scott, The Art of Not
Being Governed yang diterbitkan tahun 2009 sekali lagi menunjukkan kalibernya
sebagai pembentuk kecenderungan dalam studi-studi agraria di Asia Tenggara.
Jika mencermati karya-karya James Scott
dari awal hingga yang terbaru, sebenarnya kita bisa menarik benang merah
perkembangan pemikirannya.
Dalam Moral Ekonomi Petani: Pergerakan
dan Subsistensi di Asia Tenggara, Scott mengemukakan pertama kali teorinya
tentang bagaimana “etika subsistensi” (etika untuk bertahan hidup dalam kondisi
minimal) melandasi segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di
pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari
penguasa mereka.
Itulah yang disebut sebagai “moral
ekonomi”, yang membimbing mereka sebagai warga desa dalam mengelola kelanjutan
kehidupan kolektif dan hubungan sosial resiprokal saat menghadapi
tekanan-tekanan struktural dari hubungan kekuasaan baru yang mencengkam. Tekanan
struktural dari pasar kapitalistik, pengorganisasian negara kolonial dan
paskakolonial, dan proses modernisasi di Asia Tenggara mengacaukan “moral
ekonomi” itu dan menyebabkan kaum tani berontak.
Mahakarya kedua Scott, Senjatanya
Orang-Orang yang Kalah, membawa topik di atas selangkah lebih jauh. Scott
mendokumentasikan penelitian bertahun-tahunnya tentang perlawanan keseharian
kaum tani yang tak tercatat sejarah. Buku Perlawanan Kaum Tani mengusung tema
serupa. Namun demikian, buku ini bukan terjemahan langsung dari buku Scott,
melainkan terjemahan kumpulan artikel Scott yang disunting oleh Prof. Sajogyo.
Nah, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah menjelaskan posisi dan perilaku politik
kaum tani.
Sejak jaman kolonial, protes dan
perlawanan kaum tani dipandang bukan sebagai gerakan terorganisir, melainkan
sekedar pelampiasan kemarahan secara destruktif dan membabi buta akibat
eksploitasi yang kelewatan, misalnya pajak yang teramat tinggi. Namun pada
kehidupan sehari-hari, kaum tani nampak pasrah, nrimo dan tergantung pada alam.
Tidak nampak revolusioner sama sekali.
Penelitian Scott atas petani Asia
Tenggara mematahkan mitos ini. Ia membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai
‘kepasrahan kaum tani’ bukanlah benar-benar kepasrahan, melainkan aksi-aksi perlawanan
anonim dalam diam yang berlangsung saban harinya, yang bahkan telah menjadi
suatu subkultur. Dari Scott lah kita mendapat analisa yang jenius tentang apa
yang disebutnya ‘bentuk-bentuk perjuangan kelas gaya Brechtian’ (Brechtian
modes of resistance), yakni "senjata-senjata biasa yang dimiliki
kelompok-kelompok yang relatif tanpa kekuatan: menghambat, berpura-pura,
pura-pura menurut, mencopet, pura-pura tidak tahu, memfitnah, pembakaran,
sabotase, dan sebagainya" (Perlawanan Kaum Tani, halaman 271).
Istilah "Brechtian" berasal
dari Bertold Brech, seorang seniman cum aktivis gerakan kiri di Jerman. Dalam
Kumpulan Cerita tentang Tuan Keuner karya Bertold Brech, ada satu cerita mini
yang sangat terkenal yakni ketika Tuan Keuner diperlakukan sewenang-wenang bak
jongos di rumahnya sendiri oleh seorang tentara fasis. Tuan Keuner tidak
melawan. Ia layani apa saja permintaan si tentara. Karena terbiasa dilayani
sebagai majikan selama bertahun-tahun, si tentara akhirnya menjadi pemalas lalu
mati. Dan saat itulah Tuan Keuner yang dianiaya berteriak “merdeka!”
Pesan Scott jelas: hanya karena
perlawanan kaum tani ini tak kasat mata, tak tercatat dalam sejarah, bukan
berarti mereka tidak punya kesadaran kritis dan tidak melawan. Saya kutip dari
buku Perlawanan Kaum Tani, halaman 314-315: "Banyak dari bentuk perlawanan
yang telah kita pelajari itu mungkin aksi-aksi ‘perorangan’, tetapi itu tidak
berarti bahwa aksi itu tidak terkoordinasi.
Di sini, sebuah konsep koordinasi yang
berasal dari rakitan formal dan birokratis tidak banyak membantu untuk memahami
aksi-aksi yang dilakukan dalam komunitas-komunitas dengan jaringan-jaringan
informasi yang padat dan subkultur-subkultur perlawanan yang kaya, dan historis
dalam, terhadap tuntutan-tuntutan dari luar […:] subkultur pedesaan membantu membenarkan kepura-puraan, perburuan
tanpa izin, pencurian, penghindaran pajak, penghindaran wajib militer dan
sebagainya […:] Tidak ada organisasi formal yang dibuat karena tidak ada satu pun
yang diperlukan; namun, suatu bentuk koordinasi telah dicapai yang
mengisyaratkan kepada kita bahwa apa yang sedang terjadi itu bukan sekedar aksi
perorangan."
James C. Scott bukan cuma cendekiawan
brilian, namun juga penulis ulung. Seperti buku-bukunya yang lain, The Art of
Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia ditulis
dengan sangat jernih (sampai-sampai memperoleh penghargaan PROSE Award in
Goverment and Politics - sebuah penghargaan yang diberikan para penerbit
Amerika setiap tahunnya kepada para profesional dan intelektual atas karya
mereka yang diterbitkan dalam bentuk buku, jurnal, dan media elektronik)
Scott sendiri sadar akan kelihaiannya
ini. Di halaman xi ia tulis, “Saya sering dituding keliru, tapi jarang dibilang
tidak jelas atau tidak mudah dipahami. Buku ini juga begitu.”
Keunikan Scott lainnya, sehari-harinya
selain meriset dan mengajar ia memelihara domba! Mengapa domba? Dalam sebuah
wawancara ia utarakan filosofikasinya untuk kegiatannya ini: “Domba sering
dipakai sebagai metafor untuk kebloonan dan kepatuhan. Tapi orang yang pernah
melihat domba liar beraksi akan tahu bahwa domba itu sebenarnya
individualistik. Kita telah beternak domba selama 8.000 tahun dan memilih yang
patuh. Kita yang menjadikan mereka begitu!”
Dengan kata lain, masyarakat yang
direkayasa oleh skema-skema pembangunan hanya akan menghasilkan manusia-manusia
pasif yang tak sejalan dengan tujuan pembangunan itu sendiri. Masyarakat yang
berhasil hanyalah masyarakat yang bebas untuk menentukan cara meraih
keberhasilannya sendiri, bukan yang direkayasa dari atas.
Ya, barang siapa masih menganggap domba
itu makhluk bloon, coba saja tonton Shaun the Sheep. *
sumber: http://ikhtisarstudiagraria.blogspot.co.id/2010/06/james-c-scott-dan-karya-agraria-nya.html