Saturday 7 November 2015

Soal Obsesi Kelas Menengah

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Topik yang selalu menarik dibahas pagi-pagi. Berbicara soal harapan, setelah membaca tanggapan Cak David Efendi untuk merespon tulisan Pak Sankaran Krishan, ahli ilmu politik dari UH Manoa, "Number Fetish: Middle-class India’s Obsession with the GDP"...

Pertama, apakah dengan mendorong partisipasi entrepreneurship masyarakat, kualitas dan kuantitas pertumbuhan suatu negara dapat terwujud? Apakah itu membantu kualitas well-being individu atau komunitas di suatu negara menguat?.

Kedua, pertumbuhan kelas menengah dan human development index sebagaimana yang dikaji oleh banyak ahli kenyataannya justru mengkhawatirkan. sebagian besar orang tumbuh dan berkembang di iklim kompetisi, sedangkan sebagian lain tumbang karena prasyarat bersaing itu sendiri sudah eliminatif.

Ketiga, mana yang akan dipilih oleh pemerintah sebuah negara berkembang, memperkuat kapasitas individu dengan literasi, pendidikan, serta menjaga stok SDA dengan konservasi ekologi, atau memaksa pembangunan infrastruktur tak penting sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja, serta membiarkan ekspansi modal? ini namanya trade-off, dilematis.

Dilematis selain karena dua hal itu harus dipilih, tetapi juga karena dua hal itu ditopang oleh paradigma yang berbeda. Tetapi kenyataan dan daya-rusak dari berbagai kebijakan yang bertopang primer ke PDB sangat-lah ril. masyarakat ditagih dan dikejar negara karena terlambat membayar listirk (gimana dengan korporasi?), penambangan ekspolitatif (yang ini jangan ditanya lagi), tingkat kekerasan (apalagi yang ini), sulitnya membedakan antara keuntungan dan pendapatan, daya beli uang yang terpangkas hingga 40% (artinya uang nilai satu juga hanya punya daya beli 600 ribu).

Soal obsesi kelas menengah menjadi struktur sosial terdepan yang memajukan negara berkembang pada kenyataannya jauh dari harapan. Struktur sosial ini memang menjanjikan perbaikan-perbaikan sebagaimana yang tampak pada obsesi-obsesi serta imajinasinya tentang masa depan. Tetapi kalau diperhatikan lebih dalam, bagaimana separasi antara kota dan desa telah menjadi jurang sosial baru. Kelas menengah muncul dengan model eksploitasi tak langsung. Mereka mengeluarkan karbon dan sampah per-kapita yang mengkhawatirkan. Supermarket tempat kelas menengah memperoleh makanan, tak transparan dalam melaporkan sampah organik yang mereka buang. Tak ada yang menyalahkan itu dalam logika bisnis, tetapi membuang makanan di tengah krisis makanan saat ini tentu saja tak logis. 

Bagaimana keluar dari lingkaran ini? pertanyaan ini sebenarnya telah didekati dengan berbagai cara. Misalnya, dengan menawarkan dasbor baru berkaitan dengan perhitungan pertumbuhan ekonomi. Cara yang lain misalnya dengan memulai mengajukan sejumlah indikator dan variabel baru untuk mengukur kesejahteraan masyarakat yang menembus struktur sosial. Mengajukan pendekatan stok untuk mencegah ketidakseimbangan antara SDA di masa sekarang dan di masa depan. Selain itu, diperlukan suatu cara pengukuran pencemaran lingkungan per-Kapita dengan perspektif kritis. Artinya struktur sosial dan korporasi harus diberi tanggungjawab yang berbeda untuk menangani kerusakan-kerusakan ekologi. Cara ini adalah formal, meskipun ada pendekatan sistemik semacam humanisasi industri sebagaimana yang banyak diajukan pada era 80-an.

James C. Scott dan Karya Agraria-nya

Oleh: Ronny Agustinus

Apakah James C. Scott masih menarik bagi ranah pemikiran sosial di Indonesia? Dua bukunya, yakni Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1992) dan Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (1998) tidak diterjemahkan.  sementara dua buku klasiknya, yakni Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1981) dan Senjatanya Orang-Orang yang Kalah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000) tidak diterbitkan ulang. Padahal pemikiran Scott sangat relevan, terutama menyangkut pergolakan kekuasaan di pedesaan, perubahan agraria, dan nasib petani.

Jurnal Wacana terbitan INSIST adalah salah satu yang berupaya menyebarkan pemikiran James Scott. Dalam edisi 10 tahun III 2002, ia memuat terjemahan dari makalah James Scott, (1995) “State simplifications: Some applications to Southeast Asia”, yang disampaikan dalam kuliah umum The Wertheim Lecture 1995 di Centre for Asian Studies Amsterdam.

Buku terbaru James Scott, The Art of Not Being Governed yang diterbitkan tahun 2009 sekali lagi menunjukkan kalibernya sebagai pembentuk kecenderungan dalam studi-studi agraria di Asia Tenggara.

Jika mencermati karya-karya James Scott dari awal hingga yang terbaru, sebenarnya kita bisa menarik benang merah perkembangan pemikirannya.

Dalam Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Scott mengemukakan pertama kali teorinya tentang bagaimana “etika subsistensi” (etika untuk bertahan hidup dalam kondisi minimal) melandasi segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari penguasa mereka.

Itulah yang disebut sebagai “moral ekonomi”, yang membimbing mereka sebagai warga desa dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif dan hubungan sosial resiprokal saat menghadapi tekanan-tekanan struktural dari hubungan kekuasaan baru yang mencengkam. Tekanan struktural dari pasar kapitalistik, pengorganisasian negara kolonial dan paskakolonial, dan proses modernisasi di Asia Tenggara mengacaukan “moral ekonomi” itu dan menyebabkan kaum tani berontak.

Mahakarya kedua Scott, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah, membawa topik di atas selangkah lebih jauh. Scott mendokumentasikan penelitian bertahun-tahunnya tentang perlawanan keseharian kaum tani yang tak tercatat sejarah. Buku Perlawanan Kaum Tani mengusung tema serupa. Namun demikian, buku ini bukan terjemahan langsung dari buku Scott, melainkan terjemahan kumpulan artikel Scott yang disunting oleh Prof. Sajogyo. Nah, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah menjelaskan posisi dan perilaku politik kaum tani.

Sejak jaman kolonial, protes dan perlawanan kaum tani dipandang bukan sebagai gerakan terorganisir, melainkan sekedar pelampiasan kemarahan secara destruktif dan membabi buta akibat eksploitasi yang kelewatan, misalnya pajak yang teramat tinggi. Namun pada kehidupan sehari-hari, kaum tani nampak pasrah, nrimo dan tergantung pada alam. Tidak nampak revolusioner sama sekali.

Penelitian Scott atas petani Asia Tenggara mematahkan mitos ini. Ia membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai ‘kepasrahan kaum tani’ bukanlah benar-benar kepasrahan, melainkan aksi-aksi perlawanan anonim dalam diam yang berlangsung saban harinya, yang bahkan telah menjadi suatu subkultur. Dari Scott lah kita mendapat analisa yang jenius tentang apa yang disebutnya ‘bentuk-bentuk perjuangan kelas gaya Brechtian’ (Brechtian modes of resistance), yakni "senjata-senjata biasa yang dimiliki kelompok-kelompok yang relatif tanpa kekuatan: menghambat, berpura-pura, pura-pura menurut, mencopet, pura-pura tidak tahu, memfitnah, pembakaran, sabotase, dan sebagainya" (Perlawanan Kaum Tani, halaman 271).

Istilah "Brechtian" berasal dari Bertold Brech, seorang seniman cum aktivis gerakan kiri di Jerman. Dalam Kumpulan Cerita tentang Tuan Keuner karya Bertold Brech, ada satu cerita mini yang sangat terkenal yakni ketika Tuan Keuner diperlakukan sewenang-wenang bak jongos di rumahnya sendiri oleh seorang tentara fasis. Tuan Keuner tidak melawan. Ia layani apa saja permintaan si tentara. Karena terbiasa dilayani sebagai majikan selama bertahun-tahun, si tentara akhirnya menjadi pemalas lalu mati. Dan saat itulah Tuan Keuner yang dianiaya berteriak “merdeka!”

Pesan Scott jelas: hanya karena perlawanan kaum tani ini tak kasat mata, tak tercatat dalam sejarah, bukan berarti mereka tidak punya kesadaran kritis dan tidak melawan. Saya kutip dari buku Perlawanan Kaum Tani, halaman 314-315: "Banyak dari bentuk perlawanan yang telah kita pelajari itu mungkin aksi-aksi ‘perorangan’, tetapi itu tidak berarti bahwa aksi itu tidak terkoordinasi.

Di sini, sebuah konsep koordinasi yang berasal dari rakitan formal dan birokratis tidak banyak membantu untuk memahami aksi-aksi yang dilakukan dalam komunitas-komunitas dengan jaringan-jaringan informasi yang padat dan subkultur-subkultur perlawanan yang kaya, dan historis dalam, terhadap tuntutan-tuntutan dari luar [:] subkultur pedesaan membantu membenarkan kepura-puraan, perburuan tanpa izin, pencurian, penghindaran pajak, penghindaran wajib militer dan sebagainya [:] Tidak ada organisasi formal yang dibuat karena tidak ada satu pun yang diperlukan; namun, suatu bentuk koordinasi telah dicapai yang mengisyaratkan kepada kita bahwa apa yang sedang terjadi itu bukan sekedar aksi perorangan."

James C. Scott bukan cuma cendekiawan brilian, namun juga penulis ulung. Seperti buku-bukunya yang lain, The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia ditulis dengan sangat jernih (sampai-sampai memperoleh penghargaan PROSE Award in Goverment and Politics - sebuah penghargaan yang diberikan para penerbit Amerika setiap tahunnya kepada para profesional dan intelektual atas karya mereka yang diterbitkan dalam bentuk buku, jurnal, dan media elektronik)

Scott sendiri sadar akan kelihaiannya ini. Di halaman xi ia tulis, “Saya sering dituding keliru, tapi jarang dibilang tidak jelas atau tidak mudah dipahami. Buku ini juga begitu.”

Keunikan Scott lainnya, sehari-harinya selain meriset dan mengajar ia memelihara domba! Mengapa domba? Dalam sebuah wawancara ia utarakan filosofikasinya untuk kegiatannya ini: “Domba sering dipakai sebagai metafor untuk kebloonan dan kepatuhan. Tapi orang yang pernah melihat domba liar beraksi akan tahu bahwa domba itu sebenarnya individualistik. Kita telah beternak domba selama 8.000 tahun dan memilih yang patuh. Kita yang menjadikan mereka begitu!”

Dengan kata lain, masyarakat yang direkayasa oleh skema-skema pembangunan hanya akan menghasilkan manusia-manusia pasif yang tak sejalan dengan tujuan pembangunan itu sendiri. Masyarakat yang berhasil hanyalah masyarakat yang bebas untuk menentukan cara meraih keberhasilannya sendiri, bukan yang direkayasa dari atas.

Ya, barang siapa masih menganggap domba itu makhluk bloon, coba saja tonton Shaun the Sheep. *

sumber: http://ikhtisarstudiagraria.blogspot.co.id/2010/06/james-c-scott-dan-karya-agraria-nya.html

Tuesday 3 November 2015

Hanya Kemanusiaan dan Apresiasi Yang Bisa Menerjemahkan Kebahagiaan Jenis Ini

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Meninggalkan respon setelah membaca sebuah tulisan bagus adalah adil. Bagi diri sendiri, bagi si penulis sebagai bentuk penghargaan, dan bagi maksud-maksud kemanusiaan yang ditujunya. Meninggalkan respon bisa dengan membuat satu ulasan singkat tentang tulisan itu, mendiskusikan isi tulisan atau dengan berbagai bentuk yang dapat ditempuh sendiri-sendiri.

Saya memilih untuk menuliskannya. Saya akan membahas soal “mantra-mantra” yang ditulis oleh Butet Manurung dalam artikel opininya yang berjudul “Apa yang Salah dengan Volunter?”. Kenapa saya sebut mantra? Alasannya sederhana, karena diperlukan ritual khusus antara praktik, dan refleksi untuk memahaminya. Hanya bisa diresapi lewat dua hal itu. Ya, orang bahagia memang syaratnya bisa praktik dan refleksi (mengambil hikmah).

Mantra pertama adalah “Kita hanya perlu lebih banyak melihat dan mendengar langsung..Datang ke sana, diam, dan amati dengan rendah hati.”

Mantra kedua adalah “[mengutip Pram, butet menulis] Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang bisa timbul pada samudra, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya..sekali kita menentukan tujuan, biarkan ia jadi kekuatan yang menggerakkan.”

Mantra ketiga adalah “bekerja apapun itu, termasuk pekerjaan sukarela, menurut saya selalu dimulai dari menghargai diri sendiri, menghormati hidup kita sendiri..membagikan anugerah yang kita punya...ini terlihat seperi pengabdian..tetapi tidak..kita mengabdi kepada kemanusiaan sejati”.

Butet Manurung adalah seorang perempuan kelahiran Jakarta tahun 1972. Perintis Sokola Rimba. Dari Jambi, Halmahera, hingga Flores.  

Tiga Mantra

Tiga Mantra butet itu bicara soal mencari kebahagiaan “tanpa perantara”. Kata Butet, “sekali lagi, taruh gadget-mu, lihat lekat-lekat dunia di luar sana, lalu dengarkan hatimu. Sebab kita perlu menghargai hidup yang hanya sekali ini. Bayangkan jika suatu hari di usia 75 tahun, tiba-tiba kita merasa hampa dan sadar bahwa kita belum melakukan apa-apa untuk menghargai satu kali hidup kita”.

Sewaktu membaca tulisan Butet, saya merasa ada beragam kompleksitas untuk memahami arti kebahagiaan dari kesederhanaan yang tak kunjung dipahami. Maksudnya, Butet berulang kali ditanya tentang soal “berapa gaji jadi volunter di hutan” atau “kok bisa anda lulusan Australi kerja di hutan, apalagi anda itu perempuan? Tanpa digaji, masa’ sih?”.

Kemungkinan Butet juga kesal dengan berbagai pertanyaan itu. “apa substansi dari yang kamu lakukan? Apa dengan mengajar anak di hutan itu memberi dampak luas? Apakah itu menghabisi kapitalisme, neo-liberalisme, atau kekerasan?” pertanyaan-pertanyaan begitu jika ditanya ke Butet tentu mudah dijawab. Tetapi bukankah terlalu berlebihan berharap semuanya selesai pada satu kerja sukarela satu orang. Zaman sekarang, memperkuat kerja bersama lebih baik daripada mengajukan sejumlah pertanyaan.

Melalui Butet saya terpikir dengan perjalanan hidup sendiri, termasuk ingat pengalaman Nabi Musa yang belajar ke Khidir. Ada banyak pertanyaan yang tak terjawab. Yang harus dilakukan, jika jadi Musa adalah meracik sendiri jawaban kreatifnya sembari betul-betul melakukan refleksi mendalam. Itu penting, karena untuk memahami mantra kebahagiaan, yang dibutuhkan adalah kesiapan diri sendiri. kesiapan untuk menghargai hal-hal kecil. Kesiapan untuk memahami penghargaan terhadap kemanusiaan sejati.

Tentu saja, soal “apa hal-hal kecil itu?” harus dijawab sendiri. Sulit? Ya, itu tak aneh, sebab begitu yang dialami oleh anggota DPR sehingga tak bisa bikin UU bagus untuk rakyat. Termasuk sulitnya memahami “penghargaan hidup” karena baru-baru saja seorang polisi menembak kepala rakyat biasa, atau seorang aparatur desa yang menyuruh preman membunuh warganya sendiri. Belum lagi tentara yang menendang perut seorang wanita paruh baya. Atau, pengusaha yang lepas tanggungjawab setelah melumpuri kota dan membakar hutan. Makanya menjadi luar biasa jika itu bisa dimaknai secara tepat. Itu juga kenapa ini menyangkut soal kemanusiaan sejati. Sekali penghargaan terhadap kehidupan dilakukan,  kewarasan kita terpelihara, indikator sebagai manusia juga terbukti.

Arti Tiga Mantra  

Tiga mantra Butet bermakna begini.

Pertama, kebahagiaan hanya bisa diperoleh lewat “rendah hati”. Artinya kebahagiaan itu adalah saat kita membiarkan diri kita mengalami kehidupan secara bermakna. Tak merasa memiliki banyak jawaban atas persoalan Hutan begitu masuk ke Hutan. Tak merasa punya cara jitu untuk menyelesaikan problem pendidikan masyarakat pedalaman begitu masuk ke pedalaman. Pelajari dari orang-orang sekitar, dan ambil bagian, begitu kira-kira.

Kedua, kekuatan selalu muncul dari keyakinan-keyakinan. Erich Fromm seorang filsuf Jerman pernah bilang kalau harapan melipatgandakan kemungkinan realitas diubah. Karena keyakinan berkaitan dengan kenyataan bahwa banyak hal yang bisa memperkuat kerja-kerja kemanusiaan. Keyakinan, menjadikan diri kita percaya bahwa banyak orang yang sebenarnya sedang membantu kita mencapai sebuah misi. Kalaupun tak ada orang-orang itu, gunung, langit, dan angin akan membantu. Dalam Rumah Baca Komunitas, kami menyebut ini sebagai gerakan mikroba. Tak merasa sendiri dalam berjuang, dan yakin bahwa “semesta mendukung”.  


Ketiga, kebahagiaan muncul dari penghargaan diri sendiri, menghormati kehidupan, dan berjuang untuk kemanusiaan sejati. Kebahagiaan berpadu ke dalam tiga hal itu. Penghargaan diri sendiri maksudnya ialah kesadaran tentang jati diri kemanusiaan. Sadar bahwa kita manusia, dan oleh karena itu harus melakukan tanggungjawab kemanusiaan. Kebahagiaan muncul dari proses itu. Kebahagiaan sejati selalu muncul dari perjuangan kemanusiaan sejati. Karena kebahagiaan materi atau status sosial hanya akan bertahan untuk masa tertentu. Tak abadi, apalagi membekas. Orang-orang yang bahagia secara materi sejak zaman primitif tak bisa meninggalkan apapun di masa sekarang, selain kerusakan. Dibandingkan dengan warisan orang-orang bahagia di masa lampau. Mereka mewariskan pengetahuan, kebijaksanaan, dan alam yang indah. Mereka mewariskan “hantu-hantu” yang membawa keadilan menembus ruang-waktu melawan kezaliman dari feodalisme, imperialisme hingga kapitalisme, demikian Derrida.