Sunday 20 March 2016

Catatan Ultah Ayah

Mengingat hari kelahiran orangtua sendiri sama halnya dengan menduga bagaimana perjalanan hidup manusia ternyata tak dibatasi oleh kemewaktuan (zeit) di dunia. Baru kemarin saya mengikuti diskusi terbatas yang bicara soal daur hidup (cycle life). Manusia sebagaimana diduga, menjalani hidup sebagai temuan, maka takdirnya seringkali disebut tanda. Sedangkan penemuan dirinya seringkali diikuti oleh proses memaknai.

Maka tak heran jika kehidupan manusia digambarkan sebagai proses produksi, yang mengadakan (tenir), meskipun dalam literatur dia juga dipadankan dengan kata khalaq atau creatura. Dengan demikian ada dua disposisi yang dimiliki oleh manusia.

Disposisi manusia sebagai tenir menghasilkan daya-hidup. Pernah suatu kali ayah berkata “hiduplah dengan cara menjaga keseimbangan antara kaki dan mata, jang sampe kaki bajalang kong mata iko bajalang.” Bagi saya itu adalah bagian dari proses membagi daya-tahan hidup.

Disposisi kedua adalah manusia sebagai sosok creatura atau khalaq. Disposisi ini pada umumnya diterima dengan premis utama bahwa syarat keberadaan manusia bertopang pada adanya creature. Sekali lagi, ini syarat disposisi bisa mengemuka.

Saya tak ingat bagaimana persisnya, tapi kira-kira ayah pernah bilang begini, “di mana saja, manusia itu musti ikhtiar. Tak gampang digoyah. Tak mudah dibolak-balik antara pikiran dan nafs.” Waktu itu saya baru saja masuk sekolah menengah, dan bisa ditebak, nasihat demikian membuat saya menjadi bertanya soal batas antara akal dan jiwa.

Saya menerima bahwa manusia, jiwa, bahkan mungkin saja waktu adalah corporal. Jadi untuk sementara, batas antara akal dan jiwa selesai dengan meyakinkan tanpa harus dipastikan.
Ada sisi lain dari ayah maupun ibu saya. Sebagaimana setiap manusia, perjalanan hidup tak selalu dibilang mudah; dan seringkali cara mereka bertahan menjadi semacam Geschichte. Tak mudah juga mengingatnya apalagi disajikan. Tapi selalu ada momen untuk mengingatnya, misalnya tepat saat hari lahir ayah atau ibu. Saya jadi memaklumi John Farndon, seorang penulis pop berkata “bagaimana mungkin gagasan yang mendalam dan kompleks direduksi menjadi semacam kontes?.” Waktu itu, mungkin saja ikut gentar soal penyajian ide manusia. Farndon akhirnya bisa melakukannya, dan seperti yang disampaikannya sendiri; dia tengah “mengecoh.”

“Gagasan telah membentuk pengalaman kita tentang dunia” kata Farndon. Sesuatu yang tak asing dalam teks-teks tak berkesudahan dari Edmund Husserl. Maka nasihat, atau wejangan tidak saja menjadi objek-bermakna melainkan juga fenomena bagi diri saya. “Mata jangan ikut kaki ketika berjalan” tanpa saya sadari menjadi fenomena, yang saya alami dan hadir begitu saja.

*Kalibedog, 20 Maret 2016.

No comments:

Post a Comment