Sunday 3 January 2016

Spiral-Spiral Gardu

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Selalu ada yang kalah di dalam modernitas. Tak hanya manusia, sejarah juga takluk. Hal itu, tak terkecuali hasil-hasil modernitas itu sendiri di masa lampau. Gardu mengalami yang serupa, sebuah pengasingan intrinsik tentang nilai dan kejayaannya.



Beberapa waktu yang lalu Cak David di Rumah Baca Komunitas membahas soal Gardu. Sebuah diskusi yang mengajak sisi lain sejarah untuk mengingat kompleksitas dirinya sendiri.

Mungkin Gardu tersisih karena sebagai sebuah bangunan, tak mampu menjembatani kepentingan modernitas. Bentuknya kecil dengan letak yang hanya menjangkau hasrat mengawasi. Pengawasan tindak-tunduk manusia—ras pembuatnya sendiri. Dari Gardu, mata-mata mengawasi dan memberi ruang bagi kecurigaan yang dibenarkan. Kalau malam-malam saya melewati Gardu—tempat kongkow-kongkow orang perumahan, tatapan mereka menyisir seluruh hal. Plat nomor motor, model pakaian, potongan rambut, raut wajah, dan lain sebagainya.

Kalau melewatinya pagi-pagi, tampak sepi. Digembok dari luar. Kalau punya teras, biasanya jadi tempat persinggahan pedagang keliling. “people silence, biasanya juga memanfaatkan gardu” kata Kak Wiek di sela-sela diskusi.

Gardu adalah sebuah istilah yang merujuk kepada sebuah konstruk bangunan kecil. Peruntukannya yang paling dominan adalah sebagai tempat kongkow-kongkow. Meski begitu, Abidin Kusno dalam bukunya Guardian of Memories; Gardu in Urban Java (2006) tak selalu sepakat.

Spiral-Spiral Gardu

Membaca tentang aspek historis dan peranan politik gardu, kita ditawarkan pendekatan spiral oleh Kusno. Melihatnya dari strategi politik kampanye PDI. Atau, melihatnya secara adil sebagai bagian dari sejarah kolonial. Pendekatan bertutur spiral ala Kusno merupakan sebuah pilihan ketika membuka substansi dari Gardu melalui apa-apa yang melingkari historisitasnya.

Gardu yang berarti “rumah-jaga” (guardhouse) dipengaruhi oleh bahasa Prancis; garde yang bermakna “penjaga”. Dalam sistem tonarigumi semacam yang diterapkan oleh Jepang, Gardu memiliki fungsi mobilisasi rakyat (doin). Tonarigumi memiliki makna sebagai “tempat berkumpul masyarakat”, juga dekat dengan semacam pengertian “lingkungan masyarakat berasosiasi”. Hal itu misalnya dapat dilihat pada Forum Betawi Rembug yang mendirikan gardu untuk mengembangkan jejaring dengan memanfaatkan sistem keamanan lokal yang biasanya disebut siskamling (Ian Douglas Willson, 2006: 265-297).

Ketika Wilson mencoba menjelaskan bagaimana perubahan dan pergeseran kontur penggorganisasian kekerasan pasca orde baru, dia melihat Gardu juga mengalami variasi fungsi. FBR misalnya, memanfaatkan Gardu sebagai galeri kecil yang memajang hasil-hasil seni. Lukisan, dipajang di dinding Gardu. Apakah kontur pergeseran sosial dalam masyarakat dapat ditinjau melalui perubahan-perubahan fisik? Misalnya dengan perubahan fungsi infrastruktur tertentu?. Ini sebuah pertanyaan yang dijawab oleh Kusno melalui pendekatan spiral.

Ada jaringan atau asosiasi yang dibentuk dan diperkuat oleh Gardu. Fungsinya yang demikian menurut Kusno dapat menjadi pembuka sejarah yang panjang mengenai Gardu. Pemanfaatan Gardu dan segala fungsinya merepresentasi kategori masyarakat urban yang selalu berubah dan dipengaruhi oleh kecenderungan untuk membentuk sistem keamanan. Lalulintas sosiologis yang begitu di daerah perkotaan menciptakan ruang-ruang fisik sebagai penyeimbang. Itu yang dilakukan juga pada awal masa kemerdekaan dalam mengawasi kelompok republiken dan non-republiken.   

Sebagai sebuah konstruk bangunan, Gardu tentu saja bisa sedemikian misterius. Maka, Gardu bukan sekedar “penjaga makna” atau “penjaga ingatan”. Gardu adalah si pengikat makna. Konon para Raja di masa lampau, mengikat makna kosmiknya menggunakan Gardu. Masyarakat mengikat makna kekuasaan raja sebagai si pemilik kosmos melalui kehadiran Gardu.

Salah-satu hal yang menurut saya sendiri cukup berani dilakukan oleh Kusno adalah dengan mendefinisikan Gardu sebagai sebuah “ruang” dengan volume yang ditentukan oleh konteks sejarah. Dalam hal ini, Gardu sebagai sebuah konsep abstrak mampu diletakkan ke dalam konstruk bangunan yang hadir dalam beragam fungsi publiknya. Maka tak heran, saya lebih sepakat jika Gardu semacam pengikat makna. Sebab, konsepsi Gardu terbentuk atas perannya dalam mengikat makna. Kusno sendiri memberi uraian historis tentang perubahan-perubahan fungsi Gardu dalam berbagai konteks waktu. Meskipun pada akhirnya kesan bahwa Gardu merupakan bagian dari konstruk urban. 


Mulai dari sudut itu, Gardu dengan demikian menjadi salah-satu bangunan yang secara intrinsik melekat dengan perubahan-perubahan masyarakat. Entah sebagai sebuah jembatan bagi manusia dengan segala kompleksitasnya atau menjadi sebuah konstruk tunggal yang kehadirannya niscaya. Yang jelas, Gardu tak menjadi sumber noda sejarah, atau perlindungan apapun. Kecuali manusia-manusia yang menuju kemajuannya sendiri memaksa konstruk terlibat seolah-olah mereka menjadi instrumen yang dikuasai oleh manusia. Padahal, setiap bagian dari kosmos polis, adalah sebuah kenangan yang terus berubah dan memperbarui. 

No comments:

Post a Comment