Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Selalu ada yang kalah di dalam
modernitas. Tak hanya manusia, sejarah juga takluk. Hal itu, tak terkecuali
hasil-hasil modernitas itu sendiri di masa lampau. Gardu mengalami yang serupa,
sebuah pengasingan intrinsik tentang nilai dan kejayaannya.
Beberapa waktu yang lalu Cak David di
Rumah Baca Komunitas membahas soal Gardu. Sebuah diskusi yang mengajak sisi
lain sejarah untuk mengingat kompleksitas dirinya sendiri.
Mungkin Gardu tersisih karena sebagai sebuah
bangunan, tak mampu menjembatani kepentingan modernitas. Bentuknya kecil dengan
letak yang hanya menjangkau hasrat mengawasi. Pengawasan tindak-tunduk manusia—ras
pembuatnya sendiri. Dari Gardu, mata-mata mengawasi dan memberi ruang bagi
kecurigaan yang dibenarkan. Kalau malam-malam saya melewati Gardu—tempat
kongkow-kongkow orang perumahan, tatapan mereka menyisir seluruh hal. Plat
nomor motor, model pakaian, potongan rambut, raut wajah, dan lain sebagainya.
Kalau melewatinya pagi-pagi, tampak sepi.
Digembok dari luar. Kalau punya teras, biasanya jadi tempat persinggahan
pedagang keliling. “people silence,
biasanya juga memanfaatkan gardu” kata Kak Wiek di sela-sela diskusi.
Gardu adalah sebuah istilah yang merujuk
kepada sebuah konstruk bangunan kecil. Peruntukannya yang paling dominan adalah
sebagai tempat kongkow-kongkow. Meski
begitu, Abidin Kusno dalam bukunya Guardian
of Memories; Gardu in Urban Java (2006) tak selalu sepakat.
Spiral-Spiral
Gardu
Membaca tentang aspek historis dan
peranan politik gardu, kita ditawarkan pendekatan spiral oleh Kusno. Melihatnya
dari strategi politik kampanye PDI. Atau, melihatnya secara adil sebagai bagian
dari sejarah kolonial. Pendekatan bertutur spiral ala Kusno merupakan sebuah
pilihan ketika membuka substansi dari Gardu melalui apa-apa yang melingkari
historisitasnya.
Gardu yang berarti “rumah-jaga” (guardhouse) dipengaruhi oleh bahasa
Prancis; garde yang bermakna
“penjaga”. Dalam sistem tonarigumi semacam
yang diterapkan oleh Jepang, Gardu memiliki fungsi mobilisasi rakyat (doin). Tonarigumi memiliki makna sebagai “tempat berkumpul masyarakat”,
juga dekat dengan semacam pengertian “lingkungan masyarakat berasosiasi”. Hal
itu misalnya dapat dilihat pada Forum Betawi Rembug yang mendirikan gardu untuk
mengembangkan jejaring dengan memanfaatkan sistem keamanan lokal yang biasanya
disebut siskamling (Ian Douglas Willson, 2006: 265-297).
Ketika Wilson mencoba menjelaskan
bagaimana perubahan dan pergeseran kontur penggorganisasian kekerasan pasca
orde baru, dia melihat Gardu juga mengalami variasi fungsi. FBR misalnya,
memanfaatkan Gardu sebagai galeri kecil yang memajang hasil-hasil seni.
Lukisan, dipajang di dinding Gardu. Apakah kontur pergeseran sosial dalam
masyarakat dapat ditinjau melalui perubahan-perubahan fisik? Misalnya dengan
perubahan fungsi infrastruktur tertentu?. Ini sebuah pertanyaan yang dijawab
oleh Kusno melalui pendekatan spiral.
Ada jaringan atau asosiasi yang dibentuk
dan diperkuat oleh Gardu. Fungsinya yang demikian menurut Kusno dapat menjadi
pembuka sejarah yang panjang mengenai Gardu. Pemanfaatan Gardu dan segala
fungsinya merepresentasi kategori masyarakat urban yang selalu berubah dan
dipengaruhi oleh kecenderungan untuk membentuk sistem keamanan. Lalulintas
sosiologis yang begitu di daerah perkotaan menciptakan ruang-ruang fisik sebagai
penyeimbang. Itu yang dilakukan juga pada awal masa kemerdekaan dalam mengawasi
kelompok republiken dan non-republiken.
Sebagai sebuah konstruk bangunan, Gardu
tentu saja bisa sedemikian misterius. Maka, Gardu bukan sekedar “penjaga makna”
atau “penjaga ingatan”. Gardu adalah si pengikat makna. Konon para Raja di masa
lampau, mengikat makna kosmiknya menggunakan Gardu. Masyarakat mengikat makna
kekuasaan raja sebagai si pemilik kosmos melalui kehadiran Gardu.
Salah-satu hal yang menurut saya sendiri
cukup berani dilakukan oleh Kusno adalah dengan mendefinisikan Gardu sebagai
sebuah “ruang” dengan volume yang
ditentukan oleh konteks sejarah. Dalam hal ini, Gardu sebagai sebuah konsep
abstrak mampu diletakkan ke dalam konstruk bangunan yang hadir dalam beragam
fungsi publiknya. Maka tak heran, saya lebih sepakat jika Gardu semacam
pengikat makna. Sebab, konsepsi Gardu terbentuk atas perannya dalam mengikat
makna. Kusno sendiri memberi uraian historis tentang perubahan-perubahan fungsi
Gardu dalam berbagai konteks waktu. Meskipun pada akhirnya kesan bahwa Gardu
merupakan bagian dari konstruk urban.
Mulai dari sudut itu, Gardu dengan
demikian menjadi salah-satu bangunan yang secara intrinsik melekat dengan
perubahan-perubahan masyarakat. Entah sebagai sebuah jembatan bagi manusia
dengan segala kompleksitasnya atau menjadi sebuah konstruk tunggal yang
kehadirannya niscaya. Yang jelas, Gardu tak menjadi sumber noda sejarah, atau
perlindungan apapun. Kecuali manusia-manusia yang menuju kemajuannya sendiri
memaksa konstruk terlibat seolah-olah mereka menjadi instrumen yang dikuasai
oleh manusia. Padahal, setiap bagian dari kosmos polis, adalah sebuah kenangan
yang terus berubah dan memperbarui.
No comments:
Post a Comment